Friday, July 7, 2017

Kangen Apa?

Aku kangen. Tapi nggak tahu hal apa yang sekarang lagi aku kangenin dari kamu. Kita udah bareng-bareng lagi, tapi aku nggak ngerti apa yang berubah dari kita dan ngebuat perasaan aku—atau mungkin kamu juga—jadi beda. Mungkin karena kita udah terlalu lama terpisah. Mungkin karena kita udah terlalu lama hidup sendiri-sendiri. Mungkin karena kita udah dewasa. Mungkin karena aku udah jarang denger "Aku sayang kamu." dari kamu. Atau mungkin, karena aku udah capek pacaran dan pengin cepet dihalalin karena udah bosen diucapin selamat pagi cuma lewat chat WhatsApp.

Nggak tahu kenapa, tiba-tiba, aku kangen semua hal sepele yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Sepotong kecil kenangan yang memenuhi lebih dari separuh kapasitas memori otakku. Nyontek buku PR atau jawaban essai kamu, ngeliat kamu keringetan setelah jam pelajaran olahraga berakhir, merhatiin kamu dari jauh waktu kamu melototin monitor di lab. komputer, ngeledek kamu dengan julukan autis, online berjam-jam cuma buat chat di Facebook sama kamu, dipuji kamu karena dapet juara kelas, bahkan sampai kangen kamu yang belum kenal rokok sama sekali.

Aku yang berubah, atau kamu? Aku nggak tahu. Mungkin aja, kita berdua sama-sama berubah tapi nggak menyadarinya. Yang pasti, aku mencoba menjalani waktu yang kupunya bareng kamu sebaik mungkin. Walaupun aku cuma punya sehari atau dua hari dalam sebulan untuk sekedar ketemu dan cerita banyak hal sama kamu secara langsung. Walaupun kadang aku nggak bisa mengontrol emosiku karena hal sepele yang seharusnya nggak aku ributin ke kamu. Walaupun kamu sering nggak peka kenapa kamu nyebelin dan bikin aku jengkel. Walaupun kamu garing, gendut, dan sok ganteng. Hehe.

Tuesday, May 2, 2017

Selamat Datang Kembali

Hei. Selamat datang kembali, Mentariku. Hal yang lebih indah dari senja yang selalu kutunggu tiap sore, yang menarik garis senyumku lebih dalam dari langit cantik yang berwarna merah jambu. Pria yang mampu membuatku tabah dan sabar menunggu meski kau tahu bahwa Cancerian adalah makhluk paling tidak sabaran se-dunia. Pria yang enggan pergi dari pikiranku meski raganya tak pernah ada di sisiku dalam kurun waktu yang sangat lama. Pria yang meski kata-katanya pernah begitu menyakitkan, tapi aku tetap percaya bahwa tak semudah itu seseorang berubah.

Hei, Mentariku. Senang rasanya bisa bersandar di bahumu sambil meraih ujung-ujung rambutmu lagi. Senang rasanya bisa mengulang kembali momen menyenangkan saat kita menertawakan tweet atau meme menjengkelkan di Twitter seperti dulu—Ps: dulu Instagram belum jadi trending seperti sekarang. Senang bisa kembali menghabiskan waktuku bersamamu walaupun ada harga yang harus kubayar untuk itu. Bertahun-tahun merindu sendirian, menangisi kenangan yang tak pernah kau ingat, bahkan cemburu padamu yang sudah bukan milikku, saat itu.

Hei, Mentariku. Dulu, hari demi hari pernah kulalui dengan payah. Berlagak seolah lukaku telah sembuh dengan sendirinya seiring waktu berjalan. Sesekali waktu, saat sepasang earphone-ku mengalunkan lagu Heartache dari ONE OK ROCK atau Still Remembering dari As It Is, di saat itu pula kenangan akanmu mengudara di langit-langit kamar. Satu menit pertama membuatku tersenyum, lalu di menit berikutnya mengundang mendung di pelupuk mata. Kegiatan itu memang agak menyakitkan, sih. Terlebih, saat aku ingat bahwa beberapa waktu lalu kau sedang menyukai seseorang dan memujinya dalam tiap kalimat yang kau post di Twitter-mu. Ya, namanya juga wanita. Ia tahu bahwa mencari tahu yang tidak perlu akan mempersempit rongga dadanya nanti karena sesak, tapi tetap saja melakukannya. Bahkan bisa jadi dua kali lebih sering saat dia merindukannmu.

Hei, Mentariku. Jika kembali bersamamu saat ini sudah bukan lagi menjadi salah satu pintaku dalam doa, akankah tahun-tahun penuh kekosongan yang kulalui tanpamu terbayar dengan kelak selamanya bersamamu? Akankah kau tak pernah lagi mengucapkan hal-hal menyakitkan yang menyayat hatiku saat aku mendengarnya? Akankah kita tak meninggalkan ataupun ditinggalkan lagi?

-Dariku, yang selalu merindukanmu tiap senja dan hujan datang. Cinta pertamamu, yang akhirnya kau sebut sebagai rumah keduamu. Tempatmu merebahkan kepalamu saat lelah. Tempatmu kembali.

