Thursday, November 5, 2015

Merelakan Yang Datang Untuk Pergi

Hei, kamu. Iya, kamu. Orang yang selama satu tahun terakhir aku kagumi. Orang yang selama ini jadi alasan aku buat move on. Orang yang selama ini ngajarin aku bahwa nggak ada gunanya nangisin masa lalu. Satu-satunya orang yang bisa bikin relung hatiku dipenuhi kupu-kupu lagi. Ngerasain jatuh cinta, cemburu, bahagia, rindu bahkan kehangatan dalam hati setelah perasaanku membeku karena capek ngerasain berkali-kali patah hati. Satu-satunya orang yang bisa bikin aku ketawa saat mendengar leluconnya yang nggak lucu. Dan, kamu adalah orang yang akhirnya bisa...... mengubah mindset aku tentang kehilangan.

Kamu tahu, cung? Sakit saat aku tahu kalau aku nggak bisa jadi apapun selain pengagum rahasia kamu. Sakit saat aku tahu perasaan kamu akhirnya dimiliki orang lain. Sakit saat aku tahu kalau aku nggak lebih dari seorang pecundang karena hanya bisa memeluk kamu dalam doa. Dari awal harusnya aku tahu diri, tapi.... hey, mengagumi seseorang itu hak setiap orang, bukan?

Aku nggak menyesal pernah mengagumi bahkan memendam semua pujianku terhadapmu hanya dalam hati saja. Aku nggak menyesal pernah jadi orang yang dengan senang hati mendengar leluconmu yang menurut sebagian orang nggak punya selera humor. Aku nggak menyesal pernah diam-diam tersenyum saat punggung kamu menjauh. Dan aku, nggak menyesal pernah meluangkan waktuku untuk merasa bahagia karenamu. Kadang, ingin rasanya aku berbisik dibelakang telingamu bahwa sebenarnya aku butuh kamu buat bersandar. Ingin rasanya, aku berbisik bahwa sebenarnya kamu udah berhasil bikin aku nggak ngerasa sendirian lagi, dan bilang kalau kamu sebenarnya..... sangat berarti buat aku.

Kamu tahu, cung? Lelah buat jadi perempuan yang selalu pura-pura kuat kayak aku. Saat sadar senyum manis kamu bukan buat aku, saat sadar ada tembok diantara kita yang nggak bisa ngubah status kita untuk bisa lebih dari sekedar teman, saat sadar hanya punggung kamu yang menjauh yang selama setahun ini melihat senyumku. Dan.... saat sadar aku telah patah hati.

Au revoir, cung. Merci pour tout. Selamat tinggal. Terima kasih, untuk segalanya. Terima kasih, karena kamu udah dengan senang hati ngebagi cerita absurd kamu ke aku. Terima kasih, karena kamu udah mengisi hari-hari aku dengan semua kekonyolan kamu. Terima kasih, karena kamu nggak pernah sadar kalau kebahagiaanku beberapa bulan terakhir ini berkat kamu. Terima kasih, karena selama setahun terakhir senyum kamu udah berhasil bikin aku lupa kalau aku pernah patah hati saat mengingat senyum yang lain, senyum sebelum kamu. Terima kasih, karena kamu udah ngajarin aku bagaimana cara merelakan yang datang untuk pergi.

Sunday, November 1, 2015

Ketika Jatuh Cinta

Ketika jatuh cinta, apa yang kau rasa? Bahagia? Ingin seisi dunia tahu jika hatimu tengah berbunga? Tanpa ragu mengekspresikannya, menunjukkan perhatianmu padanya atau membuatnya nyaman hingga dia tahu bahwa selama ini dirinya kau anggap spesial? Merasakan letupan kecil dalam dada yang membuat dirimu salah tingkah ketika bicara dengannya? Atau... hanya ingin menyimpannya dalam diam?

Aku, salah satu diantara sekian banyak yang memilih pernyataan terakhir. Ya, ketika aku jatuh cinta, aku hanya ingin menyimpannya dalam diam saja. Bagiku, ada satu keuntungan di saat aku memuja seseorang secara rahasia, diam-diam, yang bahkan sahabatku sendiri tak pernah tahu persis apa yang sebenarnya tengah kurasakan.

Bagi sebagian orang, jatuh cinta itu indah. Bagi sebagian orang, jatuh cinta adalah hal yang dengan mudah dapat mereka ekspresikan. Bagi sebagian orang, jatuh cinta adalah hal yang membuat mereka bahagia, yang menurutku, justru perasaan konyol yang menjebak dalam luka yang sama.

Di saat aku jatuh cinta pada seseorang, kebahagiaanku cukup dengan melihatnya dari kejauhan saja. Aku bahagia, ketika kami bertegur sapa. Aku bahagia, ketika dia menyapaku dengan senyum tulusnya walau hanya sekedar berbasa-basi. Aku bahagia, ketika kami sempat bertukar cerita walau yang seringkali dia ceritakan adalah hal yang menurutku sama sekali tak lucu. Aku bahagia, ketika aku dapat memastikan dirinya hadir hari ini, esok, dan seterusnya, meski seringkali aku sedih ketika menatap punggungnya menjauh pergi dariku, merasa jadi seorang pecundang karena tak bisa jujur dengan perasaanku sendiri.

Ya, apalah aku ini yang hanya pandai menyembunyikan, bukan mengekspresikan, menunjukkan, bahkan mengutarakan. Seorang wanita yang selalu merasa nyaman memujinya dalam hati. Entah, mengapa tak bosan hanya sampai disini batasku menyukainya. Keinginan untuk dianggap lebih dari sekedar teman, hanya sebatas kata saja. Dan... tak terasa, satu tahun aku telah jatuh cinta padanya, kurasa, aku tetap bahagia meski statusku hanya jadi pemuja rahasianya.

Setidaknya, lewat jatuh cinta Tuhan memberikanku bahagia saat melihat senyum tulusnya. Tuhan memberikanku bahagia saat aku mendengar sapaan hangatnya. Tuhan memberikanku bahagia saat aku bertemu dengannya lagi, dan lagi, tanpa sengaja.

Sungguh, jika bisa memilih, tak ingin rasanya aku jatuh cinta lagi karena aku lelah. Lelah disakiti. Lelah menangis setiap malam. Lelah akan perasaan yang tak berguna. Lelah dibuang begitu saja. Lelah akan akhir yang tak bahagia. Lelah menangisi hal yang itu-itu saja.

Bisakah, Tuhan..... kendalikan perasaan ini hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang tepat. Hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang tak hanya manis ucapannya. Hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang...... dapat menerimaku apa adanya. Pria yang tak tergoda dengan cinta semu, tipu muslihat keelokkan ragawi wanita-wanita yang berada di sekelilingnya selain aku. Aku rela.... rela Kau jatuhkan sejatuh-jatuhnya, ketika Kau meridhoi dia datang.