Wednesday, January 14, 2015

Epilog

Almira dan Erik telah sepakat akan ke Dunia Fantasi hari ini karena Erik berjanji akan mengajak Almira kesana jika ia lekas sembuh. Sesampainya di sana Erik menggandeng Almira seperti biasanya layaknya seorang kekasih.

"Rik. Gaya lo gandeng gue berasa gue cewek lo aja deh ah. Nanti kalo cewek yang lo taksir lihat gimana coba? Bisa-bisa diulek jadi sambel gue?"

"Dasar oon, cabe-cabean dong lo? Diulek jadi sambel gitu?" Mereka tergelak bersama.

Satu-persatu wahana mereka naiki dengan penuh perasaan gembira. Almira tertawa riang seakan beban akan masa lalunya bersama Dito telah menguap bersama tawanya dan Erik sore itu.

Setelah merasa lelah, Erik memberikan sebotol minuman pada Almira dan duduk di spot dekat wahana komidi putar.

"Al, lo tunggu sini sebentar ya, jangan kemana-mana. Gue ke toilet dulu sebentar." Erik berbohong.

"Oke, bos!" Kata Almira setelah meneguk habis minumannya.

Erik sedikit berlari untuk mencari pedagang harum manis kesukaan Almira. Erik bertekad akan menyatakan perasaannya saat itu dan tak ingin menundanya lagi. Tak sampai 15 menit, Erik kembali ke tempat dimana Almira menunggunya.

"Surprise!" Suara Erik mengagetkan Almira.

"Erik! Kebiasaan lo! Selalu aja bikin kaget! Aaaaaaa, mau mau mau. Itu buat gue kan yah?" Almira merengek manja.

"Yee, siapa bilang, orang ini buat badut dufan!"

"Haha, ye... dasar tutup salep! Ya nggak mungkin lah, lo kan cuma bisa so sweet sama gue! Lagi juga gue nggak rela kalo harum manisnya lo kasih ke badut. Emang dia lebih spesial buat lo dibanding gue! Hih!" Almira merebut harum manis tersebut dari genggaman Erik dengan cekatan.

"Al, ada yang pengen gue omongin sama lo, ini penting dan menyangkut soal kita berdua." Raut wajah Erik berubah serius.

"Apa? Apa? Wah lo mau kenalin cewek yang lo taksir ya, Rik? Dia ada di sini ya, Rik? Mana? Dia dimana?" Cerocos Almira tak sabar.

"Gue mau jujur sama lo, Al. Kalo..... kalo..... kalo..... hhhhh... kalo gue selama ini....."

"Selama ini apa sih? Aduh lo kok ngomong aja jadi belepetan gitu kayak belek lo, hahaha."

"Al, please be serious. Gue nggak lagi becanda."

"Iya, iya, maaf. Yaudah iya gue diem. Gue dengerin." Almira masih asik mencomot harum manisnya dengan cuek.

"Gue sayang lo, Al." Beban di hati Erik mulai terangkat.

"A.. Apa?" Almira tersentak dengan ucapan Erik dan menaruh harum manisnya di sebelahnya.

"L.. Lo bilang apa, Rik? Gue salah denger, ya?"

"Lo nggak salah denger, Al. Gue sayang sama lo. Sayang banget sama lo. Gue pengen bisa jadi alasan lo buat bahagia, pengen bisa jagain lo terus, lindungin lo dari rasa sakit. Gue udah nggak bisa bohong lagi sama lo. Beban buat gue rasanya pura-pura nggak punya perasaan apapun sama lo, gue capek bohong terus. Gue nggak tahu tepatnya kapan gue mulai jatuh cinta sama lo, bahkan sayang sama lo, semua ngalir gitu aja, Al, tanpa bisa gue kendaliin. Gue cuma mau utarain itu aja, apapun keputusan lo, gue terima."