Monday, May 1, 2017

Bagaimana?

God knows they worth it.
Mungkin itu yang orang-orang pikir saat kita sepakat untuk kembali memulainya dari awal. Meski memakan waktu yang begitu lama sebelum kamu memutuskan untuk kembali, bahkan hingga sebagian orang mungkin sudah lupa bahwa kamu pernah pergi begitu saja, dengan cara yang menyakitkan.

Aku tidak tahu harus menyebutnya dengan apa. Ragu? Takut? Khawatir? Atau istilah lain semacamnya. Aku hanya... merasa tidak nyaman. Tiap kali kita duduk berhadapan dan tatapanmu bersirobok denganku, lalu matamu seolah bertanya "kamu masih ragu?", aku hanya bisa mengalihkan pandangan agar tidak memikirkannya di saat yang sama. Berusaha tidak merusak suasana.

Hangat genggam tanganmu masih sama. Belaian tanganmu di ujung kepalaku juga masih terasa sama. Bedanya, aku hanya tak bisa memastikan semua itu tulus atau tidak. Aku hanya belum bisa terbiasa lagi dengan hal-hal semacam itu darimu. Tatapanmu yang tak berkedip, kata "aku sayang kamu" atau "tungguin aku, ya.", juga kata-kata lain yang biasa kamu ucapkan dulu. Mungkin, karena hampir 3 tahun ini aku menikmati kesendirianku dan terbiasa karenanya, saat semua itu terjadi kembali, bagiku rasanya sedikit aneh.

Saat kamu akhirnya kembali, aku yakin bahwa kita memang ditakdirkan bersama. Tapi esoknya, keyakinan itu jadi berubah-ubah. Ada hal-hal dari masa lalu kita yang hingga saat ini aku takutkan akan terulang lagi. Kamu yang tiba-tiba berubah jadi monster, kamu yang begitu mengerikan dengan kata-kata yang... entahlah, karena sulit bagiku mendeskripsikan level kekejaman kata-katamu saat memilih meninggalkanku dulu.

Selalu ada tanya yang mengelilingi kepalaku selepas kamu pulang, seperti, "Keputusan gue bener nggak, sih?" atau, "Gue cuma dijadiin bahan taruhan aja kali, ya?" atau, "Udah, tungguin aja. Paling, nggak sampai sebulan dia bakal ninggalin lo lagi." atau, "Kenapa gue segampang itu nerima dia balik, sih? Belum juga berjuang apa-apa dia buat dapetin hati lo lagi." atau, "Ya Allah, bisa nggak skip ke 3 tahun kemudian aja, biar aku bisa tahu, dia bener jodoh aku atau bukan?" atau, "Dia kok gampang banget sih bilang 'aku sayang kamu' kayak gitu? Padahal hampir 3 tahun ninggalin lo dan baru kemarin balik sama lo." atau, "Dia masih suka nyimpen foto-foto cewek kayak dulu nggak, ya?" atau, "Lo bakal sakit hati nggak kira-kira kalo suatu saat nemuin sesuatu di hapenya nanti?" atau bahkan segudang pertanyaan random lainnya yang mungkin menurutmu tak penting dipikirkan.

Jadi... apa yang seharusnya kulakukan sekarang?

Wednesday, April 26, 2017

Life is a Surprise

"Ciyeeeee... yang kemarin jalan. Gimana? Cerita, dong?"

Ini cerita 2 hari yang lalu. Waktu itu masuk pagi. Baru juga nyampe. Udah ditodong pertanyaan yang gimana gitu. He.

Gue nggak tahu apa spesialnya cerita dari seseorang yang balikan sama mantannya. Biasanya kan, malah dibego-begoin. :(

Cuma... gimana, ya? Dibilang seneng, ya seneng. Tapi rasanya aneh. Aneh karena butuh waktu lebih dari dua setengah tahun sampai akhirnya kita bisa bareng-bareng lagi. Dan masing-masing juga bertanya-tanya, takut kalo kita nggak bisa kayak dulu lagi. Sayangnya nggak kayak dulu. Nyamannya nggak kayak dulu.

Ngerasa lucu aja, saat kita duduk bersebelahan dan nyeritain masa-masa disaat kita nggak sama-sama. Setelah putus deket sama siapa aja, gimana kabar orang yang dulu ngancurin hubungan kita, gimana ceritanya dia bisa kepikiran gue lagi, gimana kuliahnya selama gue nggak ada di samping dia, sampai gimana respon cewek-cewek yang suka sama dia nanti setelah tahu kalo kita akhirnya balikan. Kita cerita banyak hal, bahkan mensyukuri waktu-waktu yang kita lewatin saat kita berdua dipisahin.

