Thursday, December 18, 2014

Whatever You Wanna Call it

Haha, lucu sekali ya. Ternyata hatimu mudah sekali dipatahkan meskipun sekian lama kamu membangun jembatanmu untuk keluar dari sana, berusaha mematikan seluruh kesakitanmu karenanya. Seketika, ketika tak sengaja melihat rayu mesranya pada wanita lain. Sudahlah, untuk apa menyimpan hal yang membuat hatimu makin tersakiti? Sudah jelas bukan? Kurang jelas apalagi? Bahwa hidupnya sudah benar-benar sempurna tanpamu. Biar dia bahagia dengan hidup barunya tanpamu. Biar dia bahagia dengan pujaan hatinya yang baru. Biar dia bahagia dengan cintanya yang baru. Apalagi yang kamu harap? Sudahlah, berhentilah berharap, berhentilah mengasihani diri sendiri. Lanjutkan hidupmu. Berhentilah untuk merasakan kesakitan hatimu, anggap saja kau hanya kehabisan nafas beberapa detik :)

Dan, selamat tinggal, juga terima kasih..
karena kini akhirnya aku yakin untuk melangkah :)

Thursday, December 11, 2014

Ketika "Kamu" Yang Ia Maksud Bukanlah Dirimu

Hari-hari berlalu begitu saja semudah merobek kalender sobek harian. Ya, semudah itu hari berganti tapi hidupmu tetap nggak beranjak. Nggak ingin pergi kemana-mana. Hanya ingin sendiri, menyepi, karena kamu percaya bahwa sendiri adalah satu-satunya yang terbaik untuk menghindarkanmu dari kesakitan berikutnya. Dan kalimat itu selalu terngiang : "Sometimes there are things you'd rather forget because they cause you too much pain." Dan lagi-lagi, nyatanya melupakan nggak semudah mengucapkannya. Ada saat dimana kamu mengingat kembali hal-hal pahit yang membuatmu sakit. Dan yang lebih menyakitkan, kamu nggak bisa melakukan hal apapun untuk mengurangi rasa sakitnya, terlebih disaat kamu melihat satu momen yang mengingatkanmu bahwa kamu sering melakukan hal itu dengannya. Yakinlah, bahwa nggak ada seorangpun yang ingin mengenang hal-hal yang menyakitkan dirinya.

One day, saat kamu dalam perjalanan pulang menuju rumahmu sepulang lelahmu bekerja, saat itu malam, sunyi, senyap, dan sialnya playlistmu tak sengaja memutar lagu "Daughtry - Life After You". Betapa indahnya malammu saat itu bukan? Atau mungkin sial? Atau mungkin justru kamu menikmatinya? Menantikannya? Karena setelah sekian lama kamu (berusaha) mengabaikannya sebagai upaya menyembuhkan lukamu, momen itu membuatmu mengingatnya kembali. Membuatmu merasa rindu padanya lagi. Salah? Entahlah. Maybe, it's just a feeling. Mungkin itu bisa disebut salah karena kamu merindukan orang yang salah, karena kamu merindukan orang yang telah jauh melupakanmu. Lebih tepatnya, melupakanmu untuk orang lain. Orang yang telah bahagia tanpamu, bahagia dengan hidup barunya tanpamu, bahagia ketika "kamu" yang ia maksud dalam setiap celotehnya bukan dirimu.

Mungkin ada satu harapan kecilmu menginginkan dia merindukanmu. Tapi sadarlah, dunia selalu mendatangkan hal yang bertolak-belakang dengan inginmu. Sadarlah, bahwa harapan hanya menghancurkan perisai yang sudah dengan susah payah kamu buat. Lagi, dan lagi.

Maka, menangislah. Menangislah hingga saking banyaknya air matamu, kamu mampu membentuk sebuah sungai, menangislah hingga kamu lelah dengan sendirinya. Setelah itu bangkitlah, bangun jembatan untuk keluar daripadanya, dan lupakan :)

Sunday, December 7, 2014

Glad To See You In Your Happiest Day

Entah kenapa tiap liat kakak aku yang satu ini, mengharu biru kalo inget ceritanya. Dari awal ketemu, dapet berbagai ujian yang nggak mungkin muat dijabarin di sini, sampe akhirnya mereka bisa bersanding bersama di pelaminan. From the bitterest, til' finally she get the sweetest! Dear God, may I have a happy ending like her, please.....

I'm so Glad to be there, to see her smile in her happiest day, to see a beautiful bride wearing her beautiful wedding dress, to see her smile when her husband held her hand, standing next to her and sang her a love song. That's the most romantic moment that I've ever seen! Kalah deh drama korea, ciyus. Yang nikah siapa yang ngeharu-biru siapa....

And well, kita hanya perlu percaya bahwa semua kepahitan yang kita alami dalam hidup hanyalah awal menuju chapter berikutnya. I remember when I asked her a long time ago: "Kak, kapan ya aku kayak kamu, punya pacar yang baik banget, sayang banget, ah, aku iri." and then she said: "Ka Tari juga nggak gampang, sayang, sampai di titik ini sama dia. Banyak banget cobaannya. Nanti kamu juga pasti dapetin yang terbaik buat kamu, sabar aja, tunggu waktunya aja."

Entah, rasanya seperti ada secercah cahaya waktu dia bilang kayak gitu. Intinya, gue haru banget liat dia di hari bahagianya. Haru liat semua kisah mereka yang jatuh bangun berakhir indah dalam ikatan pernikahan. Bahagia banget liat kakak aku yang cantik ini udah sah jadi seorang istri. Congratulations, Kak Tari & Bang Andri! Ready to begin a new chapter of life! Always together, forever. Allah bless you both :)

Saturday, October 25, 2014

Untitled Lahyaaa :D

Hey, salam silent reader! Sebelumnya aim mohon maaf ya karena lanjutan cerpennya di jeda dulu. Soalnya aim lagi males mikir buat lanjutan ceritanya. By the way, di malam minggu yang bahagia ini, gue pengen share satu hal yang lucu. Kalo kata orang-orang sih sedih ya, tapi menurut gua ini kocak sekocak-kocaknya. Cekidot.

Jadi gini....
Lo punya pacar. Lo pacaran sama dia udah dari SMA nih ceritanya. Ya putus nyambung gitu lah ya. Dan dari dulu selalu lo yang mutusin dia, karena lo jenuh dengan gaya pacaran lo yang gitu-gitu aja. Terlebih lo pengen gaya pacaran lo "normal" kayak orang-orang yang lain. Tapi pada akhirnya suatu hari lo sadar bahwa disaat kita menerima kehadiran seseorang di kehidupan kita, disitulah kita harus menerima segala kekurangan yang dia punya. And then, lo mulai belajar dewasa dengan memperbaiki segala sifat buruk lo yang pernah lo lakuin ke dia dulu. Mulai dari belajar sabar ngadepin dia yang random dimana saat dia punya masalah selalu lo yang kena imbasnya, belajar nggak nurutin sifat lo yang gampang bosen sama pasangan yang bikin lo belajar nahan untuk nggak mutusin hubungan hanya karena jenuh, sampai mertahanin hubungan kalian mati-matian padahal pasangan lo udah ga ada rasa bahkan keinginan untuk bertahan. Perlahan-lahan, sampai pada akhirnya lo yang bener-bener jatuh cinta sama dia sekarang. Dan fakta yang bikin nyesek adalah : Dia ninggalin lo karena dia jenuh atau apalah. Saat dia ninggalin lo yang dia bilang cuma : "Maaf, tapi di sini udah nggak ada apa-apa lagi". Dhuarr!!!! Rasanya kayak dihantam batu yang ukurannya segede mammoth.

Dia ninggalin lo karena dia ngerasa tugasnya udah selesai. Bilangnya sih, dulu dia balikan sama lo karena dia ngerasa berhutang buat bahagiain elo. Padahal lo tahu betul saat pertama balikan sama lo, dia masih dia yang dulu. Bukan seperti beberapa bulan terakhir sebelum dia mutusin untuk ninggalin elo, yang kalo mau diperjelas, disaat dia udah mengenal dan makin dekat sama seorang cewek (sebut saja : rafflesia). Dan dia bilang sekarang dia lega karena dia udah menuhin semua keinginan lo. Jin botol, kali ah :)))

Kalo lo jadi cewek ini, apa yang lo rasain? Desperated banget, kah? Hahaha. Slowly, baby. Ini nggak se-menyedihkan yang kalian bayangin, kok. Oke, lanjut.

Setiap hari lo selalu galauin dia. Nangis-nangis nggak jelas, selalu buka galeri foto yang isinya album foto kenangan lo sama dia, denger lagu galau, meluk boneka yang dia kasih, trus nangis deh. Dan yang lebih sakitnya lagi, akhirnya lo tahu kalo dia ninggalin lo bukan hanya karena dia jenuh atau pengen sendiri atau bla bla bla, as he say. Tapi karena deket sama cewek lain bahkan ngarep buat bisa jadi pacarnya. Karena si rafflesia ngasih tanda-tanda kaliya kalo suka sama ini cowok, mulai dari curhat nyerempet-nyerempet yang bikin si cowok ge-er, minta berangkat kerja bareng, pulang kerja bareng, break bareng, sholat bareng, atau mungkin udah bobo bareng? *ups haha. Sorry, yang terakhir kita skip aja.

Setiap ceweknya marah kalo si cowok ini kegep "berbuat baik" sama si rafflesia tadi, dia malah balik marah dan bilang: "Salah ya jadi orang baik? Salah ya nolongin orang? Kalo gitu mending aku jadi jahat aja, ya?" Itulah senjata si cowok buat bikin ceweknya percaya lagi, maafin lagi, begitu aja terus sampe detektif conan jadi pencopet. Padahal kalo mau ditelisik si cewek ini udah nerima cobaan banget pacaran sama si cowok ini. Si cowok yang super sibuk kuliah sambil kerja, ketemu cuma disaat cowoknya mau aja jemput dia. Karena si cewek nggak tega, cowok ini mau jemput dia beberapa kali aja rasanya udah berasa sweet banget. Kadang di hati si cewek pengen kayak temen-temennya, di banggain di depan temen-temen si cowok, di tag path kemanapun dia berdua sama si cewek, sampai diajak main kerumahnya untuk dikenalin ke orang tua si cowok. Si cewek ini ngerasa mungkin wajar kalo dia nggak diakuin. Si cewek ngerti bahwa dia nggak cukup cantik (baca: jelek) jadi si cowok mungkin ngerasa malu mengakui bahwa si cewek ini adalah pacarnya. Mungkin si cowok ngerasa sekarang penampilannya jauh lebih baik, nggak cupu kayak dulu. ngerasa keren jadi bisa ngedapetin cewek manapun yang dia mau. Si cowok pernah bilang dulu ke si cewek: "Kalo mau mah, aku punya cewek kayak make kaos kaki." Wow.

Oh ya, fokus lagi ke topik yang tadi. Tapi, walaupun seringkali nggak diakui, si cewek sejujurnya pengen banget ngerasain diajak cowoknya ke banyak tempat. Karena cowoknya nggak pernah bisa dengan alasan finansial atau mungkin nggak mau, nggak ngerti juga lah ya. Mungkin itu yang ngebuat cowoknya ngerasa udah menuhin semua keinginan si cewek, disaat si cowok berhasil ngajak liburan si cewek ke suatu tempat. Yang padahal itu nggak bisa dibilang wow juga. Tapi si cewek tetep menghargai niat baik si cowok, walaupun sayangnya, si cowok nggak dengan tulus ngelakuin itu semua. Si cewek tetep berusaha untuk ngerti dan terima semua itu dengan nggak banyak protes Dia cuma bisa ngeluh di blog pribadinya. Yang entah kapan, tiba-tiba si cowok baca blognya. Dan dari situlah pertengkaran demi pertengkaran dimulai.

Oh ya, perlu digaris bawahi, sebenernya si cowok ini dulunya nice guy. Walaupun agak dongo sih, tapi overall dia itu baik. Mungkin karena polos kali ya. Hingga datang saatnya ketika dia berubah. Mungkin karena pergaulan, juga kembali lagi kepada hukum alam bahwa semua orang pasti berubah.

Finally, pacarnya tahu dia berhubungan sama si rafflesia. Satu kali dimaafkan, dua kali dimaafkan, sampai seterusnya pacarnya selalu maafin si cowok ini. Hingga pada akhirnya ketahuanlah si cowok ini masih ada something sama si rafflesia. Pacarnya nangis, ngerasa di bohongin, ngerasa di khianatin. Tapi karena rasa sayang yang udah makin tumbuh tiap hari, si cewek ini selalu maafin si cowok. Mungkin hal itu yang bikin si cowok nggak ngotak dan makin dengan santainya ngulangin kesalahan. Nah, karena si cowok ini udah terbiasa deket sama si rafflesia, akhirnya si cowok ngerasa perasaannya udah beda ke pacarnya. Hingga pada saat dia kegep lagi masih ada affair sama tuh cewek, seperti biasanya, pacarnya nangis, tapi selalu bersedia buat maafin. Dan tahu apa yang si cowok ini pilih? Cowok ini minta putus dengan alasan yang udah gue sebutin diatas tadi, dan dia bilang dia mau pergi karena nggak pengen nyakitin lo lagi. Uh, baiknya....

Karena si cewek ini udah terbiasa untuk belajar menumbuhkan rasa sayangnya ke si cowok dan akhirnya sayang beneran, dia ngerasa nggak bisa hidup tanpa si cowok. Dan belum bisa terima kenyataan kalo secepat ini pacarnya berubah. Bahkan sampai sebulan putus pun si cewek masih memohon-mohon agar si cowok nggak pergi. Mengenaskan.

Hingga pada suatu hari si cowok bilang:
"Lupain gue."

Mulai saat itu si cewek berhenti mengganggu si cowok. Awalnya dia ngerasa sulit. Bahkan sangat sulit karena dia ngerasa buat nafas aja rasanya sesak banget. Tapi setiap hari dia belajar. Belajar merelakan, belajar lebih dekat dengan Tuhan, belajar menerima karena dia ingat bahwa semua ini adalah balasan atas segala perlakuan buruknya terhadap si cowok dulu. Dia ngerasa apa yang dia rasakan saat ini adalah apa yang si cowok rasakan dulu. Walaupun sejahat-jahatnya cewek ini, dia nggak pernah ninggalin pacarnya buat oranglain, dulu. But, well, pain always makes us stronger, right? Si cewek ini mulai bertekad buat membiasakan dirinya tanpa si cowok. Mulai dari mencoba berhenti mikirin kenapa semua ini bisa terjadi, berhenti puter lagu galau sambil nangis mandangin foto si cowok, sampai berhenti stalking all of his social media. Ya paling apes-apesnya sih kalo dia nongol di timeline, mau nggak mau lo pasti baca update-an nya, kan?