Almira masih terpaku dengan mulutnya yang masih penuh dengan harum manis. "Ng, Rik. Gue nggak tahu, jujur gue kaget banget lo bilang semua ini ke gue. Gue nyaman kalo deket lo, nyaman banget sampe kadang gue lupa kalo kita udah ngakak bareng berjam-jam sampe tau-tau udah malem aja rasanya. Tapi kalo perasaan lebih, gue nggak tahu apa gue punya itu buat elo. Kita udah sahabatan lama, Rik. Lagipula, kalopun gue bisa jatuh cinta lagi, gue takut, gue masih takut, Rik. I'm too afraid for another goodbye." Almira memandang kosong ke langit yang mulai berubah warna menjadi oranye.

"Lo nggak perlu jawab sekarang, Al. Itu hak lo, lo mau kasih gue kesempatan atau enggak. Gue cuma mau bilang. Nggak semua laki-laki sama kayak apa yang lo pikirin. Dan nggak semua perubahan seseorang bakal bikin lo kehilangan. Seseorang berubah karena dia ingin, harus, atau "dipaksa" berubah. Kalo lo terus takut, artinya lo mutusin kesempatan buat seseorang yang lebih baik untuk bisa bahagiain elo. Yaudah yuk, kita pulang, udah sore. Eh, mau lihat sunset dulu, nggak?"

Almira menggapai uluran tangan Erik seraya berdiri dari duduknya dan terlihat tengah mimikirkan sesuatu.

"Kasih gue waktu ya, Rik."

Merekapun beranjak meninggalkan Dunia Fantasi untuk melihat sunset di pantai sore itu.

*seminggu kemudian*

"Hey, Rik. Bawa apaan tuh? Pasti mau nyogok gue biar diterima! Hahaha." Canda Almira sampai pipi Erik terlihat merah karena malu.

"Yeee... dari dulu gue bawain lo makanan kan karena emang gue tau kalo kerjaan lo makan mulu, liat aja tuh badan lo, udah kaya tabung gas elpiji. Bulet! Haha."

"Ke taman yuk, Rik. Gue udah sebulan ga kesana. Kangen pengen main ayunan, nih."

"Yaudah ayuk, dasar bocah kecil."

Sesampainya di taman, Almira langsung duduk di ayunan pojok sebelah kanan, posisi yang selalu dipilihnya tiap kali datang ke taman ini.

"Rik, soal yang di Dufan minggu lalu, gue.... gue pikir-pikir, nggak ada salahnya gue kasih lo kesempatan. Tapi gue nggak tahu apa gue bisa ngerasain perasaan itu sama lo, biar waktu aja yang jawab ya?"

"Jadi lo? Jadi lo terima gue, Al? Jadi lo mau jadi pacar gue, Al? Jadi kita? Jadi kita pacaran, Al?!" Tanpa sadar suara Erik terdengar cukup keras saking senangnya.

Almira mencubit lengan Erik sambil berbisik. "Astaga, Erik. Pelanin dikit kek suara lo. Malu, Rik!"

"Bilang kalo ini bukan mimpi, Al. Bilang!!!!!"

"Iya, Erik Prasetya. Ini bukan mimpi. Almira Shafila, sahabat lo dari SMP yang lucu dan imut ini bersedia jadi pacar lo."

"Al. Just keep my promises. I'll never let you down like he does. And I'll love you with all of my heart. Deeply."

"Rik, boleh gue minta satu hal?"

"Buat tuan putri, jelas."

"Gue minta selama kita sama-sama, lo jangan pernah janjiin apapun, bahkan tanpa lo sadar tolong hindarin itu. Kalo lo emang pengen bahagiain gue, jangan janjiin apapun, lakuin aja apa yang lo bisa, kayak biasanya. Kadang kita lupa disaat kita terlalu bahagia, kita suka ngumbar janji yang akhirnya justru bikin kita ingkar. Karena janji kapanpun bisa jadi ingkar tanpa tahu waktu kan, Rik?" Almira teringat kembali traumanya.