Jujur, dari dulu emang dalam hati kecil gue percaya kalo suatu saat dia bakal balik lagi. Walaupun nggak tahu kapan. Walaupun nggak bisa mastiin itu bakal bener terjadi. Walaupun nggak bisa dibilang nungguin dia juga sih, karena gue jalanin yang ada aja tanpa berusaha buat nyari pengganti dia. Sampai selalu dibilang totally gagal move on, jones, nggak laku, bahkan ada yang lebih nyakitin ngomong kalo gue cuek kayak gitu terus bakalan jadi perawan tua kayak si anu. Tapi, gue tipe yang nggak terlalu peduli omongan orang, sih. Karena menurut gue, ngejalanin hubungan dengan orang yang bahkan nggak bisa dapet secuil pun tempat di hati lo cuma buang waktu dan sia-sia aja.

Disaat orang-orang di sekitar gue bawel nyuruh cepet-cepet nyari jodoh, gue sih tetep stay cool. Gue percaya kalo jodoh udah ada yang ngatur. Tugas gue ya cuma ikhlas dan percaya. Plus nggak lupa berdoa untuk didekatkan dengan orang yang baik. Dan ternyata emang bener, saat kita nggak pernah berhenti untuk terus percaya sama Allah dan kebaikan-Nya, ada aja kejutan yang Dia kasih. Be like... Kok aneh, ya. Kayak mimpi, deh. Terus nyubit-nyubit pipi dan tangan sendiri saking nggak percaya karena belum lama ini ngerasain hal-hal yang nyakitin. Bahkan, gue sampai sekarang masih ngerasa ini bohongan. Masih berpikir kalo hidup gue besoknya bakal balik lagi kayak semula.

Jadi, buat yang baru putus atau lagi nunggu seseorang, jangan kecil hati, ya. Karena penantian lo belum seberapa. Yang penting ikhlas, percaya kalo apa yang Allah kasih buat lo itu pasti yang terbaik, apapun itu. Minta sama Allah kelapangan hati menerimanya setiap kali lo berdoa, insya Allah rasa sakitnya berkurang. Juga, minta semoga kelak lo diberi jodoh yang baik, dan ridha Allah datang bersama orang yang saat ini lo sayang. Seiring lo memperbaiki diri, insya Allah lo akan bersama dengan orang yang baik pula.

Tuesday, April 18, 2017

Isi Hati Penuh Tanya

Andai mengendalikan diri untuk tidak merindukanmu adalah hal yang mudah. Andai mengalihkan perhatian agar tidak memikirkanmu dapat kulakukan dengan sekedar menonton drama Korea atau mendengar lagu-lagu pop punk favoritku selama beberapa jam ke depan. Andai aku bisa bilang tidak untuk setiap rasa yang selalu ingin singgah. Andai perasaanku bisa berubah dengan mudahnya, sepertimu.

Hei, J. Jujur, ini adalah luapan perasaanku yang tak pernah bisa mengerti spesies Aquarian macam kamu. Hari ini kamu berkata, "Udahlah ri, kita udah ga bisa kaya dulu lagi. Aku yang ngga mau." Semudah itu kamu mengucapnya tanpa berpikir dulu apakah kata-kata itu akan menyakitiku atau tidak. Lalu beberapa bulan kemudian, kamu datang dan bilang rindu padaku seolah kata-katamu yang kemarin hanya jokes receh yang biasa kamu tertawakan dan esoknya kamu lupakan begitu saja. Dan, saat aku berpikir masih ada kesempatan buatmu karena kamu berhak mendapatkannya, di saat yang sama kamu menghilang tanpa satu katapun yang setidaknya memberiku kejelasan.

Sebenarnya, aku hanya ingin tahu. Apa kamu sudah sadar bahwa kata-katamu yang kemarin hanya ungkapan dari perasaan sesaatmu saja? Apa kamu sudah sadar bahwa rindu yang kamu ungkapkan padaku datang hanya karena terbawa suasana dari malam-malam sendu berhujan belakangan ini saja? Apa kamu sudah sadar jika berpisah dariku tak mengubah bagian penting yang ada dalam hidupmu?

Dan juga, apa bermain-main dengan perasaan itu hal yang menyenangkan buatmu? Jadi sebenarnya, yang kamu inginkan itu apa? Yang kamu inginkan untuk ada di sisimu itu siapa? Tolong, jangan singgah di pikiranku jika kamu tidak benar-benar ingin ada di sana. Jangan menghantui aku dengan kata maaf dan sesal jika kamu tak sungguh-sungguh memaknainya.

Sungguh, aku hanya tak pernah bisa mengerti mengapa sejak dulu isi hatimu selalu penuh tanya.

Wednesday, February 22, 2017

Hei, Cinta Pertamaku!

Hei, cinta pertamaku. Senang melihatmu baik-baik saja setelah bertahun-tahun tak bertemu. Senang melihat tubuhmu yang tadinya kurus ringkih berubah tambun. Senang melihat senyum konyol dan selera humormu tak berubah. Dan juga, aku senang melihatmu menjelma jadi pria dewasa yang teguh memegang prinsip.

