Tuesday, April 26, 2016

Kau Tahu?

Saat aku akhirnya tahu bahwa kau mencintai wanita lain, pada akhirnya semua terasa biasa saja. Kau tahu kenapa? Karena aku merasa, yang mencintai wanita itu bukan kau yang kukenal, tapi sisi dirimu yang lain. Bukan, itu bukan dirimu yang selama ini kukira sudah mati.

Maafkanlah, jika aku sudah menganggapmu benar-benar pergi. Karena yang kurasa, semua kebaikanmu sudah terkubur, bersamaan dengan sosok dan kehidupan baru yang kau ciptakan. Maafkan, karena saat kau katakan bahwa perasaanmu untukku menghilang, aku menganggapmu sudah tiada. Maafkan, karena sumpah serapah dan makian sempat terucap dalam hati sebagai bentuk kekecewaan. Maafkan, karena aku pernah begitu marah saat kau tinggalkan untuk orang lain. Maafkan, karena aku membuang bertahun-tahun waktuku dengan percuma hanya karena aku percaya bahwa sisa dirimu yang dulu masih ada.

Bodoh, ya. Kenapa tak dari dulu saja aku memaksa diriku berhenti? Kenapa tak dari dulu saja aku mendikte hatiku untuk menutup pintunya? Tapi biarlah, aku takkan menyesalinya. Toh, kita pernah sama-sama meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk saling menunggu, meskipun itu dulu, jauh hari sebelum kau benar-benar berubah dan mati.

Kuharap, firasat ini benar bahwa semua sesak yang pernah ada adalah cara Tuhan untuk memisahkan aku darimu. Cara-Nya agar aku sadar, bahwa aku hanya semut kecil yang tak punya kuasa untuk membangkitkan yang sudah mati. Takdir-Nya untuk mempertemukan aku dengan orang yang dapat menerima kekuranganku dengan apa adanya. Bahwa Ia, punya rencana yang lebih baik daripada membiarkanku membuang-buang waktu untuk menunggumu bangkit kembali.

Biarlah, kebaikanmu yang dulu begitu manis jadi pengalaman yang takkan terlupakan bagiku. Bahwa aku, pernah meninggalkanmu lebih dulu sebelum kamu melakukannya. Bahwa aku, pernah egois karena memaksamu mencari-cari apa yang tak bisa lagi kau rasakan. Bahwa aku, pernah bertahun-tahun memperjuangkan seseorang yang kucintai. Bahwa aku, pernah menghabiskan waktuku bertahun-tahun untuk menunggumu yang sesungguhnya takkan kembali. Bahwa aku, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memeluk keikhlasan.

Maka, carilah bahagiamu karena kau berhak mendapatkannya. Doaku selalu menyertaimu. Bahagiakanlah dirimu, karena aku tak sempat melakukannya. ☺

Wednesday, April 20, 2016

Mengapa Membenciku?

Mengapa membenciku? Sementara, kau sendiri yang pergi begitu saja dan meninggalkan luka. Mengapa membenciku? Sementara, justru kau sendiri yang sepertinya selalu dengan sengaja ingin menyakitiku meski kita sudah tak bersama. Mengapa membenciku? Sementara, ketika kau berkhianat pun aku tak pernah berusaha membalas sakitnya meskipun aku ingin.

Lalu, mengapa membenciku hanya karena aku masih menyayangi jiwamu yang jauh-jauh hari sudah pergi? Mengapa membenciku hanya karena langkahku masih tertatih-tatih sedangkan kau dengan mudahnya dapat berlari? Mengapa membenciku hanya karena aku belum bisa memeluk rasa keikhlasan? Mengapa membenciku hanya karena aku kecewa melihatmu berubah, dan... mati.

Tak puaskah? Tak puaskah jiwamu yang telah berubah bengis melihatku lemah dan kesulitan menahan tangis? Atau, kamu takut jika aku akan merengek seperti dulu untuk memintamu kembali? Maaf saja, tapi aku tak semenyedihkan yang kau pikir. Meski aku membiarkanmu tahu bahwa aku pernah dan masih merindukanmu, perihal bersama, memaksa bukanlah kuasaku, dan menghalalkan segala cara agar inginku tercapai bukanlah tabiatku.

Maka, andai suatu hari nanti kau butuh aku (lagi) dalam hidupmu, katakan saja sendiri, karena aku sudah selesai mengesankanmu.

Sesungguhnya hatiku percaya, sejauh apapun kaki kita melangkah, pun ke arah yang bertolak belakang, jika dalam takdir Tuhan kita memang digariskan bersama, jutaan gadis yang pernah membuatmu tertarik bahkan pernah membuatmu dengan sadar meninggalkanku, takkan mampu mengubahnya. Sebaliknya, jika dalam takdir Tuhan kita memang tidak digariskan bersama, sekuat apapun kita menopang bahu satu sama lain agar tak jatuh, semuanya pasti akan sia-sia.