"Iya, Al. Maafin aku ya, sayang. Cuma pria bodoh yang nyia-nyiain kamu. Makasih banget, kamu udah mau kasih aku kesempatan. Karena aku lagi seneng, gimana kalo aku traktir es krim!"

"Dasar pria, kalo maunya udah terpenuhi aja langsung deh, haha. Lihat aja nanti, pasti nggak lama juga ditinggalin."

"Al, tuhkan, belum apa-apa aja udah su'udzon. Ucapan itu doa, berucap yang baik-baik, biar yang terealisasi juga yang baik-baik. Yaudah ayuk cari es krim." Erik bangkit dari duduknya seraya meraih tangan almira dan mengenggamnya seakan tak ingin melepasnya lagi.

"Ih, aku becanda, tutup salep!" Almira menjulurkan lidahnya, menunjukkan mimik wajahnya yang meledek.

"Terima kasih, Tuhan. Semoga laki-laki ini jawaban atas semua lukaku." Batin Almira seraya tersenyum menatap mata indah Erik.

Selesai.

Chapter 8

~~

We were best of friends since we were this high,

So why do I get nervous every time you walk by.

We would be on the phone all day,

Now I can't find the words to say to you,

Now what am I supposed to do?

~~

Terdengar alunan akustik lagu Catching Feelings - Justin Bieber, dari senar-senar gitar yang Erik petik. Erik melantunkan lagu itu dengan suara merdunya di halaman belakang kostnya. Tak lama, ia berhenti memetik senar gitarnya, sesaat teringat akan gadis yang begitu disayanginya.

"Almira Shafila, what am I supposed to do now?" Ceracau Erik, sambil memeluk gitar kesayangannya dan menatap indahnya bintang malam itu. "Gue harus gimana ya, Al? Gue nggak bisa terus-terusan bohongin perasaan gue kayak gini, kesiksa juga gue lama-lama."

"Woy! Rik, ngapain lo sendirian di belakang hari gini? Galau lo? Haha." Tiba-tiba Firas datang, mengagetkan dan membuyarkan lamunannya.

"Ah sialan lo, Ras, ngagetin gue aja. Ah enggak sih, ya masa seorang Erik Prasetya galau." Erik meminum kopi hangatnya beberapa teguk. "Gue nggak lagi galau, Ras. Tapi gundah gulana, hahaha." Lanjutnya.

"Ras. Misalnya nih ya, misalnya. Lo punya sahabat cewek, dan lo udah lama sahabatan sama dia. Selama lo sahabatan sama dia, lo selalu ngerasa wajib buat lindungin dia, pengen selalu lihat dia ketawa, gak pengen lihat dia sedih, dan tanpa sadar lo sayang sama dia. Menurut lo, itu salah nggak?" Tanya Erik hati-hati.

"Astaga, Rik, gue kira lo galau masalah kuliah apa kerjaan gitu sampe-sampe kayaknya muka lo keliatan depressed banget gitu. Haha, ya nggak salah lah, Rik. Kita kan manusia, punya perasaan, dan perasaan itu nggak bisa kita kendaliin kan? Kita suka sama siapa, kita sayang sama siapa, kita bahagia sama siapa, semua itu terjadi tanpa sadar."

"Sayang sama seseorang itu anugrah, Rik. Sekalipun dia sahabat lo sendiri. Semua ada resikonya. Tapi kalo cuma lo pendam aja, itu namanya lo pengecut. Sampein apa yang pengen lo sampein. Utarain apa yang pengen lo utarain." Lanjut Firas sambil membetulkan posisi kacamatanya.

"Kalo lo sayang sama Almira, bilang, sampein sama dia kalo lo sayang sama dia lebih dari sahabat, lebih dari apa yang selama ini dia tahu. Jujur aja, Rik. Urusan dia terima atau tolak, itu belakangan. Seenggaknya lo udah jujur sama perasaan lo sendiri."