Saat kamu berkata ada banyak gadis yang dekat denganmu dan menyatakan cintanya padamu secara terang-terangan, jujur aku tak cemburu. Ini pertama kalinya dalam hidupku merasa setenang ini tentang kamu. Percaya atau tidak, bahkan aku tersenyum saat kamu bilang hanya ingin bebas sendiri saja tanpa punya hubungan spesial dengan siapapun. Meski tak bersama denganmu karena kau bilang kita tak bisa seperti dulu lagi, aku percaya kamu masih menyimpan perasaan untukku walau hanya sedikit. Bukan rasa percaya diri yang bilang begitu, tapi naluriku.


Meski kamu enggan mengakuinya, aku tahu kamu masih melakukan beberapa aktivitas yang membuat isi kepalamu penuh dengan aku. Entah stalking blog pribadiku, akun-akun media sosialku, hingga mendengarkan beberapa lagu yang membawamu terbang bersamaku ke masa lalu. Aku mengerti kenapa kamu menekan perasaanmu, menyangkal dan berkelit, tetap tak ingin jujur. Bahkan berusaha terlihat jahat dengan caption-caption yang kau unggah dalam foto liburanmu di Instagram. Hatiku sesak, tapi sesaat kemudian aku tersenyum, menyadari bahwa itu adalah cara yang biasa kau lakukan agar aku cepat membencimu.


Jujur, aku tak pernah punya rencana menyayangimu dalam waktu selama ini. Semua mengalir begitu saja. Ada masa di mana aku sama sekali tak memikirkanmu, entah itu karena sibuk menyukai orang lain dengan mencari tahu banyak hal tentangnya, atau menonton beberapa episode drama Korea yang menumpuk dalam folder Kdrama di flashdisk-ku sekaligus. Ada pula masa di mana perasaan itu melekat, seolah tak mau hilang seperti hari pertama aku menyukaimu. Sekali lagi kukatakan, semua berjalan begitu saja. Sungguh. Tanpa kurencanakan.


Tanpa kau bicara, aku tahu bahwa kau hanya ingin fokus menuju pencapaian terbaik dalam hidupmu tanpa memikirkan hal lain di luar itu termasuk cinta. Dan aku, menghargainya. Aku yakin, dalam hatimu kau masih percaya konsep takdir, begitu pula denganku. Jika pada akhirnya kamu tak kembali, it's nothing to lose, karena aku sudah menyerahkan semuanya pada Allah atas apa yang Ia kehendaki. Aku percaya, hal terbaik sudah Allah rencanakan untuk kita. Mungkin saja, kebersamaan kita bukanlah hal yang baik bagi satu sama lain menurut-Nya. Tapi, jika suatu saat kita ditakdirkan bertemu kembali karena rasa yang masih kita simpan rapat-rapat dalam doa, itu artinya, penantian dan waktu yang kita lalui secara terpisah adalah jalan menuju kebersamaan yang mungkin akan lebih kita hargai nantinya.


Jadi saat ini, membantumu fokus meraih impianmu secara diam-diam mungkin adalah yang terbaik. Karena bagiku, menyayangimu masih bisa kuteruskan dengan doa agar kau meraih segala yang kau impikan dalam hidupmu. Dan juga, dengan meneruskan hidupku dengan baik, tanpa banyak berekspektasi bagaimana hubungan kita di masa depan.

Saturday, February 11, 2017

Cerita Malam Berhujan

Hei.... Um, bulan? Bintang? Malam ini mendung, jadi kusapa angin saja, ya? Kusapa kalian lain kali. Hei, angin. Sebenarnya bukan kamu yang ingin kusapa. Tapi, berhubung bulan dan bintang tertutup awan serta hujan, jadi kusapa kamu saja, ya. He. He. He.

Hei, angin. Malam ini terasa sendu kelabu buatku. Pekat, buram, dan setidak-karuan perasaanku. Aku ingin menangis, tapi urung karena Bapak dan Mama masih terjaga. Sibuk sendiri-sendiri. Bapak dengan tontonan D'Academy show-nya dan Mama dengan ponselnya.

Hei, angin. Malam ini hatiku sesak. Tapi tetap tak hilang sesak itu meski aku sudah mencoba jujur. Jujur akan perasaan yang tak pernah bisa kuhapus. Berusaha agar tidak mengklaim diri sendiri sebagai pengecut karena tak mau sedikit berusaha meraih kembali bahagianya. Berusaha jujur, setidaknya pada diri sendiri. Meski aku sudah tahu jawaban yang kuterima akan tetap sama menyesakkannya.

Alih-alih mengeluarkan semua isi hati, perasaanku justru makin dipenuhi tanda tanya karena sulit menebak isi hati pria sepertinya. Aku tak tahu, apa ini hanya perasaanku saja atau petunjuk dari Tuhan agar aku bersabar, sedikit lagi. Aku hanya bingung, kenapa kata "aku kangen kamu juga." harus berbelit menjadi tumpukan kalimat lain yang tak bisa kumengerti. Kenapa kata "udahlah, kita nggak bisa kayak dulu lagi." tak punya alasan. Kenapa kata "kenapa" yang kutanyakan padanya tak bisa ia kembalikan dengan jawaban yang bisa nalarku terima. Maksudku, tak ada jawaban yang melegakan meskipun itu pahit.

