~~
We were best of friends since we were this high,
So why do I get nervous every time you walk by.
We would be on the phone all day,
Now I can't find the words to say to you,
Now what am I supposed to do?
~~
Terdengar alunan akustik lagu Catching Feelings - Justin Bieber, dari senar-senar gitar yang Erik petik. Erik melantunkan lagu itu dengan suara merdunya di halaman belakang kostnya. Tak lama, ia berhenti memetik senar gitarnya, sesaat teringat akan gadis yang begitu disayanginya.
"Almira Shafila, what am I supposed to do now?" Ceracau Erik, sambil memeluk gitar kesayangannya dan menatap indahnya bintang malam itu. "Gue harus gimana ya, Al? Gue nggak bisa terus-terusan bohongin perasaan gue kayak gini, kesiksa juga gue lama-lama."
"Woy! Rik, ngapain lo sendirian di belakang hari gini? Galau lo? Haha." Tiba-tiba Firas datang, mengagetkan dan membuyarkan lamunannya.
"Ah sialan lo, Ras, ngagetin gue aja. Ah enggak sih, ya masa seorang Erik Prasetya galau." Erik meminum kopi hangatnya beberapa teguk. "Gue nggak lagi galau, Ras. Tapi gundah gulana, hahaha." Lanjutnya.
"Ras. Misalnya nih ya, misalnya. Lo punya sahabat cewek, dan lo udah lama sahabatan sama dia. Selama lo sahabatan sama dia, lo selalu ngerasa wajib buat lindungin dia, pengen selalu lihat dia ketawa, gak pengen lihat dia sedih, dan tanpa sadar lo sayang sama dia. Menurut lo, itu salah nggak?" Tanya Erik hati-hati.
"Astaga, Rik, gue kira lo galau masalah kuliah apa kerjaan gitu sampe-sampe kayaknya muka lo keliatan depressed banget gitu. Haha, ya nggak salah lah, Rik. Kita kan manusia, punya perasaan, dan perasaan itu nggak bisa kita kendaliin kan? Kita suka sama siapa, kita sayang sama siapa, kita bahagia sama siapa, semua itu terjadi tanpa sadar."
"Sayang sama seseorang itu anugrah, Rik. Sekalipun dia sahabat lo sendiri. Semua ada resikonya. Tapi kalo cuma lo pendam aja, itu namanya lo pengecut. Sampein apa yang pengen lo sampein. Utarain apa yang pengen lo utarain." Lanjut Firas sambil membetulkan posisi kacamatanya.
"Kalo lo sayang sama Almira, bilang, sampein sama dia kalo lo sayang sama dia lebih dari sahabat, lebih dari apa yang selama ini dia tahu. Jujur aja, Rik. Urusan dia terima atau tolak, itu belakangan. Seenggaknya lo udah jujur sama perasaan lo sendiri."
Erik menghela nafas seraya bersandar di pilar teras kostnya. "Tapi gue ragu, Ras. Gue takut Almira malah jauhin gue nanti. Gue nggak mau itu terjadi. Kalo dia jauhin gue, siapa lagi yang bakal jagain dia, lindungin dia? Gue cuma nggak mau egois."
"Dengan lo mendam perasaan lo kayak gini, lo pikir lo nggak egois? Setiap orang berhak jatuh cinta sama siapa aja, Rik. Pikirin itu baik-baik, bro. Sebelum lo nyesel, kalo dia nanti jatuh ke pria yang lebih salah lagi daripada mantannya." Sahut Firas bijak seraya menepuk bahu Erik dan berlalu menuju kamarnya.
"Astaga, kenapa sayang sama seseorang harus serumit ini sih! Mungkin kalo Almira bukan sahabat gue bakalan lebih mudah." Dumal Erik.
Erik berjalan gontai menuju kamarnya. Memikirkan kata-kata Firas padanya barusan. Erik menjatuhkan dirinya diatas kasur lipat dengan seprainya yang berantakan, sama berantakannya dengan pikirannya saat ini.
Erik mengetik pesan singkatnya pada Almira via BBM,
"Al, lo lagi ngapain? Temenin gue makan kwetiau yuk. Gue traktir deh."
*new BBM message*
"Sorry, Rik, gue nggak bisa kalo hari ini, gue lagi nggak enak badan, Rik, maaf ya. Gue janji kalo udah enakan, lo mau kemana aja pasti gue temenin."
Erik kaget membaca pesan BBM yang Almira kirim. Setahunya, kemarin keadaan Almira masih baik-baik saja, setidaknya, itulah yang Almira katakan padanya lewat BBM kemarin malam.
Tangan Erik Cekatan menekan nomor 8 pada speed dial panggilannya untuk menelpon Almira.
"Al, lo sakit apa? Kenapa bisa sakit? Kemarin lo makan apa sampe bisa sakit? Lo salah makan ya, Al? Apa lo kecapekan kurang istirahat? Ya ampun, Al, makanya jangan bandel kenapa sih kalo gue bilangin!" Todong Erik tanpa helaan napas.
"Ya ampun, Rik. Bisa nggak sih nanyanya satu-satu, gue nggak kenapa-napa kok, cuma demam aja *uhuk* sama batuk pilek ringan doang, nggak usah lebay deh." Balas Almira dengan suaranya yang lemah.
