Friday, December 25, 2015

Life is Not Fair. Always Unfair.

Hidup kadang nggak adil? Emang. Malah buat gue, selalu nggak adil. Capek? Iya, banget. Dibilang ngeluh mulu? Bodo amat, emang gue pikirin, hehe. :')

Well, to be honest, gue lelah jadi cewek lemah. Gue capek jadi pihak yang selalu dikecewakan. Gue capek jadi orang bodoh dan selalu jadi loser. Gue lelah, saat gue jatuh dan sekuat tenaga berusaha bangkit, tapi pertahanan gue selalu dirobohkan dengan perasaan sepele yang dinamakan jatuh cinta.

Gue lelah, disaat gue udah bisa melupakan luka lama, seseorang yang udah bikin taman bunga di hati gue, dalam sedetik ngebakar taman yang udah susah payah gue rawat itu. #apasih. Gue lelah, berkali-kali dibuat kecewa saat gue percaya masih ada pria baik diantara sekian ribu pria brengsek. Apa sih yang salah? Kenapa semua seolah selalu sulit buat gue?

Satu pria datang, menawarkan kenyamanan, gue jatuh, dan ternyata gue cuma dijadiin bahan taruhan, lalu dia pergi, hilang gitu aja. Pria lain datang, menawarkan dirinya yang selalu bisa dengerin apapun cerita gue, gue nyaman, hingga akhirnya bisa ngerasain jatuh cinta lagi, setelah gue benar-benar jatuh, dia menjauh, kita lost contact sampai akhirnya gue dengar kabar dia udah menikah. Datang lagi pria lain yang notabene pria baik-baik, sederhana, penyayang, nyaris tanpa cela, menawarkan kebaikan dan membuat gue percaya lagi bahwa masih ada pria baik, sampai akhirnya tiba-tiba dia berubah, dekat sama entah cabe-cabean, entah dajjal, akhirnya gue tahu dia selingkuh, dan dia memilih meninggalkan gue karena mungkin selingkuhannya lebih cantik. Suatu hari, setelah setahun gue mencoba untuk sembuh, di saat gue udah lupa, ada pria lain, menawarkan kebaikan yang lain, bikin gue lupa kalo gue pernah benar-benar patah hati, bikin gue bahagia sampai tiba saatnya gue tahu kalo selama ini dia udah jadi milik orang lain. Gue galau, sakit, dan ngerasa kalo perasaan yang udah gue rasain setahun lamanya akhirnya sia-sia. Gue berusaha menjauh, menghindar walaupun masih sering nggak sengaja ketemu, mencoba bersikap biasa aja walaupun rasanya selalu pengin nangis di saat punggungnya berlalu.

Kenapa? Kenapa gue harus tahu semua yang nggak mau gue tahu disaat gue udah terlanjur jatuh? Kenapa gue harus ngerasain sayang kalau mereka akhirnya pergi? Kenapa gue harus selalu ngerasain patah hati yang ngebuat otak gue nggak konsen kerja? Kenapa gue harus selalu nangis tiap gue ngerasain patah hati lainnya padahal gue udah sering ngalaminnya? Kenapa gue nggak bisa kayak cewek kebanyakan yang mau dengan mudah membuka dirinya buat orang lain? Kenapa gue ditakdirin jadi cewek yang susah move on? Kenapa sih? Kenapa?!

Gue capek jadi orang yang terlalu lama butuh waktu buat move on. Gue capek nerima kenyataan bahwa memang nggak pernah ada pria baik di dunia ini. Gue capek, nangis sesegukan tiap malam sampai mata sembab dan nggak bisa cerita ke siapapun soal hati gue yang udah lapuk ini. Gue capek selalu mengubur impian yang udah gue bangun dengan indah. Gue capek denger temen-temen gue bilang "bukannya nggak ada pria baik, tapi belum saatnya aja".

�� Kubenci sendiri, kubenci sendiri, harus terus begini...
Kubenci sendiri, kubenci sendiri, harus terus begini...
Kubenci sendiri, kubenci sendiri, takut gagal terus begini... ��

Thursday, November 5, 2015

Merelakan Yang Datang Untuk Pergi

Hei, kamu. Iya, kamu. Orang yang selama satu tahun terakhir aku kagumi. Orang yang selama ini jadi alasan aku buat move on. Orang yang selama ini ngajarin aku bahwa nggak ada gunanya nangisin masa lalu. Satu-satunya orang yang bisa bikin relung hatiku dipenuhi kupu-kupu lagi. Ngerasain jatuh cinta, cemburu, bahagia, rindu bahkan kehangatan dalam hati setelah perasaanku membeku karena capek ngerasain berkali-kali patah hati. Satu-satunya orang yang bisa bikin aku ketawa saat mendengar leluconnya yang nggak lucu. Dan, kamu adalah orang yang akhirnya bisa...... mengubah mindset aku tentang kehilangan.

Kamu tahu, cung? Sakit saat aku tahu kalau aku nggak bisa jadi apapun selain pengagum rahasia kamu. Sakit saat aku tahu perasaan kamu akhirnya dimiliki orang lain. Sakit saat aku tahu kalau aku nggak lebih dari seorang pecundang karena hanya bisa memeluk kamu dalam doa. Dari awal harusnya aku tahu diri, tapi.... hey, mengagumi seseorang itu hak setiap orang, bukan?

Aku nggak menyesal pernah mengagumi bahkan memendam semua pujianku terhadapmu hanya dalam hati saja. Aku nggak menyesal pernah jadi orang yang dengan senang hati mendengar leluconmu yang menurut sebagian orang nggak punya selera humor. Aku nggak menyesal pernah diam-diam tersenyum saat punggung kamu menjauh. Dan aku, nggak menyesal pernah meluangkan waktuku untuk merasa bahagia karenamu. Kadang, ingin rasanya aku berbisik dibelakang telingamu bahwa sebenarnya aku butuh kamu buat bersandar. Ingin rasanya, aku berbisik bahwa sebenarnya kamu udah berhasil bikin aku nggak ngerasa sendirian lagi, dan bilang kalau kamu sebenarnya..... sangat berarti buat aku.

Kamu tahu, cung? Lelah buat jadi perempuan yang selalu pura-pura kuat kayak aku. Saat sadar senyum manis kamu bukan buat aku, saat sadar ada tembok diantara kita yang nggak bisa ngubah status kita untuk bisa lebih dari sekedar teman, saat sadar hanya punggung kamu yang menjauh yang selama setahun ini melihat senyumku. Dan.... saat sadar aku telah patah hati.