Typing....

Hanya itu yang tertera di bawah namanya, berselang lama, seperti memikirkan jawaban yang tepat selang lima hingga tujuh menit (sepertinya, karena kurasa terlalu lama melihat balasannya yang hampir tak bisa disebut satu kalimat), tapi yang kuterima hanya dua baris pesan yang tak melegakan. Siklus last seen at, online, last seen at, lalu online kembali tanpa membalas pesanku terkesan seperti, ia tak ingin terkesan menunggu-nunggu kalimat apa yang selanjutnya kukirimkan, olehku.

Mungkin, kemarin dulu ia kelepasan karena tak dapat menahan antusiasnya saat berbalas pesan denganku. Yang tanpa sadar membuat wujud dirinya yang sebenarnya terlihat, yang tanpa sadar menguap, mengikis es rindu di hatinya. Dan ketika ia menyadarinya, seketika itu pula ia menjauhiku. Seolah perasaan itu salah. Seolah, rindunya padaku salah. Seolah, rindu dan bahagia yang tertahan diujung lidah tak perlu disampaikan hanya karena egonya yang tak ingin kembali.

"Jodoh nggak lari ke mana, ri." begitu sahabatku berujar saat sesi curhat malam ini penuh dengan cerita tentang si pria tadi. Aku tahu hal itu, bahkan selalu kucamkan dalam pikiranku hingga hari itu datang. Kulakukan tanpa mengganggunya sama sekali. Hanya ucapan ulang tahun dengan gambar yang kubuat sendiri setiap tahunnya. Tanpa berpikir akan direspon dengan baik olehnya. Tanpa berpikir karyaku yang kuukir berulang kali hingga jemariku keram akan diakuinya. Tak satupun berubah dariku. Tapi tahun ini ia menyambutnya dengan baik. Dan apakah itu jadi kesalahanku karena menganggap itu sebagai kesempatan yang Tuhan beri? Yang Tuhan beri, ya. Bukan yang ia beri. Karena aku menganggap hati pria itu tergerak karena-Nya. Kuasa-Nya.

Dan, kebiasaannya adalah membuatku berhenti dengan kata-katanya yang sedikit menyakitkan, setidaknya menurutku.

Meski ia berkata genggam tangannya saat kami bertemu hanya untuk membuatku senang, dan membuat kami setidaknya tak berakhir menjadi dua orang asing. Padahal ada banyak hal yang bisa ia lakukan untuk membuatku senang hari itu, bertukar jokes receh seperti biasanya, misalnya. Meski satu waktu kala musik mengalun di earphone-nya muncul sekelebat bayangku di benaknya selalu ia artikan dengan "biasa aja". Meski entah ada angin apa tiba-tiba ada voice call masuk darinya. Meski entah untuk apa semua pemberianku dan benda-benda yang kutinggalkan masih disimpannya di satu kotak dengan rapi bak cerita di novel-novel. Meski setiap aktivitas stalking-nya bahkan hingga postingku bertahun-tahun sebelumnya ia anggap bukan rindu. Padahal, meskipun ia jujur tapi tetap butuh ruang sendiri untuk dirinya, aku tak akan memaksa. Karena yang ingin kutahu hanya perasaannya, bukan  mematenkan status dan mengikatnya dengan hubungan seperti yang ia katakan.

Aku sudah dewasa. Maka harusnya hatiku bisa lebih lapang daripada tahun-tahun sebelumnya saat menerima atau mendengar sesuatu yang tidak membuatku bahagia. Aku sudah dewasa. Maka aku harusnya bisa menghargai orang lain atas apa yang ia pilih. Setidaknya, aku tak diam saja menanti takdirku ditentukan. Meski beberapa hal yang kita perjuangkan tak melulu hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, satu usaha akan menentukan tingkat kesungguhan kita.

Aku mengerti, ia hanya tak ingin mengacaukan rencana hidupnya yang sudah ia susun dengan rapi. Itu bukan pujian, tapi sungguh alasannya untuk tetap sendiri dapat kuterima dan kuhargai. Meski aku masih percaya bahwa perasaannya masih ada untukku walaupun sedikit, aku memilih mempercayainya. Aku memilih percaya "biasa aja." yang selalu ia ucapkan. Aku memilih percaya kata tidak yang selalu jadi perisainya dari rindu yang ditumpuknya setiap hari.

Aku memilih memercayainya karena aku tahu ia adalah pria yang baik. Dia berkata bahwa aku berhak untuk bertemu yang lebih baik darinya. Jauh lebih baik darinya. Mungkin ia hanya tak tahu, bahwa aku bahkan tak pernah punya rencana untuk tetap menyayanginya hingga selama ini. Dan mungkin ia lupa, bahwa Tuhan lebih punya kuasa atas hatinya, begitu juga atas hatiku.

"Bagaimana bisa kita tahu bahwa seseorang adalah orag yang baik atau tidak kalau bukan dengan memercayainya?"