And then bagaimana dengan si cowok? Si cowok ini ternyata cuma diberi harapan palsu sama si rafflesia. Nggak ngerti sih. Ceweknya yang PHP atau cowoknya yang ke-ge-er-an, ya pokoknya intinya gitu. Kebayang dong? Gimana nyeseknya? Haha.... dia ninggalin yang udah berjuang buat sayang sama dia gitu buat hal yang nggak pasti. Selamat ya bro, lo udah buang berlian demi sebuah biji jagung. Dan sekarang? Mungkin si cowok lagi nyanyi When I Was Your Man-nya Bruno Mars :))))

Tuesday, October 21, 2014

Chapter 7

Erik memikirkan banyak hal tentang perasaannya malam ini. Perasaan yang dipendamnya pada Almira lebih tepatnya. Erik rebah di kasurnya dan merasakan hatinya makin tak karuan.

Erik memeluk gitar kesayangannya, kemudian memetik asal senarnya. Kesal. "Ya ampun gue kenapa sih! Jadi nggak fokus gini. Jangan dengerin perasaan, Rik. Atau persahabatan lo sama Almira bakal hancur." Erik merenung. Diam. Membiarkan kata hati memberikan hak suaranya.

"Gue nggak bisa kayak gini terus nih. Bisa gila kalo gue pendam terus-terusan kayak gini. Gue harus ngomong sama Almira. Harus. Seenggaknya gue bisa jujur sama perasaan gue sendiri. Urusan respon dia itu belakangan deh."

Erik menyumbat telinganya dengan headset superbassnya. Hanyut dalam alunan lagu-lagu yang membuatnya makin mengingat Almira. Erik mencoba memejamkan matanya. Mencoba menenangkan perasaannya yang tak terkendali malam itu.

*3 hari kemudian*

"Hey, Al. Lo mau kemana? Rapi bener. Mau ngedate ya sama Dito?" Ledek Erik cengar-cengir.

"Erik, jangan mulai deh. Gue lagi nggak mau ngomel sama lo hari ini. Lo nggak lihat nih, apa yang gue bawa?" Almira menunduk menatap benda-benda bawaannya. Lemas.

"Yah, lo seriusan mau balikin itu semua, Al, ternyata. Gue kira lo becanda doang. Mau gue anter nggak? Si macho abis gue cuci kok, gue jamin lo nggak akan ceramah pas lihat dia. Hehe."

"Nggak deh, Rik, makasih. Gue bisa sendiri kok. Kalo gue butuh lo nanti gue telfon lo deh ya. Lo doain gue aja supaya gue kuat dan nggak nangis pas ketemu Dito nanti. Nanti malem gue ke kostan lo deh. Udah ya gue buru-buru nih, dah Erik!" Almira melambaikan tangannya dan berlalu.

"Al, Al. Gue tahu lo mau balikin itu semua cuma alesan aja kan karena lo masih pengen lihat Dito. Lo nggak bisa bohongin gue, Al. Kenapa sih lo nggak sadar-sadar. Kapan lo mau berhenti nyiksa diri lo sendiri?" Keluh Erik berdebat dengan pikirannya sendiri.

Erik menstater kemudian melajukan motor menuju kampusnya. Sebetulnya dia sedang tak ingin kemana-mana di hari libur kerjanya hari ini. "Tapi, namanya juga usaha jadi lebih baik". Batin Erik selalu berkata begitu.

Almira sampai di kedai serabi dekat taman sedikit terlambat. Dito sudah sampai di sana lebih dulu. Seperti biasa, Dito mengambil spot di pojok sebelah kanan dekat jendela yang mengarah ke ayunan yang biasa jadi tempat Almira berkeluh-kesah. Kedai tak begitu ramai sore itu.

"Hey, Dit, udah lama? Maaf ya nunggu. Tadi gue ada urusan." Ucap Almira berbasa-basi.

"Eh, enggak kok, Al. Belum lama, aku juga baru sampe. Aku...." Dito terbata-bata melanjutkan kalimatnya.

Belum selesai Dito berucap, Almira memberikan semua yang dia bawa pada Dito. "Nih, Dit, makasih ya udah nyempetin waktu buat kesini." Almira menyerahkan semua pemberian Dito yang sudah ia kemas dalam satu paperbag besar dengan gugup. "Sekali lagi makasih ya, Dit." Ucap Almira dengan suara bergetar.

"Iya, Al, sama-sama. Nih, makasih juga ya." Dito menyerahkan paperbag hijau yang berisi poloshirt hitam dan jaket yang Almira pinjamkan karena Dito basah kuyup kehujanan saat pertemuan terakhir mereka. "Sweater hoodie merah yang dari kamu, aku simpen, ya. Nggak apa-apa kan?"

"Iya nggak apa-apa kok, Dit. Simpen aja. Yaudah gue pulang dulu ya."

"Kamu pulang sama siapa? Aku anter ya."

"Gue pulang sendiri. Nggak usah. Gue bisa sendiri kok." Almira tersenyum pahit dan segera berlalu, takut Dito melihat air matanya yang hampir jatuh.

Dito hanya dapat melihat punggung Almira yang semakin menjauh. Dito menyesap hot cappucino nya hingga habis kemudian meletakkan beberapa lembar puluhan ribu di meja dan meninggalkan kedai dengan sedih.

Sementara itu...

Almira sedikit berlari untuk segera menjauhi kedai serabi itu. Almira tak mungkin duduk di ayunan saat ini karena Dito pasti akan dapat melihatnya. Akhirnya Almira memutuskan untuk menelepon Erik untuk menjemputnya. Almira berusaha mengendalikan nada suaranya agar Erik tak menceramahinya saat mendengar suaranya di telpon.

"Halo, Rik? Rik, jemput gua ya, please. Gua ada di dekat kedai serabi yang depan ayunan nih. Tapi gue di utara ya. Gue di bangku taman deket tukang harum manis. Cepet ya, Rik. Abangnya udah nagih nih. Gue minta 3 bungkus soalnya. Bye!" Almira tertawa saat memutus sambungan teleponnya.

"Eh, Al, Al.... Yeee, dasar anak kurang ajar. Nggak sopan, belom juga gue ngomong udah maen matiin aja telponnya. Kalo gue nggak sayang udah gue apain kali lo." Erik menggerutu memaki layar handphonenya.

Erik menyalakan motornya dan bergegas menjemput Almira. Tak sampai 10 menit Erik telah sampai di sana.

"Stop. Bayar dulu sama abangnya, Rik. Dia mau pulang tuh, gue nggak bawa uang, hehe." Almira cengar-cengir membuat Erik tak fokus.

Erik memberikan selembar dua puluh ribuan dan penjual harum manis itu pun berlalu.

"Al, Al. Lo itu gila apa gimana sih. Beli harum manis sampe 3 bungkus gitu, siapa yang mau makan?" Erik memasang raut wajah datarnya. "Al, lo habis nangis ya, mata lo kok merah?"

"Eh, enggak kok. Tadi gue kelilipan. Itu tuh tadi bocah-bocah pada main pasir." Almira berbohong.

"Al, kenapa sih nggak ada capeknya bohong sama gue. Kita sahabatan udah lama, nggak usah lo pake bohong segala."

"Rik, sekali aja. Pura-pura percaya, ya." Almira tersenyum simpul.

"Yaudah, ayuk pulang atau lo mau gue temenin kemana?"

"Duduk di ayunan sebentar ya, Rik. Kita abisin semua gulali ini abis itu kita ke kostan lo."

"Yaudah, iya."

Almira berjalan lebih dulu mendahului Erik. Duduk, memandang kedai serabi di depannya dengan sedih, dan melamun seperti biasanya. Dan Erik pun sama, hanya dapat memaki dalam hati seperti biasanya.

"Al, pulang yuk, udah sore."

"Bentar, ya, Rik. Bentar lagi, please..."

"Al, udah kek. Lo mau sampai kapan sih kayak gini?"

"Nggak tau, Rik. Mungkin sampai air mata gue habis." Almira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis untuk mengeluarkan beban di hatinya. "Biarin gue kayak gini dulu ya, Rik. Nanti kalo gue capek juga gue berhenti sendiri, kok. Biarin gue begini sampai gue capek dan air mata gue habis."

Erik hanya bisa diam, menatap dan menemani Almira sore itu.

Thursday, October 9, 2014

Chapter 6

Alih-alih penat selepas UAS, Almira merengek meminta Erik menemaninya ke taman kompleks malam itu. Dan seperti biasa, Almira duduk di ayunan dengan posisi menghadap ke kedai serabi sedangkan Erik di ayunan sebelahnya.

"Rik, menurut lo, apa cinta pertama itu bisa jadi cinta terakhir kita?" Almira menunduk menatap kepala sepatunya sambil mengayunkan ayunannya.

"Gue baru sadar kalo ternyata Dito itu cinta pertama gue, Rik. Inget nggak, waktu gue ceritain cinta monyet gue waktu SMP dulu, si Diaz, yang gue pernah bilang ke elo kalo itu cinta pertama gue? Ternyata bukan dia, Rik. Dia bukan cinta pertama gue."

"Yang bisa kita bilang cinta itu, saat kita menerima dia apa adanya; fisik, materi, sifat, apapun yang ngebuat orang lain ilfeel sama dia sedangkan kita enggak. Karena kita lihat dia dari sisi yang nggak orang lain lihat. Ngerasain lagi manis-manisnya, berantem hebat, baikan lagi, berantem lagi. Bukan cuma sekedar ditinggalin jadi bahan taruhan kan, Rik? Hahaha. Ya namanya juga anak SMP, ngeliat sesuatu masih dari sebatas mata aja, belum mentingin isi hati." Tatap Almira sendu pada lampu taman yang tak jemu berkelap-kelip.

"Gue nggak tahu, Al. Karena gue belom nemuin cinta pertama gue. Gue sayang sama seseorang, tapi dia nggak pernah tahu kalo gue punya perasaan yang besar buat dia. Yang gue tahu, yang gue pengen, ya cuma nemenin dia, jagain dia, ngelindungin dia dari apapun, termasuk sakit hati. Walaupun gue harus ngerasain sakit yang lebih. Tapi gue cuma pengen lihat dia bahagia. Munafik sih emang, kalo gue bilang gue pengen lihat dia bahagia, tapi bahagianya bukan sama gue. Tapi, cinta itu bukan keterpaksaan kan, Al?"

"Ya ampun, Rik. Beruntungnya cewek itu. Kenapa nggak lo ungkapin aja sih, Rik? Jangan jadi laki-laki pengecut deh. Kalaupun dia menolak, seenggaknya lo udah utarain dan lo nggak ngebuang waktu lo dengan nunggu dan bertanya-tanya. Kalo lo nggak coba, lo nggak akan tahu kan kalo dia punya perasaan yang sama atau enggak sama lo?"

"Tapi... semua nggak sesimpel yang lo bayangin, Al. Karena...."

"Karena apa?"

"Eh, Al, ngomong-ngomong lo mau cerita apa sih sampe ngerengek minta gue temenin kesini?" Kilah Erik cepat upaya mengalihkan perhatian Almira dari topik pembicaraan sebelumnya.

"Oh, itu. Iya. Gue mau tanya. Menurut lo gimana kalo misalnya gue balikin ke Dito semua barang-barang yang dia kasih?"

"Loh, kenapa harus lo balikin sih, Al? Bukannya lo suka banget, apalagi sama tempat pensil gold yang sering lo bawa kemana-mana itu kan?" Erik menerka. Benar.

"Nggak penting gue suka atau enggak sama semua barang-barang itu. Gue cuma nggak mau nyimpen barang-barang yang dikasih dengan terpaksa, Rik."

"Tapi dari mana lo tahu, kalo Dito ngasih semua itu dengan terpaksa, Al. Lo bisa aja balikin semua barang-barang itu ke dia. Tapi, apa semua kenangan yang lo punya juga bisa lo balikin? Enggak kan?"

"Gue cuma mikir, udah cukup gue membodohi dan mengasihani diri gue sendiri kayak apa yang orang-orang bilang, Rik. Gue emang kalo lagi sedih ga akan peduli apapun omongan orang. Tapi kita nggak mungkin hidup dalam kesedihan terus-menerus kan? Ada saatnya kita mengikhlaskan apa yang ditakdirkan nggak menjadi milik kita. Dari situlah kita belajar bangkit dan merelakan. Selebihnya semua terserah Tuhan."

"Aha! That's absolutely right, Al. Ga sia-sia selama ini gue training lo buat bangkit dari patah hati." Seru Erik sambil bertepuk tangan, senang melihat Almira perlahan-lahan dapat menerima kenyataan. "Itu hak lo kalo lo mau balikin semua itu ke Dito, gue sebagai sahabat lo, cuma bisa ngasih saran. Selebihnya lo yang tentuin. Tapi kalo emang lo kekeuh mau balikin, sisain seenggaknya satu barang yang paling berharga menurut lo, yang lo inget dia bener-bener tulus ngasihnya."

"Hm, iya sih, Rik. Gue juga mikir sama kayak elo. Gue mau tetep simpen si Bo. Teddy bear yang dia kasih waktu SMA dulu. Yang dekilnya sama kayak lo itu loh, hahaha."

"Iya, gue tahu kok, Rik. Tuhan itu adil. Lo tahu banget kan gimana jahatnya gue sama Dito dulu. Dan sekarang? Dia ninggalin gue segitu gampangnya dengan alasan udah ngga ada perasaan apa-apa lagi di hatinya buat gue. Dulu... itu yang gue rasain ke dia, Rik, persis. Itu sebabnya kenapa gue bisa sejahat itu. Karena gue pikir gue nggak mau pura-pura. Nggak mau bohongin orang sebaik dia. Dia terlalu baik buat gue, itu yang ada di benak gue dulu. Cuma... penyampaian gue ga se-frontal dia aja, dan akhirnya, emang bener kalo Tuhan itu Maha pembolak-balik perasaan. Akhirnya gue sendiri yang kangen sama dia dan sadar bahwa gue butuh dia. Gue sadar kalo dulu gue cuma jenuh aja dan  terlalu cepat narik kesimpulan. Sampe akhirnya kita bisa balik lagi. Ya walaupun bukan gue yang minta, tetep aja sih kalo gue nggak hubungin dia duluan, kita nggak akan mungkin balikan lagi."