Au revoir, cung. Merci pour tout. Selamat tinggal. Terima kasih, untuk segalanya. Terima kasih, karena kamu udah dengan senang hati ngebagi cerita absurd kamu ke aku. Terima kasih, karena kamu udah mengisi hari-hari aku dengan semua kekonyolan kamu. Terima kasih, karena kamu nggak pernah sadar kalau kebahagiaanku beberapa bulan terakhir ini berkat kamu. Terima kasih, karena selama setahun terakhir senyum kamu udah berhasil bikin aku lupa kalau aku pernah patah hati saat mengingat senyum yang lain, senyum sebelum kamu. Terima kasih, karena kamu udah ngajarin aku bagaimana cara merelakan yang datang untuk pergi.

Sunday, November 1, 2015

Ketika Jatuh Cinta

Ketika jatuh cinta, apa yang kau rasa? Bahagia? Ingin seisi dunia tahu jika hatimu tengah berbunga? Tanpa ragu mengekspresikannya, menunjukkan perhatianmu padanya atau membuatnya nyaman hingga dia tahu bahwa selama ini dirinya kau anggap spesial? Merasakan letupan kecil dalam dada yang membuat dirimu salah tingkah ketika bicara dengannya? Atau... hanya ingin menyimpannya dalam diam?

Aku, salah satu diantara sekian banyak yang memilih pernyataan terakhir. Ya, ketika aku jatuh cinta, aku hanya ingin menyimpannya dalam diam saja. Bagiku, ada satu keuntungan di saat aku memuja seseorang secara rahasia, diam-diam, yang bahkan sahabatku sendiri tak pernah tahu persis apa yang sebenarnya tengah kurasakan.

Bagi sebagian orang, jatuh cinta itu indah. Bagi sebagian orang, jatuh cinta adalah hal yang dengan mudah dapat mereka ekspresikan. Bagi sebagian orang, jatuh cinta adalah hal yang membuat mereka bahagia, yang menurutku, justru perasaan konyol yang menjebak dalam luka yang sama.

Di saat aku jatuh cinta pada seseorang, kebahagiaanku cukup dengan melihatnya dari kejauhan saja. Aku bahagia, ketika kami bertegur sapa. Aku bahagia, ketika dia menyapaku dengan senyum tulusnya walau hanya sekedar berbasa-basi. Aku bahagia, ketika kami sempat bertukar cerita walau yang seringkali dia ceritakan adalah hal yang menurutku sama sekali tak lucu. Aku bahagia, ketika aku dapat memastikan dirinya hadir hari ini, esok, dan seterusnya, meski seringkali aku sedih ketika menatap punggungnya menjauh pergi dariku, merasa jadi seorang pecundang karena tak bisa jujur dengan perasaanku sendiri.

Ya, apalah aku ini yang hanya pandai menyembunyikan, bukan mengekspresikan, menunjukkan, bahkan mengutarakan. Seorang wanita yang selalu merasa nyaman memujinya dalam hati. Entah, mengapa tak bosan hanya sampai disini batasku menyukainya. Keinginan untuk dianggap lebih dari sekedar teman, hanya sebatas kata saja. Dan... tak terasa, satu tahun aku telah jatuh cinta padanya, kurasa, aku tetap bahagia meski statusku hanya jadi pemuja rahasianya.

Setidaknya, lewat jatuh cinta Tuhan memberikanku bahagia saat melihat senyum tulusnya. Tuhan memberikanku bahagia saat aku mendengar sapaan hangatnya. Tuhan memberikanku bahagia saat aku bertemu dengannya lagi, dan lagi, tanpa sengaja.

Sungguh, jika bisa memilih, tak ingin rasanya aku jatuh cinta lagi karena aku lelah. Lelah disakiti. Lelah menangis setiap malam. Lelah akan perasaan yang tak berguna. Lelah dibuang begitu saja. Lelah akan akhir yang tak bahagia. Lelah menangisi hal yang itu-itu saja.

Bisakah, Tuhan..... kendalikan perasaan ini hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang tepat. Hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang tak hanya manis ucapannya. Hingga Kau pertemukan aku dengan pria yang...... dapat menerimaku apa adanya. Pria yang tak tergoda dengan cinta semu, tipu muslihat keelokkan ragawi wanita-wanita yang berada di sekelilingnya selain aku. Aku rela.... rela Kau jatuhkan sejatuh-jatuhnya, ketika Kau meridhoi dia datang.

Wednesday, July 29, 2015

Cinta Masa Kecilmu

Hei. Kamu. Iya. Kamu. Yang sekarang udah jadi milik orang lain. Entah selama kita nggak intens kontekan lagi sejak kurang lebih 7 atau 8 tahun yang lalu, kamu masih inget aku atau enggak.

Jadi gini ceritanya. Ini cerita konyol sih, cinta monyet. Tapi pengen ngeluarin aja, penat juga dipendem mulu. Hehe. Dulu banget waktu gue masih SMP, gue pernah suka sama cowok, sebut aja dia AA. Awalnya dia nggak suka sama gue. Tapi entah gimana ceritanya dia bisa jadi suka juga sama gue, dan......... kita deket. Gue lupa tiap detilnya. Tapi ada beberapa part yang masih samar-samar gue inget, dan... bikin gue galau.

Dulu waktu gue deket sama dia, sebenernya gue juga lagi deket sama cowok lain. Sebut dia AB deh. Dia pernah gue bahas di postingan awal gue yang paling pertama kalo nggak salah. Yap, yang cuma jadiin gue bahan tarohan aja. Jujur ngga ada niat nyakitin AA. Dia baik. Baiiiiik banget. Dia sholeh, lembut sama cewek, dan sepanjang gue kenal dia, dia nggak pernah ngomong kasar. Dia taunya gue mainin perasaan dia, karena abis gue bilang gue udah jadian sama AB. Semenjak itu gue lost contact, dan dia kalo ketemu gue mukanya bikin gue ngerasa bersalah banget. Abis gimana ya, kata temen gue, guenya aja yang kegeeran. Abisan dianya gak nembak-nembak. Balik lagi ke problematika remaja ya. Apalagi waktu itu gue masih jadi ABG labil, walaupun sekarang masih. Cewek itu butuh kepastian. That's it.

