Saturday, September 3, 2016

Bukan Sajak

Aku punya banyak cara agar selalu merasa dekat denganmu. Memakai baju atau sepatu dengan warna favoritmu, memakai wewangian yang sama persis dengan aroma kemeja kerjamu, mendengarkan beberapa lagu dari band yang sangat kau suka, hingga berbicara sendiri seolah kau ada di sebelahku dan sedang mendengarkan celotehku dengan seksama.

Bahkan seringkali, aku benar-benar merasa kau begitu dekat. Aku merasa, kau selalu ada diantara draft-draft yang tak kunjung kuselesaikan, diantara tengah malam menuju pagi, diantara suapan kwetiau goreng yang mungkin kubeli lebih dari tiga kali seminggu, termasuk, diantara hari-hari yang berhujan belakangan ini. Entahlah, aku hanya merasa, kau tak pernah berada terlalu jauh dariku. Meski, kau tak pernah datang lagi sejak hari itu. Sejak 739 hari, atau, sekitar 2 tahun lebih 8 hari yang lalu.

Dan, mengenangmu nyatanya jauh lebih mudah daripada mencoba melupakan jutaan rasa yang pernah kau beri sejak kita SMA dulu. Rindu, marah, kecewa, sebal, tak acuh, bahagia, hingga tawa konyol yang tak jelas sebabnya, rasanya begitu sulit kusingkirkan dari memori. Sedangkan mengenangmu, cukup dengan memeluk boneka beruang putih pemberianmu saja, rasanya kau sudah hadir dipelukku setiap malam. Bahkan, beberapa ucapan sepele darimu pun masih tak luput dari ingatanku yang justru pelupa pada hal-hal yang berusaha kuingat sedapat mungkin. Seperti...

"Aduh, sakit tau. Nyubit tapi kukunya panjang gitu."

"Iya, besok dipotong kukunya."

Dan besoknya, kukumu benar-benar kau potong, padahal setelah itu kamu tak punya kesempatan untuk mencubit pipiku lagi.

Atau...

"Ri, nonton, yuk. Gue yang bayarin, deh."

Ucapmu beberapa bulan setelah kita putus, di depan kelas, dengan seragam putih abu-abu masing-masing yang agak kebesaran.

Atau...

"Aku suka, deh, kamu pakai baju ini. Cantik."

Padahal, tanaman hias yang 40% daunnya layu yang ada di depan pintu rumahku pun tahu, sedikitpun aku tak pernah lebih cantik dari standar tipe idealmu.

Atau...

"Buka mata kamu. Coba lihat mataku."

Saat kamu memelukku, dulu. Beberapa bulan aku bahkan tak bisa melakukannya karena takut jatuh pada tatapan itu, tatapan yang hingga kini tak bisa kutemui dari sepasang mata manapun yang lain. Meski kamu mengatakan hal itu tiap kali kita punya kesempatan untuk bertemu, hingga beberapa bulan, sampai aku bisa melakukannya.

Dan, begitulah setiap harinya. Mungkin kakiku terlalu lemas untuk melanjutkan perjalanan karena beberapa hal di atas tadi.

.
.
.
.
.

"Kemudian aku baru menyadari bahwa dia masih menjadi bagian hidupku. Selama tiga tahun terakhir, keberadaan kami menjadi kebiasaan bagi satu sama lain. Dan meskipun dia melupakan kebiasaannya saat dia meninggalkanku, aku masih terbiasa dengan keberadaannya. Aku masih menganggapnya sebagai masa kiniku, masa depanku. Dan sebenarnya, sekarang dia masa laluku, dan sudah waktunya aku mulai menerima itu, meskipun rasanya menyakitkan untuk melakukannya."

-Jacqueline Wallace (Easy, Mudahnya Mencintaimu, Karya : Tammara Webber)