"Waktu itu gue ngerasanya masih "butuh" dia, Rik. Belum bisa ngerasain sayang kayak apa yang gue rasain ke dia sekarang. Tapi ternyata, setelah gue berubah jadi lebih baik buat bahagiain dia, lo liat apa yang terjadi kan? Sakit itu pasti. Tapi, walaupun gue sakit, hancur, rapuh, at least sekarang gue udah bisa ambil positifnya. Ambil pelajaran dari ini semua. Akhirnya gue tahu gimana rasanya jadi dia dulu. Di sia-siain waktu lagi sayang-sayangnya, tetep peduli sama dia walau dia udah ngerasa muak sama kehadiran gue, masih dan akan tetep sayang sama dia sampe Hello Kitty dilamar Doraemon. Rasanya, kayak ditampar, Rik. Dan itu nyata banget. Tapi gue seneng karena semua itu bikin gue sadar dan pasti bakal bikin gue jadi lebih baik. Karena gue udah tahu gimana sakitnya. Dan satu lagi, Rik. Gue lega. Legaaaaa banget. Karena akhirnya hutang gue sama dia udah lunas. Gue udah ngga ngerasa beban lagi karena rasa bersalah gue udah diganti sama kesakitan yang dia kasih. Akhirnya kita impas, Rik. Hahaha." Bulir air mata Almira jatuh di sela tawanya.

"Udah ya, Al. Please banget. Gue paling nggak bisa lihat lo nangis." Erik tersenyum seraya menghapus air mata Almira dengan ibu jarinya.

"Gue nggak nangis, Rik. Gue bahagia, akhirnya setelah bertahun-tahun beban ini terangkat juga. Dari dulu, meskipun gue sama dia balikan lagi, putus lagi, balikan lagi, rasa bersalah itu nggak pernah bisa hilang, Rik. Karena dia dulu nggak pernah berubah, selalu jadi Dito yang nice, yang sabar, yang nggak pernah capek perhatiin gue, yang selalu berharap bisa gue perlakuin dengan manis, dan gue banggain di depan banyak orang. Dan setelah gue bisa berubah, malah jadi beneran sayang banget sama dia, di saat itu karma dateng. Yang dia rasain sama persis, Rik. Sama persis kayak apa yang gue rasain dulu. Di mulut gue bilang "aku sayang kamu", sedangkan saat itu hati gue rasanya jenuh, tawar, hampa. Sampe akhirnya gue muak buat bohong terus, dan akhirnya gue pikir lebih baik gue pergi, karena gue ngerasa gue akan makin jahat kalo terus-terusan ngasih dia harapan-harapan kosong. Persis banget, Rik. Persis banget." Almira sesegukan. Erik memeluk Almira untuk meredakan tangisnya. "Gue kangen banget, Rik, dipeluk sama dia kayak gini. Kangen banget." Lanjut Almira dengan suaranya yang makin sengau.

Erik membelai rambut Almira yang aroma shampo citrus-nya sangat Erik suka, mencoba menenangkan Almira saat itu.

"Al, denger gue ya. Mungkin bahu gue nggak senyaman yang Dito punya dan pelukan gue nggak sehangat yang Dito kasih, tapi gue akan selalu ada buat lo, Al. Anytime. Lo mau nangis, marah, kecewa. Luapin aja. Gue ada di sini nemenin lo. Dan akan selalu jadi sandaran lo." Erik berpikir sejenak kemudian melepas pelukannya. "sebentar ya, Al. Tunggu di sini aja jangan kemana-mana".

Erik setengah berlari menjauhi taman kompleks, sengaja tak memberi tahu Almira kemana tujuannya. Ditinggalkannya Almira sendirian di sana.

"Ah, dasar gorilla dekil! Nggak gentle banget sih! Gue lagi kayak gini ditinggalin nggak jelas mau kemana. Mana disuruh nungguin pula!" Cerocos Almira ketus.

-15 menit kemudian-

Almira melamun menatap kepala sepatunya lagi, kemudian menyandarkan kepalanya di kepalan tangannya yang menggenggam rantai ayunan, menatap kosong pada kedai serabi di depannya. Erik mengendap-endap dan mengagetkan Almira dari sisi belakang.

"Dorr!!! Ngapain hayo bengong-bengong! Hahaha." Tawa Erik tak henti karena merasa berhasil membuat jantung Almira copot.

"Erikkkkk! Sialan lo ya! Nggak lucu!" Almira bangkit dari duduknya untuk menjitak kepala Erik. Kena.

"Aduh, Al. Lo kenapa sih galak banget sama gue. Sekali-kali kek gue lo belai-belai sayang. Hahaha. Nih buat lo biar lo nggak sedih lagi." Erik tersenyum seraya memberikan sebungkus harum manis untuk Almira.

"Ah, Erik... Makasih, makasih banyak..." Almira kembali meneteskan bulir air matanya, tersenyum haru mengingat begitu banyak hal-hal manis yang sahabatnya berikan untuk menghapus setiap kesedihannya.

Erik tersenyum menatap Almira yang bahagia saat menerima harum manis pemberiannya. Almira tersenyum menatap lampu taman yang masih tak hentinya berkelap-kelip sambil mengayunkan ayunannya dan menikmati harum manis miliknya. Almira tak sadar bahwa Erik sedang menatapnya, begitu bahagia melihat senyumannya.

"Gue sayang lo, Al. Dari dulu dan nggak akan pernah berubah." Bisik Erik dalam hatinya, kemudian tersenyum kembali.

Almira tak pernah sadar bahwa ada pria yang telah lama mencintainya dalam diam.

-Bersambung.

Thursday, October 2, 2014

Chapter 5

Almira merasa perasaannya tak begitu baik malam ini. Ia memutuskan untuk pergi ke taman. Almira merasa ingin menyendiri. Mengasingkan diri. Menepikan diri dari semua ceramah Erik, malam ini saja.

Almira membawa semua barang pemberian Dito yang sudah disimpannya di dalam satu paperbag besar yang sebetulnya ingin ia kembalikan pada Dito secepatnya. Tak lupa Almira menyisipkan buku diary kecil usangnya di saku belakang.

Sesampainya di taman, seperti biasanya, Almira duduk diatas ayunan tua yang menghadap lurus ke kedai serabi yang sering dia kunjungi bersama Dito dulu. Saat malam, taman itu begitu indah dan menawan disinari lampu warna-warni. Begitu romantis, membuat siapapun yang datang kesana setiap malam merasa jatuh cinta, kecuali Almira saat ini tentunya. Almira merenung, dan mulai menggoreskan cerita diatas buku diary kecilnya yang usang itu.

Dear diary,
Aku nggak tahu apa yang melangkahkan kakiku malam ini ke taman ini sendirian. Biasanya, aku selalu meminta Erik menemaniku. Tapi entah, rasanya malam ini aku benar-benar ingin sendirian. Menatap kedai itu, membawa semua barang-barang ini kesini, merasa rindu pada seseorang yang harusnya tak lagi kurindukan. Aku ini kenapa? Ada apa denganku? Tak cukupkah aku melemahkan diriku lagi dan lagi dengan terus-menerus berharap? Kapan aku bisa menghentikan semua harapan ini? Kapan diary?

Almira membuka halaman kosong selanjutnya, menuliskan kalimat-kalimat lirih berikutnya.

Aku adalah angin.
Aku angin yang datang padamu disaat kau gelisah.
Semilir hembusan sejukku pernah membuatmu nyaman.
Tapi sungguh sayang,
Aku tak kekal.
Aku hanya sepintas lalu kemudian kau lupakan.
Tahukah kau?
Aku begitu ingin menjadi matahari.
Kekal,
memberikanmu kehangatan,
menemanimu sepanjang hari hingga waktuku tiba untuk terbenam.
Selalu begitu setiap harinya.
Dan kau tentu dapat hidup tanpa angin, tapi tak mungkin tanpa matahari, bukan?

Almira menutup diary-nya. Meletakkannya di ayunan sebelah. Almira meraih paperbag yang tadi dibawanya. Mengeluarkan sweater hoodie milik Dito, kemudian memakainya. Almira mengeluarkan satu-persatu barang pemberian Dito yang ada di dalam paperbag itu. Almira memulainya dengan membuka tas kecil berwarna merah hati yang Dito berikan sebagai kado ulangtahunnya beberapa bulan yang lalu. Kado pertama dan terakhir yang Dito berikan. Almira mengeluarkan isi dari tas itu. Ada foto, tempat pensil, kartu ucapan, foto Dito semasa kecil, sampai tiket mereka saat pertama kali naik busway.

Almira menatap foto dirinya bersama Dito. Menatap rona bahagia mereka kala berfoto saat itu. "Apa rona bahagia kamu di foto ini juga pura-pura, Dit?" Dadanya sesak menahan air matanya yang hampir jatuh. Almira memeluk foto itu erat-erat kemudian mengeluarkan novel yang pernah Dito berikan. Di sampul depannya tertulis " Hati ini milik : Dito Arvian"

Almira memasukkan kembali novel itu kedalam tas merah hati tersebut. Memandang kembali potret bahagia dirinya dan Dito waktu itu.

"Gue harus kembaliin semua ini sama Dito, harus!" Kata Almira lirih seraya menyeka air matanya.

Dan Almira pun membuka kontak BBM Dito, kemudian mengetik sebaris pesan.

"Dit, sabtu ini ada waktu? Kita harus ketemu. Gue harus kembaliin semua ini sama lo."

-Bersambung

Tuesday, September 30, 2014

Chapter 4

"Hey, bro! Galau aja lo!" Sapa Alan sambil menepuk bahu Dito.

Alan adalah tetangga kost Dito, kurang lebih sudah satu tahun ini. Mereka cukup dekat dan sering bertukar pikiran karena kamar mereka bersebelahan. Malam itu Dito duduk sendirian di anak tangga yang ada di teras kostan nya. Ditemani segelas kopi, sebungkus rokok, dan gitar kesayangannya. Menyangkal bahwa dirinya sedang merindukan seseorang.

"Eh, Elo, Lan. Haha, nggak galau kok gue."

"Lah itu apa namanya? Duduk diem, ngerokok, ngopi, sambil meluk gitar terus bengong? Ada definisi lain selain galau?"

"Gue juga nggak ngerti ini galau apa bukan, Lan. Nggak taulah. Gue cuma berpikir kenapa gue harus sejahat ini."

"Jahat? Maksut lo? Jahat kenapa?"

"Gue putusin Almira, Lan. Udah sebulan ini gue putus sama dia. "

"Loh, kok bisa sih, Dit? Gimana ceritanya?" Tanya Alan seraya duduk satu anak tangga di bawah Dito.

"Awalnya kita cuma berantem kecil. Dia nangis karena tahu gue masih deket-deket sama Astrid. Padahal gue cuma drop Astrid bareng berangkat kerja doang, nggak lebih. Almira selalu curiga sama gue kalo gue ada hubungan lebih sama Astrid. Lebih-lebih karena Tyas selalu ngadu sama dia gue ngapain aja sama Astrid. Ya lo tau sendiri Almira, gue, sama Tyas kan udah temenan dari SMA. Almira kan deket sama Tyas. Lo juga tau kan Almira emosinya kaya gimana? Gue pikir gue udah terlalu sering nyakitin dia makanya gue bilang lebih baik kita putus aja. Dia sempet nahan gue buat nggak pergi, tapi gue udah nggak mau nyakitin dia lagi. Gue...." Dito menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. Merasa dadanya terhimpit sesuatu yang menyesakkan. "Yang gue rasain sama Almira sekarang hampa, Lan."

"Bukannya lo sayang banget sama dia? Dulu kan lo sendiri yang ngejar-ngejar dia banget. Inget nggak lo, sampe gue bego-begoin juga lo nggak peduli kan. Lo bilang yang lo tau, lo sayang banget sama dia."

"Gue juga nggak ngerti, Lan. Gue cuma ngerasa pas dia ngode gue dulu sebelum kita balikan lagi, itu waktu yang pas buat gue bisa bahagiain dia. Gue selama ini selalu ngerasa berhutang buat bahagiain dia. Karena dulu gue nggak pernah bisa. Tapi yang ada gue malah bikin semuanya makin kacau. Dan sekarang giliran dia sayang banget sama gue. Gue malah kayak gini. Gue juga nggak tau kenapa, Lan. Gue ngerasa, rasa yang gue punya buat dia hilang gitu aja setelah gue bisa menuhin semua yang dia pengen."

"Ya, gue sih nggak bisa bilang apa-apa karena yang tahu perasaan lo ya cuma lo sendiri. Bisa aja lo ngerasa udah nggak ada tantangan lagi buat bisa naklukin dia, buat bisa bikin dia bener-bener sayang sama lo. Lo sendiri kan yang curhat mulu sama gue. Dulu lo pengen banget liat dia sayang banget sama lo sebesar lo sayang sama dia. Gue sebenernya juga nggak ngerti sih, Dit. Lo bilang sayang sama dia itu karena lo beneran sayang atau lo cuma obsessed aja. Tapi menurut gue sih saat ini lo lagi jenuh aja. Dan disaat lo jenuh itulah, lo terjebak nyaman sama orang lain. Lebih-lebih kan lo kuliah sambil kerja, waktu lo buat ketemu Almira pun jarang kan? Pasti lo lebih sering ngabisin waktu sama temen-temen kerja atau kampus lo yang tiap hari bisa ketemu, jadi bukan nggak mungkin rasa nyaman yang lo punya buat Almira tergantikan sama orang lain."

"Malah gue pikir, setelah lo sering cerita kalo lo seneng banget kalo Almira mulai sedikit demi sedikit berubah, lebih perhatian sama lo, mulai berani ngakuin kalo dia sayang sama lo, bakal jadi lembaran baru buat lo sama dia. Ya karena kan lo selalu bilang cuma dia yang ada buat lo disaat lo susah, temen-temen lo yang lain cuma ada pas lo lagi seneng aja kan? Ya gue bingung juga sebenernya kenapa lo terlalu terburu-buru nyimpulin perasaan lo. Lo nggak takut nyesel emangnya?"

"Entahlah, Lan. Terlalu banyak ketidaktahuan gue yang bikin Almira makin sakit, jadi gue lebih milih buat pergi aja. Gue nggak mau bikin dia lebih sakit lagi dengan pura-pura sayang sama dia. Gue nggak tau apa gue terjebak nyaman sama orang lain atau enggak. Tapi sumpah, gue nggak ada perasaan apapun sama Astrid. Lagian Gue tahu Almira juga ngerasa kok, dia selalu bilang tatapan gue ke dia berubah. Dan setelah gue pikir-pikir emang semuanya udah berubah, Lan. Semuanya udah nggak kaya dulu lagi. Gue udah yakinin diri gue setiap hari. Gue coba tepis tapi jawabannya tetep itu."