Walaupun nggak lama si AA ini jadian sama temen gue sih. Tapi gue nggak pernah ngerasa marah atau kesel atau apalah yang harusnya dirasain sama cewek yang pernah suka sama seorang cowok, and then nggak lama setelah mereka jauh, dia malah jadian sama temennya.

Oke. Lupakan soal pembahasan yang tadi. Jadi gini. Entah, kok akhir-akhir ini gue kangen sama dia, yang menurut gue, it makes no sense lah ya. Karena itu udah lama banget. Hampir 8 tahun yang lalu, dan dia pun sepertinya bukan cinta pertama gue. Gue bingung aja kok tiba-tiba pengen keep-in-touch lagi sama dia. Berteman di socmed pun nggak pernah tegur sapa. Terakhir yang gue inget dia nanya kabar gue via chat facebook kalo nggak salah 2 atau 3 tahun yang lalu. Aneh? Emang. Gue juga nggak ngerti. Dan yang bikin gue bingung? Harus banget gue galau? He's someone else's now. Entah apa yang gue rasain. Gue ngerasa kok, ya Allah andai masih ada laki-laki kayak dia yang nerima pasangannya apa adanya. Keliatan kok, dia sayang banget sama ceweknya. And I get envious of it. Mungkin karena gue lagi ngerasa sepi kali ya, ngeliat dia sama pacarnya yang kayaknya sih bahagia banget, ya gatau deh dalemnya. Cuma tetiba keingetan lagi aja kebaikan-kebaikan dia yang dulu. Sampe gombalannya aja masih gue inget. Hahahaha.

Dan, ya...... seharusnya sih, mau kisah setahun yang lalu, 3 tahun yang lalu, 4 tahun yang lalu, bahkan cinta monyet yang kayak gini, 8 tahun yang lalu. Yang namanya masa lalu, tetep masa lalu. But, sometimes they still remains. Suka muncul tiba-tiba. Suka bikin galau tiba-tiba. Yang pasti gue sampe sekarang masih bingung kenapa gue bisa kangen sama dia. Semoga dia beneran udah maafin gue ya. Kadang masih suka ngerasa bersalah. Semoga langgeng sama pacar lo ya, dan sampai ketemu di pelaminan, dengan gue sebagai tamu undangan tentunya. ☺

Friday, July 10, 2015

Finally, I'm Turning 22!

Hei! Hari ini gue mau posting sesuatu yang berhubungan sama hari ulang tahun. Ya, hari ulang tahun gue. Yay! And finally I'm turning 22!

Terharu banget pagi-pagi dibangunin sahur sambil dipeluk dan diucapin selamat ulang tahun plus doanya sama nyokap. Honestly, that was sweetest moment ever in my life! Seneng banget, bahagia banget, betapa baik Allah ngasih gue orang tua yang amat sangat sayang sama gue. #allpraisestoAllah

And today, I just feel a year has passed so fast. Extremely fast. *setel lagu kangen-nya dewa*
Hari ini bikin gue jadi flashback ke setahun yang lalu. Flashback ke banyak momen-momen indah gue bareng dia. -youknowlahdiasiapa- hahahaha. #selaluadacelahbuatcurhat

Ya. Tahun lalu, tepat tanggal 10 juli 2014. Malemnya, dia jemput gue pulang kerja. Waktu itu gerimis, tapi banyak, keroyokan. Intinya waktu itu kita mesti neduh. Akhirnya kita neduh masih di sekitaran Blok-M. Kita neduh di depan proyek hotel yang baru 60% jadi. By the way, kamu tau nggak sih? Sekarang hotelnya udah jadi loh. Cepet banget ya? Bahkan aku nggak ngeh kapan hotel itu jadi. Dan sampai sekarang pun aku nggak tahu tuh nama hotelnya apa. Wkwk.

Setelah dirasa hujan udah mulai reda, kita lanjutin perjalanan pulang. As always, sesampainya di rumah gue, kita duduk sambil cerita ngalor-ngidul, cekikikan, ketawa-ketiwi. Dan akhirnya, tepat pukul 00.00 dia meluk gue dan ngucapin selamat ulang tahun. Katanya, "Selamat ulang tahun yang ke-21, sayang. Segala yang terbaik buat kamu. Jangan jadi tua dan menyebalkan. Jadilah yang terbaik, selama engkau hidup." And how that words feel so good in my ears that moment. Walaupun akhirnya gue tahu, kalo itu ternyata penggalan lirik lagu. Hih!

Begitu banyak momen manis saat gue sama dia. Dari yang ngambek-ngambek nggak jelas, berantem, baikan lagi, berantem lagi, sampai ujungnya putus karena orang ketiga. Jujur, kadang masih nggak percaya kalo gue sama dia udah gak sama-sama lagi. Mecah kata "kita" jadi "aku" dan "kamu". Nggak percaya kalo dia beneran berubah. Nggak percaya kalo dia beneran ninggalin gue buat orang lain.

Tapi ternyata banyak hal yang bisa gue pelajarin. Gue jadi tahu bahwa apa yang gue genggam, belum tentu selamanya. Dan karena emang ga akan pernah ada kata selamanya. Gue jadi tahu gimana rasanya ngelewatin "proses" menerima kenyataan. Bahwa kita nggak bisa cegah disaat orang lain akan atau bahkan ingin berubah, karena semua itu udah ada hukum alamnya. Dan perubahan itu pasti akan terjadi.

Dan sekarang gue sama dia udah berpijak di masing-masing tempat yang berbeda. Dia dengan hidupnya sendiri, gue dengan hidup gue sendiri. Dia dengan bahagianya sendiri. Sedangkan gue? Gue cuma bisa mendoakan segala yang terbaik buat hidupnya, buat kebahagiaannya. Keluarganya, rezekinya, kuliahnya, pekerjaannya, bahkan perihal seseorang yang nantinya akan Allah tujukan buat dia. Gue bersyukur, gue bisa lewatin semua proses itu dengan tabah. Karena proses penerimaan adalah level tersulit. Gue hanya mencoba berdamai dengan diri gue sendiri. Dengan takdir Allah. Mencoba buat ngikutin apa yang Allah ridhoi. Karena, sekuat apapun kita menggenggam, kalau Allah bilang tidak? Lantas kita bisa apa? ☺

Sunday, April 26, 2015

The Power of Prayer

Apa yang kau lakukan disaat merindukan seseorang? Menghubunginya? Mengatakan bahwa kamu merindukannya? Mungkin akan mudah melakukannya jika dia masih mengingat setitik kecil tentang dirimu. Namun jika tidak?