"Yaudah, gue otw rumah lo sekarang. Gausah larang-larang gue, gue tetep kesana. Bye!" Sambungan telpon terputus.
"Erik, Erik. Nggak berubahnya deh. Udah kayak pacarnya aja gue, hahaha." Almira membenamkan tubuhnya makin dalam di selimutnya yang tebal dan nyaman.
15 menit kemudian
"Assalamualaikum, Bu. Maaf Erik baru sempet jenguk Almira, Erik baru tahu kalo Almira sakit, Almira nggak ngabarin soalnya."
"Ndak apa-apa nak Erik, lah wong cuma demam aja kok dia. Semalam kehujanan, ndak tahu abis darimana, ndak bilang dia soalnya. Gih bawa aja langsung itu ke Almiranya, daritadi ndak mau makan. dia di ruang tamu lagi nonton TV." Jelas Ibunda Almira ramah.
"Oh, yaudah, Bu, kalo gitu. Erik permisi ke dalam ya, Bu."
"Iya, iya. Monggo, nak Erik."
Seperti biasanya, Erik berniat untuk menjahili Almira sebelum menampakkan dirinya di depan Almira. Erik mengumpat di belakang sofa, lalu menarik telinga Almira dari belakang, kemudian sembunyi layaknya anak kecil yang meledek.
"Erik! Udah deh, gak lucu ah! Kayak anak kecil aja lo becandanya!" Almira mengomel dengan mimik wajah juteknya yang khas.
"Yaelah, Al, gitu aja ngambek. Jelek ih lo kalo ngambek."
"Biarin, emang udah jelek dari sananya!" Almira cemberut.
"Ya ampun, Al, mau muka lo iler semua juga buat gue cuma elo yang paling cantik, hahaha. Nih gue bawain bubur kacang ijo, masih anget, gue suapin ya, kata nyokap lo nggak mau makan daritadi. Gue udah repot-repot bawain ini semua jadi lo harus makan sampe habis. Gue nggak mau tahu." Kata Erik dengan nada sok galak.
"Idih, jadi lo nggak ikhlas nih! Yaudah kalo gitu gue nggak mau makan. Eh tapi gue nya laper, ding. Jadi mau deh, hahaha."
Erik menuang bubur kacang ijo yang masih hangat itu kedalam mangkuk dan mulai menyuapi Almira dengan sabar. Untung saja, Erik dengan senang hati melakukannya karena Almira adalah seorang gadis yang sangat manja saat dirinya sedang dalam keadaan sakit.
"Ya ampun, Al, lucu banget sih lo kalo lagi manja kayak gini, pengen gue peluk aja rasanya." Batin Erik.
Setelah suapan terakhir, Erik mengambilkan bungkusan obat milik Almira di kotak obat, membantu Almira untuk minum obat.
"Nih, teh angetnya. Tadi gue udah izin sama nyokap lo kok buat ke dapur, gak enak juga sih kan gue nggak pernah sampe ke dapur-dapur kalo main ke rumah lo."
"Rik, jangan lebay, please. Nyokap juga ngerti kali kalo kita udah temenan lama. Malah dia lebih kenal sama lo kali dibanding Dito." Almira meniup teh nya yang masih panas kemudian menyesapnya untuk membantu menelan obatnya.
"Yaudah lo tidur ya. Gue temenin sampe lo bener-bener tidur." Erik menarik ujung selimut Almira kemudian melebarkannya sampai ke leher Almira.
"Eh, Rik, btw gimana sama cewek yang lo taksir itu? Udah ada kemajuan? Gue udah lama ga denger lo cerita tentang tuh cewek." Tanya Almira tak sabar.
"Aduh, Al. Elo tuh lagi sakit kali, kayak nggak ada pokok bahasan lain aja deh. Yang itu kita omongin lain kali aja. Lo aja belum cerita kelanjutan lo sama Dito gimana, udah kepoin gue aja, haha." Erik mengacak-acak rambut Almira gemas.
"Ye, elo aja sering kepo masa gue nggak boleh kepo!" Almira hendak melempar bantal ke wajah Erik namun meleset, hingga mengenai lutut ibundanya.
"Almira, kamu ini kok ya nggak sopan sih becandanya, nduk, nduk. Nggak boleh kayak gitu. Nak Erik udah baik mau dateng kesini bawain kamu makanan kok malah kamu lemparin bantal begitu."
"Haha, nggak apa-apa kok, Bu. Ini kita cuma lagi becanda aja."
"Hm, yadudah kalo gitu Ibu tinggal ke belakang dulu ya mau buat kue untuk sajian ibu-ibu arisan besok." Lanjut Ibunda Almira masih dengan logat Jawa kentalnya.
Ibunda Almira tersenyum memperhatikan mereka berdua. Ia tahu bahwa Erik mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar sahabat pada putrinya, hanya saja, putrinya belum menyadarinya.
20 menit Erik bercerita pada Almira tentang kejadian-kejadian lucu yang dialaminya, Almira akhirnya tertidur. Erik membelai kepala Almira, dan mencium keningnya.
"Gue sayang lo, Al. Sayang banget sama lo sampai gue bingung, gue harus jujur atau tetap pendam semua perasaan ini sama lo."
Setelah berpamitan pada ibunda Almira, Erik pun pamit pulang dengan perasaan yang makin campur aduk.
"Gue harus utarain semuanya besok, harus."
-bersambung-