-Surga Yang Tak Dirindukan

Tuesday, February 7, 2017

Undescribeable Feelings

Hei, kamu. Iya, kamu. Tak terasa, ya, hampir dua setengah tahun lamanya kamu menghilang dari hari-hariku yang kadang terasa berat dan notification bar ponselku. Kebersamaan kita yang biasanya jadi mood booster saat suasana hatiku sedang tidak begitu baik, tak pernah ada gantinya. Bahkan di sela tawaku dan teman-teman saat kami membahas jokes receh yang kami lihat di Instagram, saat mataku pejam bersamaan dengan tawa kami yang menggema, kau selalu hadir meski hanya sekelebat di benakku.

Jika bisa, ingin rasanya aku menghindar dari semua ingatan itu. Ingatan yang selalu membuatku memeluk boneka beruangku erat-erat. Ingatan yang selalu membuatku ingin mengulanginya kembali bersamamu. Ingatan yang selalu membuatku merindukanmu sendirian. Ingatan yang selalu membuat hatiku nyeri karena tahu kamu telah melupakannya.

Andai merindukanmu semudah dulu, mungkin hari ini kita sedang berbincang hangat mengenai apa saja yang kita alami hari ini, diselingi dengan berbalas cubit di hidung atau pipi dan usapan lembut di kepala. Andai merindukanmu semudah dulu, mungkin hari ini kita sedang berencana mencocokkan jadwal satu sama lain agar bisa pergi jalan-jalan bersama seharian.

Benar katamu. Percuma, memang. Tak ada gunanya aku menyesal dan berharap semua kenangan itu beserta kamu kembali. Mungkin aku sudah terlambat, atau bahkan, malah tak punya kesempatan sama sekali? Entahlah. Intinya, aku tahu bahwa aku takkan bisa merebut perhatianmu darinya.

Setiap malam, aku hanya bisa bertanya-tanya dengan siapa kau berbalas chat mesra. Topik apa saja yang kalian bahas, apa saja yang kalian tertawakan, hingga ada atau tidaknya ucapan "Selamat malam, selamat tidur..." darimu, lengkap dengan nama lengkap si dia di akhir sesi berbalas pesan kalian.

Aku sedih. Aku kecewa. Aku cemburu. Aku iri dengan si dia yang dapat melihat tawamu sebanyak apapun yang ia mau, atau bahkan, merasakan genggam tanganmu yang hangat di setiap momen yang mendukung. Aku ingin menjadi si dia yang punya banyak kesempatan menghabiskan waktu bersamamu. Menemanimu selama satu hari penuh ke tempat-tempat indah yang dulu belum sempat kita kunjungi bersama.

Memang, seharusnya aku tahu diri karena kau tak pernah terlihat antusias saat aku mencoba berbasa-basi menyapamu. Tapi apa daya? Si bodoh ini nyatanya tak sanggup menimbun rindu sendirian terlalu banyak seperti yang sudah-sudah, hingga pasti kau akan berkata seperti ini dalam hati : "Siapa suruh, udah dua setengah tahun masih belum move on juga! Itu sih, derita lo. Bye." diiringi seringai setelahnya.

Wednesday, January 25, 2017

Once A Year Happiness

Hei, pink sky. Lama tak bertemu. Parasmu sore ini membuatku bahagia, sama seperti sikapnya padaku yang tiba-tiba berubah. Aku tak tahu apa yang salah dengannya, tapi jujur, ini pertama kalinya setelah beberapa tahun berlalu sejak kepergiannya, aku akhirnya merasa bahagia (luar biasa) kembali.

Sikapnya yang tiba-tiba berubah hangat terasa aneh buatku. Aku bahagia hingga tak dapat menutupi hatiku yang rasanya ingin melompat kegirangan dengan kata-kata ketus yang biasa kuucapkan padanya. Aku terlalu bahagia hingga lupa bahwa sudah lebih dari 2 tahun berlalu dan hatinya telah berubah.

Aku masih ingat, betapa dulu aku menunggu-nunggu momen itu—hari ulang tahunnya—datang agar aku dapat mengirimkan beberapa baris kalimat berisi harapan yang terbaik untuknya dariku. Aku masih ingat, betapa antusiasnya aku menantikan momen itu datang hanya karena ingin tahu keadaannya. Aku masih ingat, jawaban singkatnya pernah membuatku enggan membalas pesannya, terlanjur kecewa dan sempat menyesal telah mengirimkan ucapan selamat ulang tahun dengan gambar yang kuulang berkali-kali hanya agar tak terlihat memalukan. Aku sungguh masih ingat bagaimana hal itu mencabik hatiku dan membuatku menangisinya lagi.

Tapi tahun ini, sikapnya membuatku terkejut. Mulai dari unggahan doodling yang kubuat untuknya di Instagram story-nya, update status di salah satu akun messenger-nya yang menyatakan bahwa ia senang melihat namaku muncul di notification bar ponselnya meski hanya setahun sekali, hingga kata "Kamu apa kabar?" darinya, membuatku melupakan semua sakit dan ketakutanku akan sikapnya setelah meninggalkanku, dan tahun lalu saat aku memberinya ucapan selamat ulang tahun dengan cara yang sama.