"Well, kalo emang kayak gitu yang lo rasain ya mungkin emang bener kali perasaan lo udah hilang. Karena setahu gue sih ya kalo orang masih ada perasaan itu pasti selalu pengen tahu kabarnya, ngerasa diri lo nggak lengkap kalo nggak ada dia, dan yang pasti, lo akan ngerasa kehilangan waktu dia nggak ada."

"Pesen gue, jangan sampe lo nyesel ada orang yang gantiin posisi lo nanti, dan disaat lo pengen rebut hati dia lagi, semua udah terlambat karena dia udah jadi milik orang lain. Mungkin kalo dia masih sendiri bakal beda ceritanya. Tapi kalo udah jadi milik orang lain. Lo cuma bisa nyesel karena lo terlalu cepat menyimpulkan dulu, tanpa pikir panjang someday lo bakal nyesel apa enggak."

"Gue malah berharap ada orang lain yang bisa milikin dia, Lan. Laki-laki yang baik, yang bisa bahagiain dia dengan tulus. Nggak kayak gue. Brengsek. Gue brengsek, Lan. Selama ini gue bahagiain dia dengan kepura-puraan. Terlalu banyak bullshit yang gue janjiin sama dia. Disaat dia bisa kasih semua rasa sayangnya buat gue, gue malah tinggalin dia gitu aja."

"Lo bisa bilang kayak gitu karena lo belum ngerasa sepi dan kehilangan dia, Dit. Karena lo ngerasa, dia masih dan akan selalu mikirin lo. Lo belum bener-bener akan ngerasa kehilangan dia sebelum dia bener-bener jauh. Nggak ada lagi update PM, DP, bahkan status galau dia di socmed macem twitter sama path. Someday lo pasti akan ngerasa kehilangan dia, saat dia udah nggak peduli lagi semua tentang lo. Saat itu lo bakal nemuin apa yang bener-bener lo rasain sama dia. Dan lo sadar lo menyesal. Mungkin nggak sekarang, tapi suatu hari nanti."

"Lo bakal nyesel kenapa lo dulu terlalu terburu-buru. Lo bakal nyesel karena lo udah ninggalin orang yang mau nerima lo apa adanya. Yang nggak ngeliat lo dari segi materi, apa yang lo pake, apa yang lo kendarain, semua suatu hari bakal jadi hal yang paling lo sesalin. Karena gue pernah ada di posisi lo, Dit."

"Duh, kenapa jadi gue yang mellow ya, hahaha. Ya gue sih cuma berbagi pengalaman aja. Siapa tahu bisa jadi pencerahan buat lo. Tapi kalo kasusnya kayak Almira sih gue mikirnya ini karma, dulu kan dia... ya lo pasti ingetlah apa yang lo ceritain ke gue dulu. Mungkin juga semua ini jalan dari Tuhan biar Almira bisa belajar, dan suatu hari nanti nggak akan nyakitin perasaan orang lain. Karena dia udah tahu gimana rasanya."

"Ya, nggak tau lah, Lan. Gue cuma nggak tau apa yang gue rasain. Yang gue tahu pasti, gue cuma nggak mau nyakitin Almira lagi. Gue pengen dia dapetin kebahagiaannya yang hakiki, dapetin cowok yang tulus sayang sama dia, nggak nyakitin dia dan nggak brengsek kayak gue." Kata Dito penuh rasa bersalah.

"Yaudah, semua udah terjadi. Lo nggak usah nyalahin diri lo sendiri terus-menerus, mungkin aja ini jalan dari Tuhan buat bikin kalian makin dewasa, nggak ada yang tahu kan endingnya kayak gimana nanti. Kemungkinannya cuma tiga. Almira punya pacar baru dan move on dari lo, lo sama dia balikan, atau......" Alan menjeda kalimat terakhirnya.

"Atau apa, Lan?"

"Atau dia tetep pengen sendiri sampai waktu yang nggak bisa kita tebak." Sambung Alan.

"Yaudah, ya, Dit. Gue masuk dulu, pengen belajar lah dikit-dikit. Besok gue UAS nih soalnya."

"Oke, Lan. Btw thanks ya saran lo."

"Sip. Kapanpun lo butuh temen cerita, kalo gue ada waktu pasti gue bakal temenin lo kok, bro. Gue duluan ya."

Dito menghisap batang rokok ketiganya. Sepanjang malam dia hanya melamun dan memetik senar-senar gitar hingga menjadi alunan nada yang indah, memainkan lagu-lagu yang Almira sukai dan yang mengingatkannya pada Almira. Dito hanyut dalam alunan nada yang keluar dari senar gitarnya. Masih tak ingin mengakui bahwa malam itu dia merindukan Almira.

-bersambung.

Saturday, September 27, 2014

Chapter 3

"Riiiiik... Eriiiik! Cepetan kek!" Teriak Almira tak sabar.

"Ih, dasar lampir, bawel banget sih lo! Iya sabar kek, tunggu sebentar gue dandan dulu biar kece, kali aja ada Maudy Ayunda nanti. Siapa tahu dia jatuh cinta pas liat gue." Kata Erik cengengesan.

"Ih, ngimpi lo ya! Ini jam 2 pagi, Rik. Ngapain coba lo pake dandan segala? Lagian, jangankan Maudy Ayunda, cewek waras juga udah ngga ada yang melek kali jam segini! Udah cepetan deh bilang, kita mau kemana sih? Berangkat tengah malem gini. Lo mau ngerjain gue ya? Lagian, lo yakin kita mau berangkat jam segini?" Kata Almira ragu.

"Udah deh, Al. Nggak usah takut, tadi gue udah tidur seharian. Insya Allah nggak ngantuk dijalan. Dan yang terpenting lo nggak usah nyerocos terus kayak nenek sihir. Percaya deh sama gue lo pasti bakal berterima kasih karena gue bakal bikin lo lupa sama Dito hari ini. Gue janji." Kata erik sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengah di tangan kanannya.

Kemarin, Erik sengaja mendatangi teman dekatnya yang kebetulan akan keluar kota. Ia tak keberatan jika Erik meminjam mobilnya. Erik memang berencana untuk mengajak Almira ke suatu tempat. Erik ingin mengukir senyum bahagia di bibir Almira hari ini.

Jam menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Erik mulai menstater mesin.

"Are you ready, Almira Shafila?"

"Yes, I am, Erik Prawira!" Seru Almira bersemangat.

-------------------------------------

Sepanjang perjalanan Erik terus saja membahas hal-hal konyol yang tak henti-hentinya membuat tawa Almira meledak. Ada saja bahan lelucon yang dapat Erik ceritakan. Sepanjang jalan, celotehan Almira yang tak ada hentinya itu lamat-lamat menghilang. Ternyata, Almira kelelahan dan tertidur pulas. Erik memandang wajah Almira dan mengusap kepala Almira lembut. Menatap Almira dengan tatapan dan senyum bahagia. Erik senang dapat membuat Almira melupakan sejenak kesedihannya. Setidaknya, untuk saat ini.

--------------------------------------

"WELCOME TO BODUR BEACH"

Itu yang terlihat pertama kali saat mereka hendak memasuki pantai ini. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. perjalanan dari Jakarta ke pantai di kawasan Anyer ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam.

"Aaaaaaa, Eriiiiik!!!! It's more than awesome!" Almira refleks memeluk lengan Erik.

"Ayo, Rik! Cepet! Gue nggak sabar mau lihat sunrise!" Almira sangat bersemangat dan menarik tangan Erik agar bisa sesegera mungkin turun dari mobil.

"Sabar, Al, buru-buru amat sih. Kita masih punya banyak waktu kok sampe sunset nanti. Hari ini gue khusus jadi bodyguard yang bakal nemenin lo seharian. Terserah lo deh pengen ngapain aja. Asal jangan pengen tenggelem aja. Hahaha." Canda Erik.

Erik turun dari mobil dan menggandeng Almira ke saung dekat pantai. Mengajak Almira menikmati alam dan membiarkan alam untuk menghapus dukanya saat itu.

"Kita duduk di sini aja dulu, nikmatin hawanya. Di jakarta nggak akan pernah bisa kayak gini kan?

"Aaaaa, Erik. Sumpah, makasiiiiih banget ya, Rik. Elo emang sahabat gue yang paliiiiiiing baik!" Almira mengakhiri ucapannya dengan menarik hidung Erik kemudian memeluknya penuh haru.

"Everything I do, I do it for you, Al. Just for you. Semua demi kebahagiaan elo. Gue rela sakit sendirian di sini asal lo bahagia. Gue nggak rela siapapun nyakitin elo, cewek yang paling gue sayang. Sekalipun dia orang yang paling berarti di hidup lo. Iya, Dito. Gue benci sama dia karena udah nyakitin lo." Bisik Erik dalam hati seraya membalas pelukan Almira dan mengusap-usap kepalanya seperti yang biasa dia lakukan saat menenangkan Almira.

"Jangan sedih lagi ya, Al. Mungkin gue bukan yang lo harapkan buat selalu ada di deket lo. Tapi gue akan jadi orang pertama yang ngebantu lo buat bangkit di saat orang yang lo sayang sekalipun nyakitin elo. Gue bakal selalu ada buat lo, Al. Gue janji."

"Makasih ya, Rik. Lo baiiiiiiik banget. Gue bersyukur punya sahabat kayak lo. Dan lo satu-satunya pengecualian dari kalimat "semua cowok itu brengsek". Yaudah, ayuk kita ke sana yuk, gue mau liat sunrise. Ayo, Rik, cepet! Matahari hampir terbit!"

-bersambung..

Thursday, September 25, 2014

Chapter 2

"Woy! Lo kenapa sih, Al. Melamun terus, mikirin Dito kalih? Hahaha." Celetuk Erik.

Erik adalah sahabat dekat Almira sejak duduk di bangku SMP, lebih tepatnya, Erik adalah tetangga yang dikenalnya pertama kali dan dekat hingga sekarang.

"Hahaha, apaan sih lo, Rik. Dasar gorilla sok tahu! Nggak kok, gue emang lagi nggak enak badan aja. Makanya bawaannya lesu." Jawab Almira.

Almira yang sedang ingin menyendiri di taman kompleks dekat rumahnya itu sebenarnya merasa agak terganggu dengan kehadiran sahabatnya yang super menyebalkan ini. Erik memang tipikal sahabat yang menyebalkan, bahkan menjengkelkan. Tapi di satu waktu, dia dapat berubah menjadi Erik yang super serius dan dewasa di saat-saat seperti ini. Di saat Almira membutuhkan sandaran dan tempat berbagi.

"Al, Al. Lo pikir gue baru kenal lo kemaren kali?" Kata Erik seraya mengacak-acak rambut Almira yang sudah tersisir rapi

"Ih, apaan sih lo, Rik. Gue tuh paling nggak suka diacak-acak rambutnya. Apalagi sama elo! Dasar nyebelin." Sahut Almira jutek.

Erik memandang Almira dengan perasaan yang sama sakitnya. Hatinya sakit melihat orang yang amat disayanginya terluka.

"Udahlah, Al. Nggak usah pake bohong-bohong segala sama gue. Mata lo tuh ngga bisa bohong. Dua minggu ini gue liat lo bengong terus. Kata nyokap lo, lo juga jarang makan. Ga inget 3 hari yang lalu lo nelpon gue malem-malem terus dateng ke kostan gue dengan kondisi muka kucel, mata sembab, rambut acak-acakan, berantakan! Gue nggak suka lihat sahabat gue nggak karuan kayak gini! Mana Almira yang gue kenal? Masa cuma gara-gara diputusin sama cowok cemen macem Dito aja lo rapuh sih. Dasar cengeng!"

Almira masih terus saja melamun sambil mengayun-ayunkan dirinya diatas ayunan tua yang ada di taman tersebut. Sedangkan Erik duduk di ayunan sebelahnya dan masih terus saja mengoceh.

"Mau sampe kapan sih lo kayak gini, Al? Semua udah terjadi. Dia udah pergi. Terus apalagi yang lo tunggu? Udah lah, Al, sadar. Bangun dari mimpi lo. Lo udah terlalu lama hidup dalam mimpi. Bahagia lo sama Dito selama ini cuma semu. Apa sih untungnya nyiksa diri lo kayak gini?"

"Al!! Lo daritadi dengerin gue ngomong nggak sih!" Suara Erik meninggi, agak emosi merasa diabaikan Almira.

"Hah? Iya, Rik? Apa? Lo ngomong apa tadi? Maaf gue nggak konsen."

"Nah, liat sendiri kan? Orang yang gantengnya setara Thomas Brodie Sangster gini aja lo cuekin. Helow, jatoh deh ini mah harga diri gue." Cerocos Erik tak henti

"Haha. Apaan sih, Rik. Nggak aus apa lo daritadi nyerocoooooooos terus. Gue cuma pengen sendiri, Rik. Gue nggak pengen ngapa-ngapain. Lo ngerti nggak sih? Gue cuma butuh waktu buat sendiri. Gue butuh ketenangan. Lo nggak ngerti rasanya, nggak sayang sama seseorang terus seiring berjalannya waktu semua berubah hanya karena lo pengen bikin dia bahagia. Lo pengen kasih dia apa yang dulu nggak pernah lo kasih. Sayang, perhatian, ketulusan. Semua yang nggak pernah gue kasih ke dia dulu, Rik. Gue hanya mencoba jadi Almira yang lebih baik buat dia. Tapi kenapa kayak gini akhirnya? Terus buat apa dia balik lagi ke kehidupan gue kalo cuma buat ngancurin gue aja? Sakit, Rik. Sakit." Air mata Almira menetes.

Erik beranjak dari posisi duduknya dari ayunan sebelah Almira. Berjongok di depan Almira dan menggenggam tangannya.

"Al. Lo tahu? Mungkin Tuhan nggak kasih apa yang kita pengen, tapi Tuhan selalu ngasih yang kita butuh kan? Coba lah lo ambil positifnya dari semua kejadian ini. Jangan melulu ngeluh sama Tuhan. Saat lo dikasih bahagia, pernah nggak lo inget buat sujud sama Dia dan ucap syukur? Pernah lo berterimakasih sama Dia lo dikasih kebahagiaan yang begitu besar walau hanya sekedar dipeluk Dito? Lo lupa, Al. Lo udah lupa terlalu jauh kalo ada Tuhan yang harusnya lo kasih cinta lo yang terlalu besar itu. Bukan Dito. Pernah lo mikir kayak gitu?" Ceramah Erik panjang lebar.