Hei, tahukah kamu bahwa doa dapat menjadi penawar rindu? Sebelumnya aku adalah orang yang tak yakin akan kekuatan sebuah doa, bahkan seringkali tak memercayainya. Tapi setelah kucoba, ternyata rasanya bagai candu. Tak pernah kusangka mengadu pada Tuhan adalah sebaik-baik penawar rindu. Hatiku tenang, dan rinduku rasanya terobati.

Aku bukanlah orang yang ekspresif. Jika kamu mengenalku dengan baik, kau pasti tahu bahwa aku hanya dapat menunjukkannya pada seseorang yang kupercaya. Kupercaya dapat menjadi pendengar yang baik, serta kupercaya untuk kubagi bebanku bersamanya.

Ya, aku pernah mencobanya. Aku pernah bahkan masih menyemogakan dia menjadi bahagiamu setelahku, hingga sekarang. Menyemogakan dia menjadi tempatmu bersandar saat lelah, menjadi pelipur laramu, dan menjadi satu-satunya orang yang kau berikan senyummu yang aneh, namun spesial. Menjadikanmu semangatnya, sebanyak kamu memuja dan memikirkannya.

Semoga dia mampu memahamimu lebih baik dariku. Menjaga, mendampingi, dan menanti kesuksesanmu dengan sabar dan setulus hatinya. Semoga senyum manis dan suara indahnya saat menyapamu dapat menjadi semangat untukmu belajar dan bekerja lebih giat, serta menuntunmu menjadi pria yang lebih baik, yang dapat kau sayangi dengan tulus, tanpa kepura-puraan dan hasrat sesaat.

Dan semoga, kau dapat temukan bahagiamu yang hakiki dalam dirinya. Aku? Aku hanya dapat membisikkan namamu dalam lantunan doa panjang pada Tuhan setiap kensunyian malam menyapaku. Semoga, segala semogaku pada Tuhan dikabulkan-Nya, termasuk nama terakhir yang kuingin agar Tuhan memberinya bahagia setelah kedua orangtua dan saudara-saudaraku. Karena, sebaik-baik cara mencintai adalah mendoakannya, bukan? :)

Thursday, March 26, 2015

The Power of "Ikhlas"

Jadi gini ceritanya...........
Akhir-akhir ini temen-temen gue banyak yang lagi dilanda patah hati. Di PHP-in gebetan, dibikin nyesek sama orang yang dia suka, sampe diputusin pas lagi sayang-sayangnya (yang ini mirip-mirip gue dulu). Tenang, disini gue nggak akan ngasih wejangan sok bijak biar bisa cepet move on. I just wanna share a bunch of experiences about my broken heart.

Yang gue perhatiin dari seseorang yang baru aja dikecewakan adalah : dia selalu menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang udah terjadi (baca : diputusin) karena saking sayangnya sama cowoknya, eh salah, maksudnya mantan cowoknya. Dia nggak bisa nahan emotional conditions-nya yang lagi meledak-ledak. Yang dia pengen cuma satu : nggak peduli dia dianggep lebay sama orang yang penting mantannya tahu, kalo dia masih cinta (banget).

Apdet personal message mendayu-dayu di BBM, ngeretweet tweet bijak soal patah hati di Twitter, ngepost moment listening to~ lagu galau ala-ala di Path, sampai masih tetep upload foto kenangan sama mantannya di Instagram waktu cerita cinta mereka lagi unyu-unyunya.

Honestly, I really know how it feels.
Gue pernah kok, sayang banget sama seorang cowok sampai gue nggak sadar kalo apa yang gue lakuin itu menurut banyak orang dicap "lebay". Mereka sih diem aja, tapi gue tahu kok, dalem hatinya pasti bilang : "Apaan sih nih orang? Alay banget. Kayak abis diputusin bakalan mati besok aja?". Kurang lebih kayak gitu. Tapi lo harus tahu. Ada kondisi emosional dalam diri seseorang yang ngalahin akal sehat waktu dia patah hati. Dan itu beneran dahsyat. Lo nggak bisa nolak betapa sakitnya, bahkan saat lo makan es krim rasa favorit lo, rasanya kayak minum air putih. Tawar. Anta. Gue juga nggak ngerti kenapa? Mungkin itu sugesti. Sama halnya kayak pas lo masih sama-sama dia. Waktu lo sakit, misalnya, cuma ditemenin sama dibelai rambutnya dan dipeluk aja, sejam kemudian demamnya mendingan. I just call it : magic.

Jadi intinya gini, saat lo patah hati, lo pasti ngerasa di dunia ini cuma elo satu-satunya makhluk yang paliiiiiiiiing sedih, paling ga semangat jalanin hidup, bahkan paling nggak bisa seharipun nggak ngeluarin air mata. Tapi nanti ada saatnya kok, lo sadar bahwa apa yang lo lakuin kemarin-kemarin adalah hal bodoh yang bikin lo diketawain mantan. Akan ada saatnya lo sadar bahwa lo nangis tiap hari pun nggak akan membuat dia kembali lagi, nggak akan membuat dia menyesal karena udah ninggalin lo. Yang perlu lo yakinin cuma dua : lo nggak akan ditinggalin kalo lo cukup baik buat dia, atau dia emang nggak cukup baik buat elo. Udah itu aja.

Awalnya emang sulit, sulit banget. Gue aja berpikir gue nggak akan bisa. Tapi semua kembali lagi ke diri kita masing-masing. Sampai kapan mau berendam di jacuzzi kenangan? Sampai kapan mau nangisin orang yang nggak sedetikpun mikirin perasaan lo yang hancur berkeping-keping waktu itu? Sampai kapan lo mau berharap dia bakal nyesel karena udah mutusin lo gitu aja dan balik ngerengek ngemis cinta lo? Sampai kapan? Sampai orang cadel bisa ngomong "uler melingker diatas pager muter-muter" dengan benar?

Yang lo butuh cuma satu : Ikhlas.
Ikhlas bukan cuma bilang "Iya, gue udah ikhlas kok dia ninggalin gue. Semoga dia bahagia atas keputusannya dan nemuin pengganti yang baik dan tepat, bla, bla, bla..." Tapi disaat lo sendirian lo masih menyalahkan dan mengutuk diri sendiri akan apa yang salah di diri lo sampai dia mutusin buat pergi. Ikhlas itu cukup hati lo dan Tuhan aja yang tau.