Ya. Dua hari yang lalu dan semalam, aku begitu bahagia. Aku memang seharusnya tak sebahagia ini karena mungkin dia hanya kasihan melihatku memendam rindu sendirian. Tapi aku yakin, dia tahu jika aku merindukannya. Setidaknya firasatku berkata demikian meski tak yakin kebiasaan stalking-nya masih seperti dulu atau tidak.

Jika bisa, ingin rasanya kuhentikan waktu agar momen itu bisa berlangsung lebih lama dan tak berlalu meski yang bisa kulakukan hanya berbalas pesan singkat dengannya. Tapi aku tak punya kuasa untuk melakukannya, hingga akhirnya kecewa karena momen itu berlalu dan menghilang begitu saja seperti mimpi.

Meski begitu, Tuhan nyatanya memang Maha Mendengar. Siapa sangka keesokan hari aku bisa mendengar suaranya? Padahal aku hanya menanyakan sebuah buku padanya yang kebetulan bekerja di sebuah toko buku besar. Siapa sangka dia lagi-lagi banyak bertanya hingga akhirnya memutuskan mendengar suaraku walau niat di hatinya mungkin hanya sekedar meledek.

Entah bagaimana aku harus bersyukur hingga aku menangis tak percaya. Sungguh tak percaya bahwa dia benar melakukannya. Meski ini hanya terjadi satu kali dalam hidupku, aku sungguh, sungguh bahagia. Meski tak ada sesal dan sirat rindu di dalam suaranya, sungguh, aku bahagia mengetahui hidupnya berjalan dengan baik. Aku bahagia melihat tubuhnya yang ringkih berubah tambun. Aku bahagia mengetahui dia telah mengunjungi banyak tempat-tempat indah yang belum pernah kukunjungi. Aku juga bahagia mengetahui kuliahnya akan selesai sebentar lagi, dan keinginan yang dulu pernah ia sampaikan padaku untuk jadi seorang sarjana akan segera tercapai. Sehingga satu langkah lebih dekat baginya memiliki apa yang dia inginkan, termasuk seseorang yang sedang ia rencanakan untuk dihalalkan.

Monday, January 23, 2017

Buat Kamu Yang Di Sana (2)

Dilihat dari segi judul, mungkin nggak asing buatmu karena tulisan dengan judul yang sama pernah kau unggah di tahun 2013 untukku yang saat itu berulang tahun. Di awal tahun 2017, tanggal 23 dan ulang tahun yang ke-23, semoga tahun ini membawa banyak keberuntungan buatmu.

Buat kamu yang di sana, hai, apa kabar?
Buat kamu yang di sana, semoga kamu selalu sehat bahkan hingga tulisan ini ku-publish.
Buat kamu yang di sana, selamat ulang tahun, ya! Semoga kamu senantiasa dilindungi Allah swt. kemanapun kakimu hendak melangkah. Semoga setiap hari dalam hidupmu bahagia, dan dikelilingi orang-orang yang dapat membahagiakanmu sesederhana apapun cara mereka melakukannya. Semoga setiap urusanmu dimudahkan, termasuk kuliahmu yang mudah-mudahan selesai setahun lagi.

Kita mungkin berakhir dengan keadaan yang hampir seakan-akan nggak saling mengenal. Tanda kalau kita pernah jadi teman sekelas waktu SMA mungkin hanya saling double tap di beberapa foto yang pernah kita unggah di akun Instagram masing-masing. Meskipun berteman di semua media sosial termasuk beberapa akun messenger yang kita punya, kita nggak pernah sekalipun saling sapa kecuali saat Idul Fitri atau salah satu di antara kita berulang tahun, dengan basa-basi-busuk yang kita sebut doa dan harapan untuk pihak yang saat itu berulang tahun. Setelah selesai, esoknya kita akan kembali jadi dua orang asing yang sama sekali nggak saling kenal.

Benar seperti apa yang kamu katakan dulu bahwa kita pernah sedekat Patrick dan Sponge Bob yang bahagia tanpa menyadari betapa bodohnya mereka. Tapi sekarang, kita berakhir kaku seperti kanebo kering. Bahkan saat kita punya kesempatan bertemu pun, nggak ada hal yang dapat kita jadikan bahan obrolan. Yang dapat membuat kita tertawa terbahak-bahak seperti dulu. Yang dapat membuat waktu berjam-jam terasa satu menit. Yang dapat membuat lelah kita sepulang bekerja hilang hanya dengan bertukar cerita seputar kegiatan kerja masing-masing hari itu.

Tapi, meskipun hanya sekali dalam setahun, memiliki kesempatan bertukar cerita denganmu tetap jadi hal yang menyenangkan buatku. Meskipun hanya aku yang tersenyum sendiri saat melihat balasan pesanmu, melihat gaya tulisan dan selera humormu yang tak pernah berubah, hal-hal yang kau tanyakan, hingga beberapa kebiasaanku yang masih kau ingat, selalu jadi hal menyenangkan buatku. Obrolan kita yang seakan antara orang yang belasan tahun nggak bertemu, meski aneh, kuakui hal itu adalah momen berharga buatku karena nggak setiap hari aku mengalaminya.