Erik menghela nafas seraya bersandar di pilar teras kostnya. "Tapi gue ragu, Ras. Gue takut Almira malah jauhin gue nanti. Gue nggak mau itu terjadi. Kalo dia jauhin gue, siapa lagi yang bakal jagain dia, lindungin dia? Gue cuma nggak mau egois."

"Dengan lo mendam perasaan lo kayak gini, lo pikir lo nggak egois? Setiap orang berhak jatuh cinta sama siapa aja, Rik. Pikirin itu baik-baik, bro. Sebelum lo nyesel, kalo dia nanti jatuh ke pria yang lebih salah lagi daripada mantannya." Sahut Firas bijak seraya menepuk bahu Erik dan berlalu menuju kamarnya.

"Astaga, kenapa sayang sama seseorang harus serumit ini sih! Mungkin kalo Almira bukan sahabat gue bakalan lebih mudah." Dumal Erik.

Erik berjalan gontai menuju kamarnya. Memikirkan kata-kata Firas padanya barusan. Erik menjatuhkan dirinya diatas kasur lipat dengan seprainya yang berantakan, sama berantakannya dengan pikirannya saat ini.

Erik mengetik pesan singkatnya pada Almira via BBM,

"Al, lo lagi ngapain? Temenin gue makan kwetiau yuk. Gue traktir deh."

*new BBM message*
"Sorry, Rik, gue nggak bisa kalo hari ini, gue lagi nggak enak badan, Rik, maaf ya. Gue janji kalo udah enakan, lo mau kemana aja pasti gue temenin."

Erik kaget membaca pesan BBM yang Almira kirim. Setahunya, kemarin keadaan Almira masih baik-baik saja, setidaknya, itulah yang Almira katakan padanya lewat BBM kemarin malam.

Tangan Erik Cekatan menekan nomor 8 pada speed dial panggilannya untuk menelpon Almira.

"Al, lo sakit apa? Kenapa bisa sakit? Kemarin lo makan apa sampe bisa sakit? Lo salah makan ya, Al? Apa lo kecapekan kurang istirahat? Ya ampun, Al, makanya jangan bandel kenapa sih kalo gue bilangin!" Todong Erik tanpa helaan napas.

"Ya ampun, Rik. Bisa nggak sih nanyanya satu-satu, gue nggak kenapa-napa kok, cuma demam aja *uhuk* sama batuk pilek ringan doang, nggak usah lebay deh." Balas Almira dengan suaranya yang lemah.

"Yaudah, gue otw rumah lo sekarang. Gausah larang-larang gue, gue tetep kesana. Bye!" Sambungan telpon terputus.

"Erik, Erik. Nggak berubahnya deh. Udah kayak pacarnya aja gue, hahaha." Almira membenamkan tubuhnya makin dalam di selimutnya yang tebal dan nyaman.

15 menit kemudian

"Assalamualaikum, Bu. Maaf Erik baru sempet jenguk Almira, Erik baru tahu kalo Almira sakit, Almira nggak ngabarin soalnya."

"Ndak apa-apa nak Erik, lah wong cuma demam aja kok dia. Semalam kehujanan, ndak tahu abis darimana, ndak bilang dia soalnya. Gih bawa aja langsung itu ke Almiranya, daritadi ndak mau makan. dia di ruang tamu lagi nonton TV." Jelas Ibunda Almira ramah.

"Oh, yaudah, Bu, kalo gitu. Erik permisi ke dalam ya, Bu."

"Iya, iya. Monggo, nak Erik."

Seperti biasanya, Erik berniat untuk menjahili Almira sebelum menampakkan dirinya di depan Almira. Erik mengumpat di belakang sofa, lalu menarik telinga Almira dari belakang, kemudian sembunyi layaknya anak kecil yang meledek.

"Erik! Udah deh, gak lucu ah! Kayak anak kecil aja lo becandanya!" Almira mengomel dengan mimik wajah juteknya yang khas.