"Masya Allah, Rik. Iya. Lo bener. Kenapa gue nggak pernah berpikir kayak gitu ya. Ya Allah, nggak ada manusia yang lebih hina daripada gue saat ini, Rik. Gue malu. Kenapa gue bisa begini ya, Rik? Gue juga nggak ngerti. Eh, tapi tumben, Rik. Kok otak sama omongan lo bener. Bisa sinkron gitu. Biasanya kan...... Hahaha." Mendadak tangis Almira terhenti dan tawanya meledak saat meledek Erik.

"Biasanya apa! Dasar lo anak kurang ajar. Udah diingetin, bukannya makasih malah nyela gue lagi lo. Tapi nggak apa-apa lah, itung-itung banyakin pahala karena ngehibur sahabat gue yang mukanya kaya pantat panci ini. Hahaha." Kata Erik bersemangat sambil menjewer kuping Almira.

"Denger ya, Al. Tuhan itu bukan kayak kita. Yang nyimpen dendam kalo kita lupa sama Dia. Dia bakal selalu ada buat lo disaat lo butuh. Pun seandainya lo kebalikannya. Meskipun disaat lo bahagia lo nggak pernah inget dia. Dia nggak pernah marah kan? Anggap ini semua ujian buat lo. Akankah lo sadar setelah kehilangan satu-satunya yang lo anggap paling berharga buat lo. Minta maaf sama Dia, Al. Lo udah terlalu jauh ngelupain Dia. Dan anggep aja ini karma lo karena lo pernah bikin Dito kecewa kan dulu? Ya walaupun gue tau nggak sesakit yang Dito kasih ke elo. Tapi, Tuhan selalu punya cara untuk menuntun hamba-Nya kembali kok. Kembali untuk dekat sama Dia."

"Iya, Rik. Makasih ya. Iya gue sadar banget gue udah terlalu jauh lupa sama Dia. Yaa Allah, kenapa gue bisa kayak gini sih? Buta banget sama cinta. Dan lo tahu, Rik? Gue sempet pengen ngerusak diri gue sendiri karena gue ngerasa gue nggak bisa tanpa dia. Dan belakangan ini gue sering kesini dan ngelamun itu, ya karena gue ngehindarin hal-hal buruk yang mungkin gue lakuin. Tapi gue bersyukur gue bisa nahan ide-ide bodoh itu buat nggak gue lakuin."

"Tapi, Rik. Apa mungkin kalo Dito suatu saat bakal kembali lagi sama gue? Apa dia bakal minta maaf dan mohon-mohon sama gue untuk kembali sama dia dan ngelupain semua ini? Apa itu mungkin, Rik? Apa itu mungkin setelah dia bilang kalo "Disini udah nggak ada apa-apa, Al." Apa itu mungkin, Rik?" Kata Almira lirih, setengah berharap.

"Lo juga. Kenapa sih lo selalu marahin gue kalo gue gak bisa move on, lebih tepatnya nggak mau move on. Lo nggak ngerti, Rik. Lo nggak tahu rasanya." Tatap Almira sedih pada kedai serabi depan taman itu yang dulu sering dia kunjungi bersama Dito.

Erik menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Dalam hati ia berteriak: "Al, Al. Lo yang nggak ngerti! Lo yang nggak tahu rasanya! Segitu cintanya kah lo sama Dito sampai lo nggak liat kalo disini selalu ada gue yang nemenin lo, yang jadi bahu lo saat lo sedih, yang selalu berusaha bikin lo ketawa tanpa lo tahu perasaan gue sama lo masih ada sampe sekarang. Apa nggak ada kesempatan buat gue sedikit aja masuk ke sela-sela hati lo dan memperlakukan lo lebih baik dari Dito? Nggak ada, Al?"

Erik memang pernah memiliki perasaan yang lebih pada Almira. Perasaan lebih dari sekedar sahabat. Erik tak mengerti itu perasaan apa. Mungkin sayang, atau cinta? Entah apalah itu. Yang Erik tahu dia hanya ingin selalu ada untuk Almira. Menjadi pelipur laranya, menjadi orang yang bisa Almira andalkan di segala situasi. Dulu, Erik pernah menyatakan perasaannya dan Almira malah menganggap semua hanya leluconnya saja. Kata Almira, dia dan Almira bahkan sudah seperti adik dan kakak, jadi bagaimana mungkin Erik bisa memiliki perasaan semacam itu padanya? Dan sejak saat itu, Erik memilih untuk tetap memendam perasaannya. Yang hingga saat ini, tak pernah berkurang, bahkan semakin hari kian bertambah. Erik mencoba menyayangi Almira dalam diam.

"Woy!! Kok jadi elo yang bengong sih, Rik. Ntar ayamnya Pakde Kumis mati aja! Hahaha. Mikirin apaan sih lo? Mikirin cewek yaa? Ciyeeee.... anak semester berapa? Cerita dong sama gue!" Kata Almira cengengesan lalu meninju bahu Erik.

Erik mendudukkan dirinya di tumpukan batu bata yang ada di depan ayunan Almira. "Apaan sih lo, Al. Cara lo ngalihin pembicaraan nggak lucu. Apa yang gue pikirin itu nggak penting. Yang penting sekarang gimana caranya lo nggak berantakan kaya gini lagi. Ilfeel gue liat muka lo dekil kaya gitu, mandi orang mah. Galau sih boleh aja tapi ya nggak sampe dua minggu nggak mandi juga kali, Al!"

"Astaga, Erik. Jahat banget mulut lo. Enak aja! Lo nggak liat gue udah kayak bidadari gini. Abis luluran nih gue tadi!"

"Yaelah, Al. Buat apa juga lo segala luluran sampe ngerasa lo setara bidadari gitu kalo tujuannya cuma nyepi di taman kompleks, duduk sambil ngelamun di ayunan, dan berkaca-kaca natap kedai serabi itu?"

Almira diam saja. Almira benar-benar kaget bahwa sahabatnya yang satu ini benar-benar memahami dirinya. Dalam hati dia berharap "Andai Dito kayak lo, Rik."

"Haha. Apaan sih lo? Kebiasaan buruk lo tuh. SOK TAHU." Kata Almira lantang mempertegas kalimat terakhirnya.

"Haha. Sumpah ya, Al. Gue suka pengen ngakak kalo lo berusaha bohongin perasaan lo depan gue. Lo itu sahabat gue dari SMP, gimana bisa sih gue nggak tahu gerak-gerik lo kalo lagi galau? Kalo lagi desperated kaya orang di pending gaji 3 bulan?"

"Anjrit. Emang gue se-ngenes itu apa, Rik? Hadeeeeeh, gue lagi sedih, bukannya dihibur malah dicela-cela mulu?" Jawab Almira dengan raut muka datarnya

"Haha. Terserah lo, lah. Gue laper nih, cepetan traktir gue bakso Mas Man. Lo kan udah gue kasih pencerahan sore ini. Masa lo nggak ada balas budinya sih sama gue?"

"Hih, dasar. Sahabat macam apa lo. Mana ada begitu ceritanya. Dimana-mana orang mah ada sahabatnya lagi sedih ya ngehibur sukarela lah, lagi juga harusnya elo yang traktir gue. Kan gue yang lagi sedih hari ini. Huuu!"

"Yaudah, oke oke. Lo beruntung, Al, hari ini. Berhubung hari ini gue udah kelar UAS dan kebetulan dapet bonus karena achieve target, boleh lah traktir sahabat gue yang oon ini kalo cuma bakso mah. Yaudah ayo bangun, mau sampe kapan lo duduk di ayunan reyot itu? Sampe ambruk? Hahaha." Erik berdiri dari duduknya seraya meraih tangan Almira untuk mengajaknya ke kedai bakso Mas Man di ujung kompleks.

Erik menggandeng Almira dan sesekali mengacak-acak rambutnya gemas. Walaupun Almira selalu menunjukkan mimik wajahnya yang dia pikir dapat membuat Erik takut. Sepanjang jalan, Erik terus menghiburnya dengan candaan-candaan khasnya yang konyol dan garing. Hingga tanpa sadar Almira lupa, bahwa ia sedang galau saat itu.

-bersambung.

Tuesday, September 23, 2014

Chapter 1

"Jangankan mereka, akupun lebih-lebih nggak percaya akhirnya seperti ini." Kata Almira saat melihat pantulan wajahnya di meja rias.

Almira melamun saat duduk di meja riasnya. Wajah Almira kusut, matanya sembab. Tampak lingkaran hitam di kantung matanya. Dirinya terlihat sangat berantakan malam itu.

Almira merasa rindu akan sosok Dito yang dulu. Entah, apa yang membuat Dito berubah begitu banyak saat ini. Almira begitu merindukan Dito yang sangat baik, sangat perhatian, dan malah yang sangat membosankan.

---- 1 bulan yang lalu ----

"Secepat itukah, Dit? Kamu ngerasa perasaan kamu ke aku udah berubah? 4 tahun, Dit. Semua itu nggak sebentar. Nggak ada artinyakah buat kamu? Perjuangan aku? Perjuangan kita? Walaupun kita dari dulu selalu putus nyambung? Dan secepat itukah kamu bilang perasaan yang kamu punya buat aku hilang? Aku tau, Dit, awal kita balikan dulu kamu nggak begini. Tatapan kamu nggak berubah kaya beberapa bulan terakhir yang aku bilang. Kamu berubah sejak kamu kenal dia. Aku kenal kamu nggak setahun dua tahun, Dit. Tega ya kamu kayak gini. Setelah kamu buat aku bener-bener bisa ngasih semua rasa sayang aku ke kamu, yang padahal dulu cuma bisa aku kasih setengahnya. Kamu yang narik-narik aku sampe akhirnya aku jatuh. Aku coba berubah untuk jadi Almira yang lebih baik buat kamu. Jadi Almira yang nggak egois, yang sabar, yang lebih perhatiin kamu. Semua aku lakuin buat kamu, Dit. Aku pengen bahagiain kamu. Tapi inikah balasannya? Setelah semua usahaku buat berubah, sedikit... sedikit.... sampe akhirnya aku bisa jadi Almira yang perhatian, yang cemburuan, yang ngambek kalo nggak ketemu kamu. Yang bahkan tadinya aku mikirin juga nggak, kamu seharian mau ngabarin aku atau enggak. Ini cara kamu ngebales semua sakit kamu dulu? Kalo iya, makasih ya, Dit. Kamu berhasil. Berhasil banget."

"Aku minta maaf, Al. Aku.... udah nggak ngerasa apa-apa lagi di sini. Bener yang kamu bilang, semua yang aku lakuin buat kamu, itu terpaksa. Karena aku ngerasa bersalah sama kamu. Karena aku ngerasa, aku punya hutang untuk bahagiain kamu. Setelah aku bisa sedikit-sedikit menuhin mau kamu, mulai dari ngelewatin Ramadhan bareng, ngasih kamu kado saat kamu ulang tahun, sampe liburan berdua sama kamu, setelah aku bisa menuhin itu semua, rasa yang aku punya buat kamu hilang, Al. Dulu waktu kamu bilang kamu kangen sama aku, aku ngerasa itu waktu yang tepat buat bikin kamu bahagia. Tapi justru aku malah bikin semuanya makin kacau. Aku tahu itu. Tapi aku lega karena aku ngerasa sekarang tugas aku udah selesai. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa kayak gini, Al. Aku..... cuma nggak ingin pura-pura, aku nggak mau bohongin kamu lagi. Aku jahat, Al. Aku udah terlalu banyak bohongin kamu, dan aku... aku nggak mau lebih lama lagi pura-pura, aku nggak mau nyakitin kamu lebih dalem lagi, makanya aku mau pergi."

Almira bingung harus berkata apa, semua berkecamuk di pikirannya. Marah, sedih, kecewa, bahkan sungguh tidak percaya atas apa yang Dito katakan.

Beberapa hari sebelum Dito mengucapkan kata-kata yang begitu meluluh-lantakkan hati Almira itu, mereka sempat bertengkar karena Almira tahu, Dito sedang dekat dengan wanita lain. Yang Almira rasa, telah memberikan rasa nyaman yang lebih dari yang Almira bisa berikan. Hingga akhirnya Almira merasa begitu sakit, sangat sakit. Dan ketika itu, hanya air matanya yang berbicara.....

Setiap hari Almira menangis tiada henti. Mungkin orang lain berpikir dia berlebihan, tapi tentu hanya Almira yang tahu bagaimana rasanya begitu sedih dan hancur saat itu. Hanya buku diary lusuhnya yang tahu dan mengerti perasaan Almira yang berantakan saat itu.