Di hari ulang tahunmu yang ke-23, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas banyak pelajaran berharga yang pernah kamu berikan, terutama tentang menerima seseorang apa adanya dan sabar. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang begitu sabar menghadapiku. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang rela mengantar kwetiau goreng kesukaanku tengah malam. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang memberiku dua batang chunky bar di tanggal 10 Januari. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang selalu ingat apa saja hal-hal yang kusukai dan tidak. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang nggak pelit memberiku contekan PR Matematika walau aku berulang kali bertanya akibat tulisanmu yang berantakan dan susah dibaca. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang mau menerima aku apa adanya meski tahu jika aku keras kepala. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang mengisi hidupku dengan banyak kebahagiaan yang nggak bisa kuukur dengan materi. Terima kasih karena kamu pernah jadi seseorang yang membuatku begitu bahagia setiap harinya.

Sekali lagi, selamat ulang tahun yang ke-23, ya! Jangan jadi tua dan menyebalkan. Jadilah yang terbaik, selama engkau hidup! 💙💚💛💜

Monday, January 9, 2017

Sekelebat Tentangmu

Aku sering tersenyum sendiri saat tiba-tiba segala hal tentangmu yang dulu melintas. Ya, begitu saja kau hadir di memoriku. Sekelebat lewat saat aku sedang melamun, saat aku bosan dan bingung hendak melakukan apa di sela-sela jam kerjaku yang terasa begitu panjang menuju pulang. Saat aku duduk sambil bertopang dagu di antara lalu-lalang pengunjung mall yang kulihat, di sana kau ada. Tubuhmu yang tak setinggi sekarang, senyummu yang kikuk namun hangat, wajahmu yang penuh jerawat, alismu yang setebal ulat bulu, ekspresimu saat dipukul guru Bahasa Inggris kita, bicaramu yang agak terlalu cepat, cara berjalanmu yang... Bagaimana aku mendeskripsikannya, ya? Ah, entahlah. Karena sebenarnya itu bukan hal utama yang ingin kutulis.

Biasanya kau hadir di antara langit sore yang berwarna merah jambu, langit cantik yang biasa kusebut pink sky. Di antara matahari yang berubah oranye, yang perlahan tenggelam menuju barat. Di antara gaduhnya tabuh drum dan dentum bass yang mengalun melalui sepasang earphoneku, yang sebagian kecilnya ada lagu dari band favoritmu juga. Di antara angin yang bertiup kencang saat hujan. Di antara bising yang berasal dari atap rumahku yang dihujam rintik massal. Di antara ruang waktu yang tak kusadari sudah berjalan ratusan hari. Entah ini keberapa kalinya aku merindukanmu setelah ribuan kali menyangkal dan berkata akan mengakhirinya. Tapi, bukankah rindu berhak datang kapan saja? Selama aku tak mengusik hidupmu yang bahagia dan berjalan begitu baik selepas kita tak bersama lagi, hal itu tak jadi masalah, kan?

Anggaplah kali ini kau duduk bersila di hadapanku, dengan wajah lelah selepas harimu yang panjang karena kuliah pagi buta dan bekerja setelahnya. Anggaplah kali ini aku hendak berceloteh panjang lebar dan kau bersedia mendengarnya meski entah kau benar-benar mencernanya atau tidak, karena saat mendengarku bercerita, jarimu biasanya tak berhenti bergulir meretweet post dari akun-akun selebtweet yang kau follow. Anggaplah kali ini kau berada di sisiku. Anggaplah kali ini kita masih bersama.

Aku sudah biasa terlelap tanpa Bo di sisiku. Aku tak menyadari kapan aku bisa benar-benar tertidur tanpa memeluknya. Mungkin, karena akhir-akhir ini aku terlalu asik menonton tiap episode drama Korea favoritku hingga ketiduran, memaksa terus menontonnya meski mataku sudah lelah dan masih tak menyerah hingga pukul 3 pagi datang. Padahal, saat aku merindukanmu, aku biasa mencarinya untuk kupeluk. Yang kemudian kuajak bicara tentang hal-hal darimu yang tak pernah ingin kuhapus, meski itu hanya berbisik.

Aku juga sudah biasa merasa kosong. Begitu saja hidupku berjalan tanpa ada hal yang dapat membuatku antusias. Jika ada hal yang bisa mengalihkan perhatianku dari sesuatu yang pada akhirnya membawa memoriku terbang ke masa lalu, mungkin hanya Gong Yoo, Kim Young Kwang, Kim Woo Bin, Ji Chang Wook, Song Joong Ki, dan mereka yang lain, yang membuat wajahku berseri-seri tiap kali melihatnya. Sisanya, setelah satu episode berakhir dan aku tak punya stok episode selanjutnya untuk ditonton, duniaku akan kembali seperti semula.