"Yaelah, Al, gitu aja ngambek. Jelek ih lo kalo ngambek."

"Biarin, emang udah jelek dari sananya!" Almira cemberut.

"Ya ampun, Al, mau muka lo iler semua juga buat gue cuma elo yang paling cantik, hahaha. Nih gue bawain bubur kacang ijo, masih anget, gue suapin ya, kata nyokap lo nggak mau makan daritadi. Gue udah repot-repot bawain ini semua jadi lo harus makan sampe habis. Gue nggak mau tahu." Kata Erik dengan nada sok galak.

"Idih, jadi lo nggak ikhlas nih! Yaudah kalo gitu gue nggak mau makan. Eh tapi gue nya laper, ding. Jadi mau deh, hahaha."

Erik menuang bubur kacang ijo yang masih hangat itu kedalam mangkuk dan mulai menyuapi Almira dengan sabar. Untung saja, Erik dengan senang hati melakukannya karena Almira adalah seorang gadis yang sangat manja saat dirinya sedang dalam keadaan sakit.

"Ya ampun, Al, lucu banget sih lo kalo lagi manja kayak gini, pengen gue peluk aja rasanya." Batin Erik.

Setelah suapan terakhir, Erik mengambilkan bungkusan obat milik Almira di kotak obat, membantu Almira untuk minum obat.

"Nih, teh angetnya. Tadi gue udah izin sama nyokap lo kok buat ke dapur, gak enak juga sih kan gue nggak pernah sampe ke dapur-dapur kalo main ke rumah lo."

"Rik, jangan lebay, please. Nyokap juga ngerti kali kalo kita udah temenan lama. Malah dia lebih kenal sama lo kali dibanding Dito." Almira meniup teh nya yang masih panas kemudian menyesapnya untuk membantu menelan obatnya.

"Yaudah lo tidur ya. Gue temenin sampe lo bener-bener tidur." Erik menarik ujung selimut Almira kemudian melebarkannya sampai ke leher Almira.

"Eh, Rik, btw gimana sama cewek yang lo taksir itu? Udah ada kemajuan? Gue udah lama ga denger lo cerita tentang tuh cewek." Tanya Almira tak sabar.

"Aduh, Al. Elo tuh lagi sakit kali, kayak nggak ada pokok bahasan lain aja deh. Yang itu kita omongin lain kali aja. Lo aja belum cerita kelanjutan lo sama Dito gimana, udah kepoin gue aja, haha." Erik mengacak-acak rambut Almira gemas.

"Ye, elo aja sering kepo masa gue nggak boleh kepo!" Almira hendak melempar bantal ke wajah Erik namun meleset, hingga mengenai lutut ibundanya.

"Almira, kamu ini kok ya nggak sopan sih becandanya, nduk, nduk. Nggak boleh kayak gitu. Nak Erik udah baik mau dateng kesini bawain kamu makanan kok malah kamu lemparin bantal begitu."

"Haha, nggak apa-apa kok, Bu. Ini kita cuma lagi becanda aja."

"Hm, yadudah kalo gitu Ibu tinggal ke belakang dulu ya mau buat kue untuk sajian ibu-ibu arisan besok." Lanjut Ibunda Almira masih dengan logat Jawa kentalnya.

Ibunda Almira tersenyum memperhatikan mereka berdua. Ia tahu bahwa Erik mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar sahabat pada putrinya, hanya saja, putrinya belum menyadarinya.

20 menit Erik bercerita pada Almira tentang kejadian-kejadian lucu yang dialaminya, Almira akhirnya tertidur. Erik membelai kepala Almira, dan mencium keningnya.

"Gue sayang lo, Al. Sayang banget sama lo sampai gue bingung, gue harus jujur atau tetap pendam semua perasaan ini sama lo."

Setelah berpamitan pada ibunda Almira, Erik pun pamit pulang dengan perasaan yang makin campur aduk.

"Gue harus utarain semuanya besok, harus."

-bersambung-