-----------------------------------------

Dear Diary...
Aku nggak tahu harus bilang apa sama kamu. Yang pasti, hatiku begitu hancur saat ini. Kamu tahu? Seorang Dito Arvian, yang dulu sangat memuja aku, yang terlalu sering aku sakiti, sekarang udah bisa nyakitin aku. Bahkan, lebih sakit. Sangat sakit. Dan kamu tahu, diary? Dia bilang disana udah nggak ada apa-apa lagi, hampa, dan dia bilang dia nggak mau bohongin aku lagi. Nggak mau pura-pura lagi. Ya, aku pikir ini semua karma buat aku karena aku dulu selalu nyakitin dia. Aku pengen balik lagi sama dia dulu, karena aku pengen bahagiain dia yang aku ngerasa dulu aku nggak pernah bisa, nggak pernah sempat. Karena aku terlalu egois, terlalu jahat dan memikirkan kebahagiaan aku sendiri. Tapi, disaat aku berubah sedikit demi sedikit jadi lebih baik buat dia, bisa nahan emosi aku sedikit demi sedikit buat dia, bahkan yang paling drastis jadi perhatian banget sama dia, yang aku sadar banget dulu aku terlalu cuek bahkan untuk sekedar nanya dia udah makan atau belum. Kamu tahu, diary?  Sulit, bahkan sangat sulit buat aku untuk jadi aku yang sekarang. Yang sangat peduli sama dia. Setiap hari aku belajar. Belajar dari kesalahan aku, belajar dari semua masalah kita, mencoba nanggepin dengan dewasa karena aku tahu udah bukan saatnya main-main lagi. Tapi disaat semua yang aku usahakan dengan begitu susah payah udah aku kasih ke dia? Dia hanncurkan semua itu dengan mudahnya. Tahu rasanya? Seperti ingin ia bawa ke langit ke-tujuh, tapi saat di langit ke-enam genggamannya sengaja dilepas karena ingin melihatku terjatuh kemudian menertawakan aku. Seburuk apapun aku di masa laluku, aku nggak pernah meninggalkan dia karena merasa nyaman dengan orang lain, bahkan demi orang lain. Yang bahkan setelah putus hubungan bahkan makin dekat. Dia nggak mengakui kalau ada orang lain di hatinya, tapi aku tahu diary. Aku tahu. Karena aku memahami dia. Aku kenal dia. Yang membuatku amat sangat tidak percaya semua ini terjadi, karena memang sebelumnya dia nggak pernah kayak gini. Yang bahkan hanya salah bicarapun, memohon maaf hingga berhari-hari karena takut aku terluka. Benar yang dia bilang, "Dulu sama sekarang itu beda, Al." Iya. Aku tahu. Bahkan disaat aku mencoba meyakinkan perasaannya, tak sedikitpun dia meminta waktu sama aku untuk merenungkannya. Dia bilang "Aku mau putus, Al." Akan selalu ada cara Tuhan untuk membalas setiap kejahatan bukan, diary?  Bahkan yang telah bertahun-tahun kupikir telah terkubur. Firasatku ternyata benar, bahwa suatu saat dia pasti akan berubah, dan saat itu semua berbalik. Kini aku yang memujanya. Tuhan, mohon maafkan hamba-Mu ini yang hanya datang kepada-Mu disaat sulit, disaat duka, disaat tak ada pilihan untuk bersandar selain Engkau. Biarlah kesakitanku dapat membuatnya bahagia. Dulu, kamu nggak pernah sempat bikin dia bahagia kan, Al? Sekarang saatnya kamu membalas semua kebaikan dia dulu. Walaupun semua harus kamu bayar dengan kesakitan, kamu jadi nggak akan ngerasa berhutang sama dia lagi kan? Percaya aja, jodoh nggak akan kemana. Kalau memang dia jodoh kamu, kelak pasti dia akan kembali. Kalau bukan, pasti Tuhan sudah siapkan yang terbaik buat kamu. Berprasangka baiklah, Almira...

Almira menutup buku diary nya dengan perasaan yang makin tak karuan. Dia memegang ponselnya. Mencari kontak seseorang disana dan memencet tombol call setelah kontaknya ditemukan.

"Halo, Rik? Lo ada di kostan ngga? Gue kesana ya?" Kata Almira sesegukan.

-Bersambung...

Monday, September 1, 2014

Tak Lagi Sama :")

Hei, kamu. Iya kamu. Tahu nggak kalo aku sekarang lagi kangen banget sama kamu? Mengingat lagi akan semua kenangan kita yang nggak pernah lelah untuk aku coba lupakan. Tahukah kamu di sini aku selalu bertanya-tanya kenapa kita jadi serumit ini? Yang padahal, dua minggu sebelumnya kita masih tertawa bersama, bahagia bersama, oh maaf, maksudku mungkin hanya aku yang merasakannya.

Aku nggak pernah ngerti apa yang bikin kamu tega, tanpa memikirkan, tanpa mencoba mencari tahu apa yang salah sama diri kamu dan aku. Tanpa mencoba berhati-hati bertanya pada hati kamu. Apakah ini hanya perasaan sesaat aja.

Sadarkah kamu memilih meninggalkan aku hanya karena jenuh dan merasa ingin sendiri? Karena merasa kamu hampa saat bersamaku? Merasakah kamu bahwa nggak mudah untuk aku sampai disini, sampai di titik ini, level ini. Semua aku lakukan buat perjuangin kamu, buat perjuangin kita. Aku cuma kecewa kenapa kamu nggak meminta aku memberi kamu sedikit waktu untuk berfikir. Untuk memikirkan apa jalan keluar dari masalah hati yang kamu hadapi. 4 tahun, sayang. Nggak berartikah itu untuk kamu? Segala kesabaran aku, kesabaran kamu, kesabaran kita menghadapi semua cobaan untuk mempertahankan hubungan kita hingga di level ini.

Padahal, hampir satu tahun kita genap kembali lagi. Ingatkah kamu, kalau ini bulan September? Bulan dimana kita kembali dekat, dimana kamu pelan-pelan yakinin aku lagi bahwa kamu ingin aku temenin kamu ngelewatin semua masa sulit kamu. Yakinin aku, bahwa kamu pengen ubah mindset aku tentang "semua pria itu brengsek".

Dimana semua keyakinan kamu akan kita. Keyakinan akan kamu dan aku bisa ngelewatin ujian di tiap level dalam hubungan kita. Dimana semua keyakinan itu sekarang? Dulu, kamu yang memohon aku untuk tetap tinggal. Aku nggak ingkar. Aku hanya pernah hampir ingkar. Tapi aku tahu aku akan sama bodohnya seperti dulu kalau aku kembali ingkar. Tapi kamu? Sadarkah? Selama ini kamu yang minta aku untuk tetap nemenin kamu, ngelewatin masa-masa sulit dalam hidup kamu. Tapi nyatanya? Kamu sendiri yang ingkar. Kamu sendiri yang ninggalin aku.

Aku tau kamu berhak, sangat berhak untuk menentukan apa yang kamu pilih, apa yang kamu rasa bisa membahagiakan kamu. Aku tahu kamu memilih ninggalin aku karena kamu nggak ingin luka aku semakin lebar dan dalam. Makanya, kamu milih buat pergi sesegera mungkin sebelum kamu sakitin aku makin dalam lagi. Aku tahu yang kamu rasakan karena aku juga pernah merasakan jenuh yang sama. Walaupun kamu bilang, "tapi ini beda, Rhyy". Aku hargai keputusan kamu yang nggak ingin berpura-pura sayang sama aku lagi. Kamu, pria yang baik. Memilih jujur walaupun nyakitin aku, daripada membahagiakan aku tapi kamu berpura-pura. You're a real gentleman :")

Entahlah, aku sebenarnya hanya mencoba meyakinkan kamu agar kamu tidak menyesal nantinya, agar kamu dapat menghargai apa yang udah kamu milikin, apa yang udah kamu perjuangkan untuk dapetin apa yang dulu pengen kamu milikin (lagi).

Aku sadar aku udah ngga punya hak untuk hubungin kamu, karena aku nggak ingin di cap nggak tau diri. Jelas-jelas kita udah pisah dan kamu minta aku untuk cuekin kamu. Aku takut, padahal aku pengeeeen banget tau keadaan kamu. Kamu lagi ngapain, gimana aktifitas kamu hari ini, gimana kuliahnya, gimana kerjanya.

Aku cuma kangen, kangeeeen banget semua tentang kamu. Kangen dikasih semangat sama kamu, kangen diucapin selamat pagi sama kamu, kangen dipanggil sayang sama kamu, dipeluk, dijadiin sandaran, dijadiin tempat buat kamu ngelepas lelah, sampe...... dibawain kwetiau sama kamu tengah malem :")

Aku, kangen kamu, Jey :")

Monday, August 25, 2014

Tuhan, Tak Sudikah Kau Memberiku Sedikit Kebahagiaan?

Bagai jantung yang diremuk. Sesak. Atau mungkin lebih parahnya, saking terlalu sering dipatahkan, kini tak lagi terbentuk. Kadang aku tak mengerti apa tujuan Tuhan memberi takdir seperti ini. Kalau aku takkan jadi yang terakhir untuknya, takkan jadi bahagianya, takkan jadi tujuannya, lantas untuk apa yaa Allah, untuk apa Kau temukan aku lagi dengannya? Aku ikhlas memberi pintu maafku untuk dia, karena dia telah memberiku maaf terlebih dulu atas semua khilafku yang lalu. Mencoba merangkai kembali bagian yang mungkin sudah sulit disatukan, melanjutkan kisah yang tertunda, yang kami pikir akan indah pada akhirnya, seperti harapan kami. Oh maaf. Maksudku, mungkin kini hanya harapanku saja.

Aku hanya lelah. Lelah mencari dimana letak bahagiaku, lelah mencari tahu dimana Kau simpan bahagiaku. Kupikir, semua usahaku untuk mencari telah berakhir. Karena aku merasa, saat dia disisiku seluruh dunia dan bahagia adalah milikku. Mengapa sulit rasanya untuk menemukan kebahagiaan untukku? Apa aku tak layak? Ingin rasanya aku bertanya pada-Mu langsung. Haruskah aku kesana? Agar aku bisa berbagi dengan-Mu, memeluk-Mu, bersandar pada-Mu, mencurahkan segala kekecewaanku pada-Mu.

Perih rasanya. Tak dapat kuungkapkan betapa perih hatiku menerima semua ini. Masih tak dapat aku percaya bahwa dia bisa melakukan hal ini. Aku tahu, menerimanya kembali sama saja membuka jahitan lukaku yang hampir sembuh. Tapi aku rela, karena aku sadar bahwa hanya dialah duniaku, dialah tempatku berbagi, dialah yang kusayangi, dialah yang memenuhi ruang hatiku, seluruhnya, tanpa terkecuali.

Kupikir, Kau kembalikan dia lagi di sini, di sisiku, di hatiku, di pikiranku, karena Kau ingin menyatukan kami, karena Kau hanya memberi kerikil-kerikil kecil untuk kami. Tapi nyatanya, hanya karena wanita itu, wanita yang.... ah sudahlah... aku tak ingin lagi mengingat karena apa dia meninggalkanku. Aku hanya.... aku hanya kecewa. Kecewa dia meninggalkanku untuk wanita lain. Kecewa menyadari hatinya telah diisi oleh wanita lain. Kenapa dia berubah? Kenapa dia tega? Kenapa dia tak menyadari bahwa tak mudah bagiku untuk berjuang sejauh ini? Kenapa dia lupakan semuanya? Aku tak tahu apa yang merasuki pikirannya hingga dia tega memutuskan untuk meninggalkan aku. Yang aku ingat, aku telah memaafkannya berulang kali walau dia tetap melakukan salah yang sama. Tapi tak sadarkah dia, bahwa aku perlu hati yang lapang untuk melupakan semua kesalahannya? Memaafkannya lagi dan lagi. Mencoba percaya lagi padanya. Tapi kenapa dia tak pernah menghargai akan setiap kesempatan dan maaf yang kuberi? Kenapa secepat dan semudah itu dia mengambil semua keputusan ini? Bahkan setelahnya, seakan dia tak peduli betapa hancurnya aku, tak peduli lagi kabarku, tak peduli lagi apakah aku baik- baik saja atau tidak. Setidaknya dulu, disaat dia memilih meninggalkanku, dia masih memperhatikan aku setiap hari, seperti biasanya. Ucapan selamat pagi, semua perhatian yang biasa dia berikan padaku tak berkurang. Tapi kenapa sekarang semua berbeda? Apa kelebihan wanita itu dibanding aku? Apa yang membuat dia terhipnotis akan wanita itu? Aku tahu aku tak selalu ada di dekatnya, tapi aku selalu bisa menjaga setiaku untuknya. Kenapa dia tidak? Kenapa dia lupakan semua impian dan tujuan kami kembali bersama dulu.

Sakit rasanya tak pernah dianggap berharga dan istimewa dalam hidupnya. Sakit rasanya mengetahui bahwa aku bukan bahagia yang dia cari. Semua berubah, semua berubah semenjak dia mengenal wanita itu. Semakin dekat dan semakin dekat lagi padanya setiap hari. Tak sadarkah dia bahwa aku disini rela menghabiskan begitu banyak waktuku untuk menunggunya mewujudkan semua janji-janjinya? Tak ingatkah dia bahwa kami pernah ingin bersama sampai tua nanti? Hingga aku jadi yang sah mendampinginya, hingga aku jadi ibu dari anak-anaknya. Hingga rambut kami memutih, hingga tubuh kami renta dan seluruh kekuatan kami menghilang. Hingga yang tertinggal hanyalah kasih sayang, kebiasaan bersama, kebiasaan untuk saling menyayangi dan saling mengisi satu sama lain hingga ajal memisahkan. Apakah dia masih mengingatnya? Mengingat akan semua impian kami, yang mungkin, kini hanya jadi impianku saja :")

Friday, August 22, 2014

Just For You :)

Hei kamu, iya kamu. Kamu yang selalu bisa buat aku tersenyum. Kamu yang selalu bisa buat aku bahagia dengan hal-hal kecil yang kamu lakuin. Kamu.... pria yang sangat baik buat aku :)

Begitu banyak orang yang merasa aku bodoh, bahkan sangat bodoh karena masih mengharapkan kamu, karena masih ingin tetap mempertahankan kamu disini, walaupun kamu yang minta untuk pergi karena merasa semua yang kamu rasain ke aku udah beda.

Aku gak memaksa kamu untuk punya perasaan yang sama seperti dulu lagi. Aku nggak akan memaksakan kehendakku yang membuat orang lain merasa terpaksa dan keberatan. Aku... hanya ingin tetap menyayangi kamu dengan tulus, tetap memberikan perhatian yang biasa aku kasih ke kamu, tetap ngasih kamu support. Aku nggak ingin kemana-mana.

Tolong, jangan larang aku untuk tetap menyayangi kamu dari sini. Jangan larang aku untuk tetap merhatiin kamu, ngasih kamu semangat, ngasih kamu dukungan, ngasih kamu semua ketulusan yang aku punya. Aku nggak akan minta kamu balas dengan perlakuan yang sama. Aku... hanya percaya semua yang kamu lakuin bukanlah dari lubuk hati kamu yang sebenarnya. Perasaan aku bilang, kalo kamu hanya butuh waktu untuk berpikir, aku percaya saat ini kamu hanya khilaf. Toh dulu aku pernah banyak melakukan khilaf yang sama. Meskipun nggak pernah ada keinginan dari kamu untuk mempertahankan aku seperti apa yang aku lakukan.

Aku hanya mempertahankan apa yang aku rasa layak dipertahankan. Mungkin kamu pikir dengan kamu pergi aku akan membenci dan berusaha melupakan kamu, ngebuka hati aku untuk yang lain, dan mendapatkan pria yang (kamu bilang) lebih baik. Tapi kamu nggak akan berhasil. Kalo kamu ngerasa udah lemah dan mau stop di level ini, nggak begitu halnya dengan aku. Semua ini justru akan semakin membuat aku kuat melatih kesabaran aku buat kamu. Aku akan tetap berjuang dengan atau tanpa kamu.