Poin terpentingnya, langkah pertama yang paling sepele tapi paling berat buat dijalanin adalah : BERHENTI STALKING. Lo nggak akan pernah bisa lupain bahkan ikhlas kalo setiap menit lo selalu nanyain gimana keadaannya ke temen atau sahabatnya, stalking socmednya, kepoin apa aja tentang dia setelah dia nggak lagi sama lo. Kayaknya tradisi stalking pas baru-baru patah hati itu seolah udah mendarah daging buat para barisan patah hati. Tapi kalo lo emang niat dalam hati buat ikhlasin semuanya karena ngerasa ini yang terbaik yang Tuhan kasih, lo akan mulai berpikir walaupun pelan-pelan. Pertama, nyoba buat mulai hide kontaknya dia dari recent update BBM lo biar ga keingetan terus, walaupun gue tau lo pasti akan tetep cari-cari kontaknya karena masih kepoin personal messagenya. Pantengin Path tiap sejam sekali buat mastiin moment yang barusan lo update udah dilihat atau belum sama dia. Sampe nyipit-nyipitin mata buat mastiin lo nemuin thumbnail akunnya di viewers moment lo. Stalking akun twitternya abis-abisan. Pokoknya all of that dumbass things bakal bikin lo jengah sendiri kok suatu saat nanti. Itupun kalo lo berpikir untuk mau bangkit dan nggak terpuruk terus. Ada saatnya nanti lo akan yakin bahwa dia ninggalin lo karena ada "something wrong". Akan ada saatnya nanti lo tahu bahwa dia ninggalin lo nggak cuma sekedar "Kamu terlalu baik buat aku" atau "Aku nggak ngerti aku jenuh atau apa, yang pasti aku ngerasa hampa sekarang ini sama kamu" atau yang semacamnya. Sampai lo ketemu jawabannya nanti. Dan itu puncak dari semua rasa sakit yang bakal lo alamin. Lo bakal unfollow bahkan ngeblock Twitternya, delete contact BBMnya, unfriend akun Pathnya, sampe ngapus semua file-file kenangan lo sama dia. Foto, video, voice note. Bahkan benda-benda yang pernah dia kasih buat lo bahkan mungkin udah jadi benda kesayangan lo. Awalnya lo bakal nyesel karena lo ngerasa terlalu buru-buru ngelakuin semuanya karena emosi. Awalnya lo kebingungan gimana lagi cara dapetin kabarnya sedangkan semua socmednya udah lo block. Nah, dari sini lo mulai membiasakan diri tanpa bayang-bayang dia. Mulai mikir "Kayaknya emang gue sekarang harus 'berhenti' deh."

Yang lo harus inget, bayi itu nggak mungkin abis dilahirin langsung bisa lari. Dia kudu dibedong dulu, digendong dulu, ngerangkak dulu, jalan sambil dituntun dulu, sampai akhirnya mulai bisa jalan sendiri bahkan akhirnya dia bisa berlari. Semoga kalian yang baru aja patah hati nggak berlarut-larut ya, sedihnya. Soalnya, Baim jadi sedih, nih, inget kalo Baim pernah galau akut. Baim sedih kalo liat kalian yang matanya bengep karena nangis semaleman atau pas Baim coba hibur cuma ngasih senyum maksa karena ngerasa otot kalian buat ketawa udah dibawa pergi sama separuh jiwa yang menguap bersama bayang-bayang sang mantan. *apaanlagisihri*

Yaudah deh, ya. Kayaknya segitu aja yang mau gue share kali ini, kalo kata SPG Wardah : "Semoga berkah dan manfaat."

Go ahead and move along, guys!

Thursday, February 12, 2015

A Secret Admirer

Pernah nggak sih, lo kenal sama seseorang, udah lama nih ceritanya. Ada banyak hal baik di dirinya yang bikin lo attracted sama dia. But it's out of they physically appearance, ya. Tanpa sadar lo jadi sering perhatiin dia, get nervous tiap dia nyapa bahkan senyum sama lo, mulai hafal kebiasaan-kebiasaan konyolnya, kangen kalo gak lihat dia, selalu pengen ada di dekatnya. But, you don't know what kind of feeling you have to him. Suka, kagum, atau bahkan ada rasa pengin milikin?

Well, I know that feeling so well. Entah, gue juga bingung. Kalo dibilang ganteng, he's not hensem-hensem amat. Hm, mungkin lebih tepatnya, gue suka tipikal cowok sederhana kayak dia, kali ya. Kesederhanaannya itulah yang bikin gue jatuh hati. Oh my God, what did I say? Jatuh hati? Nananana~~ mudah-mudahan ini bukan jatuh hati, ya. Semoga yang gue rasain cukup kagum sama dia aja.

Tapi jujur, kadang gue suka out of control. Gue suka lupa, gue itu siapanya? Jangankan dapetin hatinya, dapetin senyumnya aja syusehhhh bener. Da aku mah apa atuh? Denger dia nyautin becandaan garing aku aja, rasanya kek mau mimisan. Hahaha :)))

But, there's so much positive points from admiring someone. Pertama, lo jadi lupa kalo long time ago, lo pernah galau dan patah hati banget sampe rasanya kaya mau mati #okeinilebay. Kedua, lo jadi semangat buat ngelakuin aktivitas lo sehari-hari karena ada dia. Ketiga, kayaknya udah seriously move on, nih. Yay! That's why I choose to admiring someone than got into a new relationship. Ya walaupun akhirnya lo malah masuk ke unknown and complicated circle. Yang lo nggak bakal tahu, apakah perasaan itu akan lo coba hentikan atau hilang dengan sendirinya nanti, berkembang lebih dalam, atau malahan ujungnya kejebak friendzone. Tapi yang penting, gue nyaman sama perasaan kayak gini. Nggak ada rasa takut kehilangan, nggak ada rasa takut sakit hati. Well, biar semua mengalir aja lah, yang penting sekarang gue bahagia karena hidup gue udah balik normal lagi, gak idiot lagi, dan yang terpenting, setidaknya gue tahu kalo hati gue masih bisa berfungsi buat ngerasain "that (whatever) kind of feeling".

Wednesday, January 14, 2015

Epilog

Almira dan Erik telah sepakat akan ke Dunia Fantasi hari ini karena Erik berjanji akan mengajak Almira kesana jika ia lekas sembuh. Sesampainya di sana Erik menggandeng Almira seperti biasanya layaknya seorang kekasih.