Sunday, April 17, 2016

Kesia-siaan Rindu

Wajahmu masih dapat kulihat dengan jelas, meski kita hanya sesekali saja bertemu dalam momen-momen tertentu yang tidak kita rencanakan berdua. Meski hanya memandangmu dari radius beberapa meter atau bersalaman singkat seolah tak pernah terjadi apapun diantara kita, dapat kupastikan bahwa keadaanmu lebih baik dari yang kukira.

Meski kutahu bahwa yang kutatap setahun kebelakang bukanlah dirimu, berkenankah kau hadir agar aku dapat memelukmu sebentar saja? Aku, hanya ingin mengenang beberapa saat tempat yang pernah jadi favorit kita masing-masing untuk melepas lelah. Mengenang beberapa saat tempat dimana kita pernah saling menghangatkan selepas kehujanan. Mengenang beberapa saat bahwa aroma kemeja kerjamu pernah membuatku ingin berlama-lama kau peluk. Mengenang beberapa saat bahwa usapan di ujung kepalaku diantara pelukmu yang begitu erat pernah jadi obat paling mujarab saat aku sakit. Dan, hei, bukankah kamu juga menyukai usapan di ujung kepalamu sama sepertiku?

Aku senang bermimpi. Aku senang bisa berada sebentar di dalamnya, meski kutahu bahwa kita tak bisa hidup selamanya di sana. Rangkaian gambar bergerak berdurasi singkat dalam tidur yang mempertemukanku denganmu itu selalu jadi bahagia yang membuatku tak ingin bangun pagi. Meski di sana kamu hanya mematung, tak mengajakku bicara sedikitpun, menatapku dengan enggan bahkan terkesan muak, hingga meninggalkanku jauh di belakangmu karena langkah kakimu yang begitu cepat, aku tetap mensyukurinya karena momen itu tak bisa setiap hari kudapat.

Mengapa tak merangkai mimpi yang lain? Mengapa tak merangkai cerita yang lebih baik dari ini? Mengapa tak mencari kebahagiaan dari kebaikan lain yang masih hidup? Semua tanya itu tak sekali dua kali mampir di telinga. Aku tahu ini salah, bahkan sebagian orang menganggapnya kebodohan. Tapi yang kurasa, aku hanya lupa bahwa rasa nyamanku tak berpindah selama bertahun-tahun. Aku lupa, bahwa perasaan yang kita sebut cinta seringkali membuat kita hilang nalar. Kadang aku lupa, bahwa orang yang sudah mati tak akan bisa bangkit kembali, tak akan hidup lagi. Dan meski perasaan yang tak pernah bisa hilang digerus waktu sekian tahun ini diremuk bahkan diinjak-injak, aku masih saja lupa, bahwa merindukan seseorang yang sudah mati itu sendiri adalah kesia-siaan.

Sunday, April 10, 2016

1

Almira memejamkan mata sambil memeluk lengan Dito yang hangat, tempat ternyaman dari semua tempat yang pernah jadi favoritnya. Aroma white musk yang samar tercium dari kemeja kerja Dito membuat Almira mengeratkan lagi pelukannya.

"Aku nggak kemana-mana, kok, Al."

Bahagiaku hanya sebatas dipelukmu, Dit. Semoga bahagia ini selamanya. Walau kutahu takkan ada selamanya, setidaknya untuk saat ini dan beberapa saat kedepan yang kutahu, kamu ada.

Almira mengangguk, kemudian tersenyum. Bibirnya tak bergerak, hanya menimpali ucapan Dito dalam hati.

"Al... bangun."

Almira mengerjapkan matanya, samar-samar menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7.  Punggungnya terasa pegal karena semalaman tidur dengan posisi duduk bersandar pada matras dimana Dito terbaring lemah.

"Lo nggak pulang semalam? Semalam gue nggak bisa ke sini, nyokap sakit soalnya. Lo kenapa nggak telepon gue aja?"

"Eh? Kayaknya gue ketiduran, deh, Ras."

"Iya, gue tahu. Lo ngigau tadi. Ya udah, yuk, gue anter pulang. Muka lo pucet, tuh."

"Tapi, yang jagain Dito nanti siapa, Ras? Gue di sini aja, ah."

"Udah, nanti biar gue yang jagain Dito. Balik nganterin lo, gue ke sini lagi."

Almira diam, sejenak tampak berpikir. "Oke, deh."

"Nah, gitu dong." Firas tersenyum lega. Dan entah mengapa, tiba-tiba di hatinya ada rasa ingin menjaga dan melindungi gadis yang beberapa hari terakhir sunggingan senyumnya membuat Firas tak bisa tidur.