Jangan kamu pikir dengan kamu berbuat seperti ini, aku akan benci sama kamu, menghapus begitu aja semua kebaikan-kebaikan yang kamu kasih ke aku. Memang, kata orang, karena nila setetes, rusak susu sebelanga. Tapi aku bukan tipe orang yang langsung menjudge orang hanya karena satu kesalahan.

Kamu sendiri yang nulis di cerpen kamu, bahwa "Pindah ke lain hati, tak semudah mengganti jenis rokok yang akan dihisap. Melupakan kenangan bersama seseorang, tak semudah menghembuskan asap rokok yang dihisap. Karena masalah hati, tak semudah mengganti rokok yang sudah tidak cocok dengan mulut".

Walaupun aku nggak tau rasa rokok itu seperti apa, tapi aku ngerti, aku paham. Semua tersirat dari apa yang kamu tulis. Aku hanya meyakini apa yang aku ingin yakini. Tolong jangan berusaha untuk membuat aku membenci kamu. Kamu boleh merasa perasaan kamu ke aku udah beda, udah hilang. Tapi jangan paksa aku untuk melakukan hal yang sama. Karena aku melakukan semua ini bukan semata-mata hanya karena aku sayang sama kamu, bukan, bukan itu. Karena sayang itu ngga harus memiliki kan? Tapi aku ingat, aku ingat akan janji aku untuk nggak kemana-mana, untuk tetap disini nemenin kamu, ngga peduli gimana perasaan aku ke kamu. Aku ingat kita (pernah) punya tujuan yang sama, untuk nggak main-main lagi, untuk nggak ngegampangin hubungan kita lagi kayak dulu. Aku nggak menyalahkan kamu kalo kamu ingin nyerah, karena mungkin kapasitas kita berbeda. Dan ada sesuatu yang nggak aku tahu di dalam sana, di dalam relung hati kamu. Walaupun mungkin kalo aku tau, itu akan menyakitkan, aku nggak peduli.

Sekalipun apa yang orang lain katakan tentang kamu itu benar, aku nggak akan kecewa. Maksudku, aku akan berusaha supaya nggak kecewa. Mungkin nanti, aku akan mengikhlaskan kamu atas apa yang kamu pilih, atas apa yang kamu rasa bisa membahagiakan kamu.

Aku tau kamu seperti ini karena kamu berada di puncak titik jenuh kamu. Karena aku nggak bisa selalu berada di dekat kamu, karena waktu kamu terlalu padat untuk cari nafkah sekaligus ngejar harapan untuk ngebuat hidup kamu lebih baik kelak. Jadi, aku nggak bisa nyalahin kamu kalo kamu terjebak rasa nyaman dengan orang lain, wanita lain, yang mungkin ada satu hal dari diri dia yang hampir sama dengan aku, yang nggak kamu dapat dari aku, sehingga semakin lama, kamu semakin nggak bisa menarik diri dari apa yang sebenarnya salah. Aku hanya nggak ingin berpikir picik. Karena aku pernah merasakan hal yang sama kayak kamu, rasanya nggak adil kalau aku berhenti hanya karena hal ini.

seandainya kelak kamu bertemu dengan wanita yang kamu inginkan, yang bisa jadi apa yang kamu mau, yang mengerti kamu, bahkan yang mungkin, lebih tulus dari aku, aku tetap akan turut berbahagia buat kamu. Hanya saja, aku nggak akan berhenti untuk sayang sama kamu. Karena kebaikan kamu, jauh lebih banyak daripada perlakuan-perlakuan buruk kamu ke aku.

Aku hanya berharap, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu. Seandainya memang dia yang kamu harapkan, aku hanya ingin bilang aku nggak akan benci sama kamu. Aku akan tetap sayang sama kamu, selalu. I will always love you, jey. As Always, I always will :)

Wednesday, August 13, 2014

I do really miss the old you :')

Hei. Udah lama kayaknya Riana ga posting di blog usang ini, hehe. Hari ini Riana mau posting lagi nih. Tapi sedikit cerita duka sih kayanya. Ya ngga apa-apa kan ya sekali-kali sedih mah. Ini cuma luapan perasaan aja, nggak salah kan yah? Hehe :')

Sampai saat ini, sebenernya gue masih ga nyangka sih kita masih bisa bertahan. Dari hari ke hari semua rasanya makin berubah, makin banyak ujian. Tapi tetep kok, nggak mengurangi rasa sayang gue ke dia.

Gue kangen banget dianggep istimewa sama dia, gue tau sekarang nggak lagi sama kayak dulu, gue coba buat terima. Karena toh memang semua pasti akan berubah kan? Udah hukum alam. Usia, fisik, begitu juga perasaan.

Dulu dia yang terlalu sayang sama gue. Tapi sekarang, semua seakan terbalik. Gue tahu perasaan dia udah ngga sedalam dulu. Cara dia ngomong ke gue, bahasa tulisannya waktu bbm gue, semua berubah. Jujur, dia yang sekarang emang lebih bisa bahagiain gue dengan hal-hal kecil yang dia lakuin. Ga cuma sekedar kata-kata aja kayak dulu, waktu kita SMA. Waktu semua yang kita lakuin, walaupun cuma ngobrol, rasanya kikuk banget. Tapi jujur gue kangen, kangeeeeeen banget sama dia yang dulu. Kangen saat gue ngerendahin diri dan ngerasa paling aneh, paling jelek dan paling beast lah pokoknya, dia bilang cuma gue yang paling cantik buat dia. Ya walaupun gue tau gue nggak cantik, gue selalu ngerasa istimewa saat dia bilang cuma gue yang cantik di matanya. Sekarang, gue nggak pernah denger, atau setidaknya baca bbm dari dia yang bilang cuma gue yang cantik di matanya, kayak dulu. Dan yang bikin gue sedih, ternyata dia nggak inget semua itu. Saat gue bilang kalo gue kangen dulu, kangen beberapa hal yang dulu sering dia bilang ke gue,
he just said : apa? Aku lupa. Aku emang pelupa :( (ga lupa dengan emoticon yang jujur aja, gue selalu sebel liatnya).

Gue juga iri sama cewek-cewek lain. Kayaknya, pacarnya bangga banget punya pacar kaya mereka. Di tag path di tiap moment yang di post cowoknya, di tag path di location waktu lagi jalan bareng sama cowoknya, atau kalo ceweknya post moment atau tag location, cowoknya pasti ninggalin comment. Sampe kalo ceweknya upload foto editan berdua beserta ucapan waktu mereka anniversary pun, pasti cowoknya ikutan repath dan ngasih comment yang sweet. Disitu gue bisa lihat kalo cowoknya pasti bangga dan bahagia banget deh punya cewek kayak dia. Kayak yang lain. Yang ngelakuin hal-hal serupa. Gue... cuma pengen aja pacar gue ngerasa bangga punya gue. Ya mungkin gue belum secantik dan sesempurna bidadari kaliya kayak cewek-cewek lain, makanya dia malu mungkin, untuk tag path di tiap moment saat lagi sama gue.

Sedih sebenernya, karena dia pun nggak sadar kalo selama ini udah berubah. Justru hal-hal kecil yang sering dia bilang dulu yang bikin gue kangen sama dia. Iya dia, dia yang dulu lebih tepatnya.

Honestly, gue kangeeeen banget jey sama lo yang dulu, gue pengen lo tahu dan sadar sendiri akan semua perubahan lo. Tapi nyatanya lo lupa. Lupa kalo lo pernah bilang cuma gue yang paling cantik di mata lo. Lupa kalo gue pernah jadi yang paling cantik buat lo. Gue ngga tau apa yang ngebuat lo berubah. Mungkin sekarang ini udah terlalu banyak cewek cantik di sekeliling lo, sampe mata lo lupa kalo dulu cuma gue yang bisa lo bilang cantik (setidaknya yang gue denger). Tapi gue nggak akan nuntut banyak kok, gue udah bersyukur lo bisa banyak berubah, udah bisa tahu banyak cara buat bahagiain gue dengan hal-hal kecil yang lo lakuin. Ya, walaupun perubahan lo ngebuat hal-hal kecil yang dulu bikin gue bahagia juga hilang :')

Monday, May 12, 2014

Mungkin Lukaku Tak Terlihat, Tapi Mutlak Membekas.

Pernahkah kau merasa dikecewakan seseorang ketika kau berharap terlalu dalam padanya, namun dia menghempaskan harapanmu seketika? Pernahkah kau merasa telah memberikan yang terbaik dari yang kau punya tapi ia tak merasa dirimu adalah bagian hidupnya yang berharga? Pernahkah kau belajar menyayangi seseorang dari nol dan akhirnya benar-benar menyayanginya mendekati sempurna, tapi sikapnya membuatmu berpikir kembali bahwa mungkin kau telah salah jika membuka hatimu untuknya?

Ya. Aku pernah.
Mungkin lukaku tak terlihat, tapi mutlak membekas. Tak pernahkah ia berpikir bahwa aku merelakan semua waktuku hanya untuk menunggunya? Tak pernahkah ia menghargaiku atas usahaku untuk mempertahankannya dan mengesampingkan pikiranku untuk membanding-bandingkannya dengan yang lain? Menghargai kesabaranku menantinya mewujudkan segala janji-janji(busuk)nya? Pernahkah ia berpikir bahwa apa yang dilakukannya telah menyakiti perasaanku? Kurasa tidak. Karena laki-laki memang diciptakan untuk selalu merasa benar.

Lelah rasanya selalu mencoba bertahan untuk terus bersamanya. Aku tahu aku menyayanginya dan kurasa tak ada salahnya mempertahankan apa yang menurutku baik untuk dipertahankan. Tapi rasanya sekarang sudah terbalik, mungkin dia berpikir aku akan memohon, memintanya tetap disisiku dan mengingat janjinya saat kami menapaki titik awal. Tapi aku takkan melakukannya. Aku hanya ingin mengingatkannya bahwa aku tak pernah memintanya memberikanku layaknya semua laki-laki memberikan apa yang wanitanya inginkan, meskipun dalam hati aku menginginkannya. Aku tak pernah menuntutnya selalu ada disisiku, menuntutnya kemana dia harus melangkah, menuntut dia jadi apa yang kumau. Tidakkah dia sadar rasa lelahku sudah di ufuk barat jikalau diibaratkan sang mentari yang sebentar lagi digantikan malam. Habis. Gelap.

Aku hanya ingin ia sadar. Aku lelah memberinya kesempatan berulang kali yang hanya disia-siakannya. Tidakkah ia menyadari aku menutup diri dari yang lain hanya untuk dia? Menunggu dia yang harusnya aku tahu bahwa aku selalu diberi ketidakjelasan?

Aku tak tahu jika suatu saat aku akan benar-benar berada pada titik lelahku yang paling ujung, apakah aku masih dapat membelanya di dalam hati dan tetap mengatakan bahwa dirinyalah yang terbaik? Aku hanya manusia biasa yang punya rasa lelah. Kali ini tak akan pernah lagi aku membuai diriku dengan keyakinan bahwa laki-laki yang tulus itu ada. Karena, percayalah, laki-laki yang tulus dan akhir bahagia hanya ada di novel teenlit.

Aku bukan melawan takdir Tuhan. Tidak. Aku hanya kecewa mengapa harapan berbanding terbalik dengan kenyataan. Aku tahu, toh kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan? Tapi salahkah jika aku berharap, hanya sedikit berharap, kelak aku bisa sedikit berbahagia dengan salah satu impianku. Menjadi tujuannya, menjadi pendampingnya, dan menjadi ibu dari anak-anaknya.

Inikah yang dia anggap...
Ah, sudahlah. Tak jarang aku diperlakukan seenaknya. Dan rasa-rasanya, aku layaknya taman wisata yang bisa kapan saja dia kunjungi disaat dia bosan, hanya disaat dia butuh hiburan. Tapi toh dia pasti meninggalkan aku karena aku bukan rumah tinggalnya, bukan prioritas utamanya.

Aku hanya berpikir semua terasa tak penting lagi. Aku benci ketidakjelasan. Jika memang kau laki-laki, akhirilah jika memang ingin ada kata akhir. Tapi tenang, aku masih punya banyak orang yang menyayangiku. Dan ternyata, sendiri itu tidak buruk dan sepertinya menyenangkan :)

Thursday, March 20, 2014

Tuhan, Salahkah Aku Mengeluh?

Life is never flat. Ya, kata itulah yang sering kulihat saat commercial break produk makanan ringan menjeda acara televisi favoritku.

Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam, hatiku gelisah tak menentu, entah memikirkan apa. Segera kuambil wudhu dan melakukan sholat Isya.

Rasanya sedikit lebih tenang, tapi tak menghilangkan rasa sesakku akan banyak pemikiran tentang hidup. Terlebih kehidupan pribadiku. Masalah keluarga, pekerjaan, hingga kadang masalah cinta seringkali membuat aku banyak berpikir.

Mengeluh. Ya, tak jarang aku mengeluhkan banyak hal dari hidupku. Kadang merasa bahwa Tuhan tak adil. Kehidupanku yang serba kurang jadi salah satu alasan nya.
Kadang aku iri melihat teman sebayaku berbahagia atas apa yang mereka miliki. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satupun yang dapat membuatku berbahagia saat ini.

Tuhan, salahkah jika aku mengeluh? Maafkan aku karena lebih sering mengeluh daripada bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Mu. Aku sadar begitu banyak hal yang seharusnya aku syukuri ketimbang memikirkan apa yang harus aku keluhkan dari sekian banyak pemberian-Mu. Tapi jujur, sesak rasanya menahan semua ini. Kadang aku berpikir apakah aku tak pantas merasakan kebahagiaan dari-Mu? Aku tahu itu tak kekal, tapi bolehkah aku meminta?

Aku tak minta jadi orang yang bergelimang harta, punya mobil mewah, rumah seperti istana, tinggal tunjuk saat aku menginginkan sesuatu untuk jadi milikku saat itu. Tidak. Aku hanya ingin bahagia dalam kecukupan.

Tuhan maafkan aku karena telah mengaku bosan atas cobaan yang selama ini Kau berikan. Aku hanya jenuh dan berharap bahwa Engkau akan memberikan jawaban atas semua ujian ini dengan segera. Percayalah, aku masih berharap semua ini hanya mimpi. Semoga saat aku bangun keesokan hari, cerita hidupku akan berjalan indah hingga akhir nanti dan selamanya.

Wednesday, February 19, 2014

How to beat your ego?