"Rik. Gaya lo gandeng gue berasa gue cewek lo aja deh ah. Nanti kalo cewek yang lo taksir lihat gimana coba? Bisa-bisa diulek jadi sambel gue?"

"Dasar oon, cabe-cabean dong lo? Diulek jadi sambel gitu?" Mereka tergelak bersama.

Satu-persatu wahana mereka naiki dengan penuh perasaan gembira. Almira tertawa riang seakan beban akan masa lalunya bersama Dito telah menguap bersama tawanya dan Erik sore itu.

Setelah merasa lelah, Erik memberikan sebotol minuman pada Almira dan duduk di spot dekat wahana komidi putar.

"Al, lo tunggu sini sebentar ya, jangan kemana-mana. Gue ke toilet dulu sebentar." Erik berbohong.

"Oke, bos!" Kata Almira setelah meneguk habis minumannya.

Erik sedikit berlari untuk mencari pedagang harum manis kesukaan Almira. Erik bertekad akan menyatakan perasaannya saat itu dan tak ingin menundanya lagi. Tak sampai 15 menit, Erik kembali ke tempat dimana Almira menunggunya.

"Surprise!" Suara Erik mengagetkan Almira.

"Erik! Kebiasaan lo! Selalu aja bikin kaget! Aaaaaaa, mau mau mau. Itu buat gue kan yah?" Almira merengek manja.

"Yee, siapa bilang, orang ini buat badut dufan!"

"Haha, ye... dasar tutup salep! Ya nggak mungkin lah, lo kan cuma bisa so sweet sama gue! Lagi juga gue nggak rela kalo harum manisnya lo kasih ke badut. Emang dia lebih spesial buat lo dibanding gue! Hih!" Almira merebut harum manis tersebut dari genggaman Erik dengan cekatan.

"Al, ada yang pengen gue omongin sama lo, ini penting dan menyangkut soal kita berdua." Raut wajah Erik berubah serius.

"Apa? Apa? Wah lo mau kenalin cewek yang lo taksir ya, Rik? Dia ada di sini ya, Rik? Mana? Dia dimana?" Cerocos Almira tak sabar.

"Gue mau jujur sama lo, Al. Kalo..... kalo..... kalo..... hhhhh... kalo gue selama ini....."

"Selama ini apa sih? Aduh lo kok ngomong aja jadi belepetan gitu kayak belek lo, hahaha."

"Al, please be serious. Gue nggak lagi becanda."

"Iya, iya, maaf. Yaudah iya gue diem. Gue dengerin." Almira masih asik mencomot harum manisnya dengan cuek.

"Gue sayang lo, Al." Beban di hati Erik mulai terangkat.

"A.. Apa?" Almira tersentak dengan ucapan Erik dan menaruh harum manisnya di sebelahnya.

"L.. Lo bilang apa, Rik? Gue salah denger, ya?"

"Lo nggak salah denger, Al. Gue sayang sama lo. Sayang banget sama lo. Gue pengen bisa jadi alasan lo buat bahagia, pengen bisa jagain lo terus, lindungin lo dari rasa sakit. Gue udah nggak bisa bohong lagi sama lo. Beban buat gue rasanya pura-pura nggak punya perasaan apapun sama lo, gue capek bohong terus. Gue nggak tahu tepatnya kapan gue mulai jatuh cinta sama lo, bahkan sayang sama lo, semua ngalir gitu aja, Al, tanpa bisa gue kendaliin. Gue cuma mau utarain itu aja, apapun keputusan lo, gue terima."

Almira masih terpaku dengan mulutnya yang masih penuh dengan harum manis. "Ng, Rik. Gue nggak tahu, jujur gue kaget banget lo bilang semua ini ke gue. Gue nyaman kalo deket lo, nyaman banget sampe kadang gue lupa kalo kita udah ngakak bareng berjam-jam sampe tau-tau udah malem aja rasanya. Tapi kalo perasaan lebih, gue nggak tahu apa gue punya itu buat elo. Kita udah sahabatan lama, Rik. Lagipula, kalopun gue bisa jatuh cinta lagi, gue takut, gue masih takut, Rik. I'm too afraid for another goodbye." Almira memandang kosong ke langit yang mulai berubah warna menjadi oranye.

"Lo nggak perlu jawab sekarang, Al. Itu hak lo, lo mau kasih gue kesempatan atau enggak. Gue cuma mau bilang. Nggak semua laki-laki sama kayak apa yang lo pikirin. Dan nggak semua perubahan seseorang bakal bikin lo kehilangan. Seseorang berubah karena dia ingin, harus, atau "dipaksa" berubah. Kalo lo terus takut, artinya lo mutusin kesempatan buat seseorang yang lebih baik untuk bisa bahagiain elo. Yaudah yuk, kita pulang, udah sore. Eh, mau lihat sunset dulu, nggak?"

Almira menggapai uluran tangan Erik seraya berdiri dari duduknya dan terlihat tengah mimikirkan sesuatu.

"Kasih gue waktu ya, Rik."

Merekapun beranjak meninggalkan Dunia Fantasi untuk melihat sunset di pantai sore itu.

*seminggu kemudian*

"Hey, Rik. Bawa apaan tuh? Pasti mau nyogok gue biar diterima! Hahaha." Canda Almira sampai pipi Erik terlihat merah karena malu.

"Yeee... dari dulu gue bawain lo makanan kan karena emang gue tau kalo kerjaan lo makan mulu, liat aja tuh badan lo, udah kaya tabung gas elpiji. Bulet! Haha."

"Ke taman yuk, Rik. Gue udah sebulan ga kesana. Kangen pengen main ayunan, nih."

"Yaudah ayuk, dasar bocah kecil."

Sesampainya di taman, Almira langsung duduk di ayunan pojok sebelah kanan, posisi yang selalu dipilihnya tiap kali datang ke taman ini.

"Rik, soal yang di Dufan minggu lalu, gue.... gue pikir-pikir, nggak ada salahnya gue kasih lo kesempatan. Tapi gue nggak tahu apa gue bisa ngerasain perasaan itu sama lo, biar waktu aja yang jawab ya?"

"Jadi lo? Jadi lo terima gue, Al? Jadi lo mau jadi pacar gue, Al? Jadi kita? Jadi kita pacaran, Al?!" Tanpa sadar suara Erik terdengar cukup keras saking senangnya.