Manusia nggak pernah puas. Ya, pasti hati kecil kita pernah bilang kayak gitu. Tapi sadarkah kita? Semua akan lebih dari sekedar cukup kalo kita selalu bersyukur, selalu berpikir kalo apa yang kita punya itu adalah yang terbaik yang Tuhan kasih. Sadarkah bahwa banyaaaaaak banget orang-orang yang nggak seberuntung kita saat ini? Nggak bisa tinggal dirumah yang layak, nggak bisa dapet pendidikan yang baik, bahkan untuk makan aja kadang mereka bingung. Tapi kita? Selalu ngeluh. Jangankan tentang hidup. Nggak punya pacar, ngeluh. Punya pacar ga sesuai harapan, ngeluh. Ujungnya, nggak punya pacar lagipun, masih ngeluh juga. Serba salah kayak lagunya Raisa. It's so easy to complain that we don't have what we want. Hey, guys, life is to short to spend it with complaining!

Sadar nggak? Kadang kita suka ngejudge Tuhan nggak adil sama kita atas segala hal buruk yang pernah kita alami (hayooo ngaku!). Entah apapun itu. Misalnya, fisik, ekonomi, pasangan, sampai yang hidupnya termasuk udah beruntung juga masih banyak ngeluh. Jangan pernah lihat keatas, karena kita pasti akan selalu ngerasa kurang. Coba deh, lihat kebawah. Kamu pasti akan ngerasa jauuuuuuuh lebih beruntung. Kata bijak yang bilang : "Tuhan itu ngasih apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan". And that's absolutely right. Karena Tuhan lebih tahu, apa yang kamu pengenin belum tentu baik buat kamu. Contohnya: kamu pengen hidup bergelimang harta tanpa harus susah payah nyarinya, alias udah keturunan darah biru. Kamu pasti nggak akan tahu cara menghargai apa yang kamu punya, karena kamu selalu bisa dapetin apa yang kamu pengen dengan sekali ucap. Beda ceritanya kalo orang sukses yang memulai semuanya dari nol. Terlebih dari orang-orang yang kekurangan pada awalnya. Pasti mereka akan menghargai apa yang mereka punya karena susah payah buat dapetinnya. Makanya, gue salut banget sama orang-orang yang struggle buat kerja sambil kuliah. Itu bukan hal gampang loh. Cuma kerja aja lelahnya bukan main, apalagi harus dituntut buat mikir pas nyambi kuliah. God bless them all....

Dan pertanyaan nya adalah :
"How to beat your ego?"
Gimana caranya ngalahin ego kita untuk selalu nuntut lebih atas apa yang udah kita punya di dalam hidup kita. Kuncinya cuma satu : BERSYUKUR.

Dan guepun sama, sama dengan manusia-manusia normal lainnya. Pengen segala sesuatunya berjalan seperti apa yang gue mau. But, in fact? Tuhan selalu kasih kebalikannya. Kadang gue ngerasa Tuhan ngga adil. Tapi hati kecil gue selalu bilang, ada saatnya nanti dimana semua akan berakhir dengan bahagia. Walaupun balik lagi ke poin awal : ga seperti yang kita pengenin, karena kita itu BUTUH bahagia, bukan sekedar PENGEN bahagia ;)

Sunday, January 19, 2014

Maaf, Aku Jenuh (Ending)

Tak terasa sebulan dilalui Almira tanpa kabar dari Dito. Almira mulai merasakan gusar, tiap malam yang ada di pikirannya hanya Dito, Dito, dan  Dito. Almira mulai berpikir untuk mengalah dan menghubungi Dito lebih dulu.

"Telpon, enggak, telpon, enggak, telpon, ah telpon aja deh, gue gak mungkin digantungin gini terus. Pahit ya pahit sekalian, Bismillah". Terdengar ucapan Almira yang masih ragu sebelum menekan tombol call di handphonenya

*tuuuuut..... tuuuuut..... tuuuuut*

Terdengar nada sambung yang begitu lama, menandakan bahwa sang empunya nomor yang dituju tak mengangkat adanya telpon masuk.

Almira mulai kebingungan dan tambah gusar, hingga tak terasa meneteskan air matanya (lagi). Akhirnya Almira memilih untuk mengirimkan pesan Whatsapp saja, setidaknya Dito pasti akan membacanya walaupun mungkin tak mau membalasnya.

Almira:
"Dito, maaf sebelumnya. Aku cuma mau tanya kejelasan kamu, kejelasan hubungan kita. Aku nggak bisa terus-terusan kamu gantungin gini terus, aku manusia, aku punya perasaan, bukan robot!".

Almira menunggu dan terus menunggu, Almira mencoba stalking akun-akun social media milik Dito, namun masih tak ada titik terang. Hingga kira-kira 2 jam lamanya, barulah ada balasan dari Dito.

*1 message received*

Dito:
"Al, maaf. Aku baru bisa whatsapp kamu, dan kayaknya lebih baik kita sendiri-sendiri aja. Maaf, tapi mungkin ini yang terbaik, aku bingung harus gimana. Salah aku yang nggak pernah bisa bikin kamu seneng, bikin kamu ngerasa kayak temen-temen kamu yang lain, dan aku juga lagi ada masalah yang nggak bisa aku ceritain sama kamu, yang ngebuat waktu aku makin kesita, yang pastinya makin nggak punya waktu buat kamu, dan ngebuat aku nggak fokus juga sama diri aku. Daripada kamu tambah jenuh, tambah bosen, lebih baik kita sendiri-sendiri dulu aja, Al. Mudah-mudahan kamu nggak bosen liat aku minta maaf. Maaf, sekali lagi maaf, Al.

Almira:
"Oh, gitu? Jadi segini aja? Oke, fine" Balas Almira singkat karena saking sesaknya ia melihat jawaban yang begitu ia tak inginkan keluar dari kata-kata Dito.

Almira:
"Aku pikir dengan aku ngalah, coba hubungin kamu duluan, bisa perbaikin semuanya yang udah kacau, tapi apa yang aku dapet? Seolah aku kaya sampah. Sia-sia. Nyesel aku ngehubungin kamu duluan kalo tau endingnya bakal kayak gini. Apa? Dimana yang kamu bilang perjuangan? Yang kamu bilang bertahan? Cuma segini aja? Bertahun-tahun kamu bikin aku seolah kayak orang bodoh. Buat apa kamu dateng lagi kalo akhirnya pergi lagi, hah, kamu punya idaman lain? jawab!" Emosi Almira meledak ke puncaknya hingga tak terasa bulir-bulir air matanya berjatuhan

Dito:
"Nggak kok, aku punya alasan yang nggak mungkin aku kasih tau sama kamu, Al. Rumit"

Seketika Almira merasakan pisau menancap di jantungnya, tak menyangka Dito akan begitu mudahnya mengakhiri ini semua.

Almira:
"Gila, gila, gila!!!! Hebat banget lo, Dit! Standing applause buat lo! Dateng, pergi, terus dateng, terus pergi, terus dateng, terus pergi lagi. Lo kira gue halte yang bisa lo datengin kapan aja lo mau? Duh, bodoh banget ya gue, selalu terjebak lagi dan lagi sama permainan lo. Haha stupid"

Dito:
"Aku ngga pernah punya niat, Al, buat mainin kamu, berpikir untuk punya niat pun enggak. Nggak taulah, Al. Aku cuma bingung harus gimana".

Almira:
"Hebat, Dit. Hebat banget lo. Disaat gue dari awal mencoba sayang, mulai nyaman, sampe akhirnya gue bener-bener sayang. Dan saat itu juga lo tinggalin gue, makasih, makasih banget".

Dito:
"Al, udah ya, Al, udah"

Almira:
"Lo lupa, ya, alasan lo balik lagi, lo bilang coba buat memperbaiki, dan "katanya" sih mau bertahan, jadi cuma segini aja? Cuma disini aja?"

Dito:
"Al, udah kek, Al udaaaaah, stop".

Almira:
"Oke, semoga lo bahagia dengan pilihan lo, dan semoga dapet pengganti yang gak egois, yang bisa selalu support lo apapun keadaan lo".

Satu jam, 2 jam, hingga 3 jam Almira menunggu, namun nihil, tak ada balasan apapun dari Dito. Jam sudah menunjukkan pukul 03.45. Almira saat ini masih terjaga dan mata nya kini sembab karena menangis tersedu sedan. Padahal esoknya, ia harus kembali menjalankan rutinitasnya, harus tetap kuliah seperti biasanya. Tapi rasanya Almira ingin bolos saja. Karena Almira tak pernah merasa sekacau ini sebelumnya..

Almira memutar lagu-lagu di handphonenya, lagu yang selalu mengingatkan nya pada Dito : David Cook - Always Be My Baby dan Yovie and The Nuno - Sempat Memiliki. Tak bosan ia selalu me-repeat 2 lagu itu sampai telinganya merasa lelah. Almira tak bisa berhenti menangis. Hingga kini tak terasa bantalnya telah basah oleh bulir-bulir air matanya. Lembar tissue bertebaran dimana-mana, kamar Almira terlihat sangat kacau, sekacau pikiran dan perasaannya saat itu.

"Ya ampun, Dit. Apa lo tau disini gue nangisin elo. Apa lo tau sakit yang gue rasain kaya apa, jelasin, Dit, sama gue lo kenapa. Kenapa, Dit!!" Seru Almira saat bercermin melihat dirinya yang saat ini sangat berantakan.

Jam menunjukkan pukul 04:45. Almira sadar ia harus tetap tidur walau hanya 2-3 jam. Almira mulai merasakan pusing hebat di kepalanya. Hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah. Dengan segera ia mengambil selembar tissue dan mengelap sisa sisa darah yang keluar dari hidungnya. Sebelum tidur, ia mencari buku diary usangnya yang ia ingat masih bisa dijadikkannya tempat untuk mencurahkan isi hati. Almira sesegukan membuka lembar kosong di dalamnya, seraya menggoreskan pena dan memulai cerita dukanya.

Sabtu, 18 Januari 2014

"Selamat tinggal, Dit. Selamat menjalani hari-hari lo yang indah tanpa gue. Selamat berbahagia dengan wanita lo yang lain, yang bisa nerima apapun keadaan lo dan nggak pernah ngeluh jenuh sama semua perhatian lo yang tulus. Maaf, dari awal emang gue terlalu bodoh untuk sadar, kalo gue nggak pernah pantes buat lo. You're too good to be mine, Dit. Terima kasih jagoanku, udah ngajarin aku rasanya menyayangi dan disayangi. Terima kasih sudah mau menghabiskan sebagian waktu dari hidupmu untuk wanita nggak penting macem aku. Terima kasih udah sudi nyediain bahu buat tempat aku bersandar, menangis, sampai nyembuhin sakit, hehe. Nggak tau kamu masih ingat atau enggak kalau aku sakit pasti pengennya nyender sama kamu. Tapi sekarang, kalo aku sakit nyendernya sama siapa dong? Aku nggak punya bahu lagi buat disenderin, nggak punya lengan lagi buat dipeluk, nggak punya seseorang lagi yang dijadiin teman berbagi. Mungkin ini hukuman buat aku. Aku tau betapapun aku menunjukkan kalo aku nggak pengen kehilangan kamu, kamu nggak akan peduli karena kamu nggak ngerasain luka yang sama. Mungkin kalo aku mati nanti, kamu baru sudi datengin aku kan, Dit. Baru sudi liat aku yang udah jadi gundukan tanah disaat aku nggak bisa lihat kamu lagi. Aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa hidup. Padahal aku cuma pengen habisin sisa hidup aku buat ketawa-tawa bareng kamu. Tapi yaudah, yang udah ya udah, aku sadar waktu nggak bisa balik lagi. Dan sekarang yang harus aku lakuin adalah move on! Yay! Semangat, Almira Shafila!".

Wajah Almira tampak semakin pucat, tapi ia tak ingin memberitahu Dito bahwa ia merasakan sakit luar biasa. Pikirnya, ia tak mau membebani Dito karena Almira tau masalah Dito sudah begitu banyak. Almira tak ingin dikasihani. Tak ingin orang yang disayanginya, menyayangi Almira karena kasihan.

"Lagipula Dito juga udah nggak peduli lagi sama gue, bales whatsapp gue yang udah kayak orang desperated gini aja dia cuma bales seperlunya". Batin Almira

Malam semakin larut, dan tak terasa hampir pagi.

4 lembar sudah diary usang Almira telah penuh dengan cerita dukanya. Saat ini Almira sudah sedikit lebih tenang, walaupun ia masih tetap tak percaya semua ini terjadi padanya. Dihati kecilnya, ia masih berharap semua ini hanya mimpi buruk yang keesokan harinya akan kembali normal. Masih ada sapaan hangat selamat pagi dari Dito, pertanyaan-pertanyaan Dito yang membosankan, dan lelucon-lelucon Dito yang sebenarnya tak pernah lucu.

"Aku kangen kamu, Dit. Aku pengen nyender dibahu kamu sekarang".

Almira menarik selimutnya, mencoba memejamkan mata dan meneteskan air matanya yang terakhir.

TAMAT

Saturday, January 18, 2014

Aku Cinta, Atau Hanya Persinggahannya Saja?

Tuhan, mengapa kebahagiaan rasanya sangat mahal untukku? Aku hanya butuh bahu untuk bersandar, lengan untuk dirangkul, dipeluk saat menangis, dihibur saat bersedih dan ungkapan sayang walau aku berkata aku jenuh bahwa setiap hari rasanya sama.

Apa salah jika aku jenuh? Aku tahu diri bahwa aku bukanlah hamba-Mu yang pandai mengucap syukur. Tapi apakah hamba-Mu yang sepertiku nyatanya juga tak layak merasakan kebahagiaan dari-Mu walau hanya sedikit?

Aku tak marah, karena aku tahu aku tak berhak untuk marah. Aku hanya bingung, apa maksud-Mu membuatnya datang (kembali) jika dia harus pergi (lagi)? Disaat aku mulai lengah dan menjatuhkan hatiku (lagi) padanya. Hingga kemudian tiba-tiba diretakkannya (lagi dan lagi). Apakah aku adalah cinta atau hanya dijadikan tempat persinggahannya saja? Entah apa yang dia sebut perjuangan, apa yang dia sebut bertahan, dan apa yang dia sebut kesabaran. Yang kutahu aku tulus menyayanginya.

Tak akan pernah kulupa kejutan-kejutan kecil darinya yang dia rasa tak pernah cukup dan aku anggap berarti, namun bagiku sebaliknya. Dan perjuangannya bertahan sejauh ini, walaupun egoku pada akhirnya selalu membuat dia menyerah dan pergi.

Terima kasih, laki-laki terbaik dan terhebat dihidupku, takkan pernah putus doa dariku agar kau bahagia disana, tentunya tanpaku :')