Almira mencubit lengan Erik sambil berbisik. "Astaga, Erik. Pelanin dikit kek suara lo. Malu, Rik!"

"Bilang kalo ini bukan mimpi, Al. Bilang!!!!!"

"Iya, Erik Prasetya. Ini bukan mimpi. Almira Shafila, sahabat lo dari SMP yang lucu dan imut ini bersedia jadi pacar lo."

"Al. Just keep my promises. I'll never let you down like he does. And I'll love you with all of my heart. Deeply."

"Rik, boleh gue minta satu hal?"

"Buat tuan putri, jelas."

"Gue minta selama kita sama-sama, lo jangan pernah janjiin apapun, bahkan tanpa lo sadar tolong hindarin itu. Kalo lo emang pengen bahagiain gue, jangan janjiin apapun, lakuin aja apa yang lo bisa, kayak biasanya. Kadang kita lupa disaat kita terlalu bahagia, kita suka ngumbar janji yang akhirnya justru bikin kita ingkar. Karena janji kapanpun bisa jadi ingkar tanpa tahu waktu kan, Rik?" Almira teringat kembali traumanya.

"Iya, Al. Maafin aku ya, sayang. Cuma pria bodoh yang nyia-nyiain kamu. Makasih banget, kamu udah mau kasih aku kesempatan. Karena aku lagi seneng, gimana kalo aku traktir es krim!"

"Dasar pria, kalo maunya udah terpenuhi aja langsung deh, haha. Lihat aja nanti, pasti nggak lama juga ditinggalin."

"Al, tuhkan, belum apa-apa aja udah su'udzon. Ucapan itu doa, berucap yang baik-baik, biar yang terealisasi juga yang baik-baik. Yaudah ayuk cari es krim." Erik bangkit dari duduknya seraya meraih tangan almira dan mengenggamnya seakan tak ingin melepasnya lagi.

"Ih, aku becanda, tutup salep!" Almira menjulurkan lidahnya, menunjukkan mimik wajahnya yang meledek.

"Terima kasih, Tuhan. Semoga laki-laki ini jawaban atas semua lukaku." Batin Almira seraya tersenyum menatap mata indah Erik.

Selesai.

Chapter 8

~~

We were best of friends since we were this high,

So why do I get nervous every time you walk by.

We would be on the phone all day,

Now I can't find the words to say to you,

Now what am I supposed to do?

~~

Terdengar alunan akustik lagu Catching Feelings - Justin Bieber, dari senar-senar gitar yang Erik petik. Erik melantunkan lagu itu dengan suara merdunya di halaman belakang kostnya. Tak lama, ia berhenti memetik senar gitarnya, sesaat teringat akan gadis yang begitu disayanginya.

"Almira Shafila, what am I supposed to do now?" Ceracau Erik, sambil memeluk gitar kesayangannya dan menatap indahnya bintang malam itu. "Gue harus gimana ya, Al? Gue nggak bisa terus-terusan bohongin perasaan gue kayak gini, kesiksa juga gue lama-lama."

"Woy! Rik, ngapain lo sendirian di belakang hari gini? Galau lo? Haha." Tiba-tiba Firas datang, mengagetkan dan membuyarkan lamunannya.

"Ah sialan lo, Ras, ngagetin gue aja. Ah enggak sih, ya masa seorang Erik Prasetya galau." Erik meminum kopi hangatnya beberapa teguk. "Gue nggak lagi galau, Ras. Tapi gundah gulana, hahaha." Lanjutnya.

"Ras. Misalnya nih ya, misalnya. Lo punya sahabat cewek, dan lo udah lama sahabatan sama dia. Selama lo sahabatan sama dia, lo selalu ngerasa wajib buat lindungin dia, pengen selalu lihat dia ketawa, gak pengen lihat dia sedih, dan tanpa sadar lo sayang sama dia. Menurut lo, itu salah nggak?" Tanya Erik hati-hati.

"Astaga, Rik, gue kira lo galau masalah kuliah apa kerjaan gitu sampe-sampe kayaknya muka lo keliatan depressed banget gitu. Haha, ya nggak salah lah, Rik. Kita kan manusia, punya perasaan, dan perasaan itu nggak bisa kita kendaliin kan? Kita suka sama siapa, kita sayang sama siapa, kita bahagia sama siapa, semua itu terjadi tanpa sadar."

"Sayang sama seseorang itu anugrah, Rik. Sekalipun dia sahabat lo sendiri. Semua ada resikonya. Tapi kalo cuma lo pendam aja, itu namanya lo pengecut. Sampein apa yang pengen lo sampein. Utarain apa yang pengen lo utarain." Lanjut Firas sambil membetulkan posisi kacamatanya.

"Kalo lo sayang sama Almira, bilang, sampein sama dia kalo lo sayang sama dia lebih dari sahabat, lebih dari apa yang selama ini dia tahu. Jujur aja, Rik. Urusan dia terima atau tolak, itu belakangan. Seenggaknya lo udah jujur sama perasaan lo sendiri."

Erik menghela nafas seraya bersandar di pilar teras kostnya. "Tapi gue ragu, Ras. Gue takut Almira malah jauhin gue nanti. Gue nggak mau itu terjadi. Kalo dia jauhin gue, siapa lagi yang bakal jagain dia, lindungin dia? Gue cuma nggak mau egois."

"Dengan lo mendam perasaan lo kayak gini, lo pikir lo nggak egois? Setiap orang berhak jatuh cinta sama siapa aja, Rik. Pikirin itu baik-baik, bro. Sebelum lo nyesel, kalo dia nanti jatuh ke pria yang lebih salah lagi daripada mantannya." Sahut Firas bijak seraya menepuk bahu Erik dan berlalu menuju kamarnya.

"Astaga, kenapa sayang sama seseorang harus serumit ini sih! Mungkin kalo Almira bukan sahabat gue bakalan lebih mudah." Dumal Erik.

Erik berjalan gontai menuju kamarnya. Memikirkan kata-kata Firas padanya barusan. Erik menjatuhkan dirinya diatas kasur lipat dengan seprainya yang berantakan, sama berantakannya dengan pikirannya saat ini.

Erik mengetik pesan singkatnya pada Almira via BBM,

"Al, lo lagi ngapain? Temenin gue makan kwetiau yuk. Gue traktir deh."

*new BBM message*
"Sorry, Rik, gue nggak bisa kalo hari ini, gue lagi nggak enak badan, Rik, maaf ya. Gue janji kalo udah enakan, lo mau kemana aja pasti gue temenin."

Erik kaget membaca pesan BBM yang Almira kirim. Setahunya, kemarin keadaan Almira masih baik-baik saja, setidaknya, itulah yang Almira katakan padanya lewat BBM kemarin malam.

Tangan Erik Cekatan menekan nomor 8 pada speed dial panggilannya untuk menelpon Almira.

"Al, lo sakit apa? Kenapa bisa sakit? Kemarin lo makan apa sampe bisa sakit? Lo salah makan ya, Al? Apa lo kecapekan kurang istirahat? Ya ampun, Al, makanya jangan bandel kenapa sih kalo gue bilangin!" Todong Erik tanpa helaan napas.

"Ya ampun, Rik. Bisa nggak sih nanyanya satu-satu, gue nggak kenapa-napa kok, cuma demam aja *uhuk* sama batuk pilek ringan doang, nggak usah lebay deh." Balas Almira dengan suaranya yang lemah.

"Yaudah, gue otw rumah lo sekarang. Gausah larang-larang gue, gue tetep kesana. Bye!" Sambungan telpon terputus.

"Erik, Erik. Nggak berubahnya deh. Udah kayak pacarnya aja gue, hahaha." Almira membenamkan tubuhnya makin dalam di selimutnya yang tebal dan nyaman.

15 menit kemudian

"Assalamualaikum, Bu. Maaf Erik baru sempet jenguk Almira, Erik baru tahu kalo Almira sakit, Almira nggak ngabarin soalnya."

"Ndak apa-apa nak Erik, lah wong cuma demam aja kok dia. Semalam kehujanan, ndak tahu abis darimana, ndak bilang dia soalnya. Gih bawa aja langsung itu ke Almiranya, daritadi ndak mau makan. dia di ruang tamu lagi nonton TV." Jelas Ibunda Almira ramah.

"Oh, yaudah, Bu, kalo gitu. Erik permisi ke dalam ya, Bu."

"Iya, iya. Monggo, nak Erik."

Seperti biasanya, Erik berniat untuk menjahili Almira sebelum menampakkan dirinya di depan Almira. Erik mengumpat di belakang sofa, lalu menarik telinga Almira dari belakang, kemudian sembunyi layaknya anak kecil yang meledek.

"Erik! Udah deh, gak lucu ah! Kayak anak kecil aja lo becandanya!" Almira mengomel dengan mimik wajah juteknya yang khas.

"Yaelah, Al, gitu aja ngambek. Jelek ih lo kalo ngambek."

"Biarin, emang udah jelek dari sananya!" Almira cemberut.

"Ya ampun, Al, mau muka lo iler semua juga buat gue cuma elo yang paling cantik, hahaha. Nih gue bawain bubur kacang ijo, masih anget, gue suapin ya, kata nyokap lo nggak mau makan daritadi. Gue udah repot-repot bawain ini semua jadi lo harus makan sampe habis. Gue nggak mau tahu." Kata Erik dengan nada sok galak.

"Idih, jadi lo nggak ikhlas nih! Yaudah kalo gitu gue nggak mau makan. Eh tapi gue nya laper, ding. Jadi mau deh, hahaha."

Erik menuang bubur kacang ijo yang masih hangat itu kedalam mangkuk dan mulai menyuapi Almira dengan sabar. Untung saja, Erik dengan senang hati melakukannya karena Almira adalah seorang gadis yang sangat manja saat dirinya sedang dalam keadaan sakit.

"Ya ampun, Al, lucu banget sih lo kalo lagi manja kayak gini, pengen gue peluk aja rasanya." Batin Erik.

Setelah suapan terakhir, Erik mengambilkan bungkusan obat milik Almira di kotak obat, membantu Almira untuk minum obat.

"Nih, teh angetnya. Tadi gue udah izin sama nyokap lo kok buat ke dapur, gak enak juga sih kan gue nggak pernah sampe ke dapur-dapur kalo main ke rumah lo."

"Rik, jangan lebay, please. Nyokap juga ngerti kali kalo kita udah temenan lama. Malah dia lebih kenal sama lo kali dibanding Dito." Almira meniup teh nya yang masih panas kemudian menyesapnya untuk membantu menelan obatnya.

"Yaudah lo tidur ya. Gue temenin sampe lo bener-bener tidur." Erik menarik ujung selimut Almira kemudian melebarkannya sampai ke leher Almira.

"Eh, Rik, btw gimana sama cewek yang lo taksir itu? Udah ada kemajuan? Gue udah lama ga denger lo cerita tentang tuh cewek." Tanya Almira tak sabar.

"Aduh, Al. Elo tuh lagi sakit kali, kayak nggak ada pokok bahasan lain aja deh. Yang itu kita omongin lain kali aja. Lo aja belum cerita kelanjutan lo sama Dito gimana, udah kepoin gue aja, haha." Erik mengacak-acak rambut Almira gemas.

"Ye, elo aja sering kepo masa gue nggak boleh kepo!" Almira hendak melempar bantal ke wajah Erik namun meleset, hingga mengenai lutut ibundanya.

"Almira, kamu ini kok ya nggak sopan sih becandanya, nduk, nduk. Nggak boleh kayak gitu. Nak Erik udah baik mau dateng kesini bawain kamu makanan kok malah kamu lemparin bantal begitu."

"Haha, nggak apa-apa kok, Bu. Ini kita cuma lagi becanda aja."

"Hm, yadudah kalo gitu Ibu tinggal ke belakang dulu ya mau buat kue untuk sajian ibu-ibu arisan besok." Lanjut Ibunda Almira masih dengan logat Jawa kentalnya.

Ibunda Almira tersenyum memperhatikan mereka berdua. Ia tahu bahwa Erik mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar sahabat pada putrinya, hanya saja, putrinya belum menyadarinya.

20 menit Erik bercerita pada Almira tentang kejadian-kejadian lucu yang dialaminya, Almira akhirnya tertidur. Erik membelai kepala Almira, dan mencium keningnya.

"Gue sayang lo, Al. Sayang banget sama lo sampai gue bingung, gue harus jujur atau tetap pendam semua perasaan ini sama lo."

Setelah berpamitan pada ibunda Almira, Erik pun pamit pulang dengan perasaan yang makin campur aduk.

"Gue harus utarain semuanya besok, harus."

-bersambung-