Saturday, February 11, 2017

Cerita Malam Berhujan

Hei.... Um, bulan? Bintang? Malam ini mendung, jadi kusapa angin saja, ya? Kusapa kalian lain kali. Hei, angin. Sebenarnya bukan kamu yang ingin kusapa. Tapi, berhubung bulan dan bintang tertutup awan serta hujan, jadi kusapa kamu saja, ya. He. He. He.

Hei, angin. Malam ini terasa sendu kelabu buatku. Pekat, buram, dan setidak-karuan perasaanku. Aku ingin menangis, tapi urung karena Bapak dan Mama masih terjaga. Sibuk sendiri-sendiri. Bapak dengan tontonan D'Academy show-nya dan Mama dengan ponselnya.

Hei, angin. Malam ini hatiku sesak. Tapi tetap tak hilang sesak itu meski aku sudah mencoba jujur. Jujur akan perasaan yang tak pernah bisa kuhapus. Berusaha agar tidak mengklaim diri sendiri sebagai pengecut karena tak mau sedikit berusaha meraih kembali bahagianya. Berusaha jujur, setidaknya pada diri sendiri. Meski aku sudah tahu jawaban yang kuterima akan tetap sama menyesakkannya.

Alih-alih mengeluarkan semua isi hati, perasaanku justru makin dipenuhi tanda tanya karena sulit menebak isi hati pria sepertinya. Aku tak tahu, apa ini hanya perasaanku saja atau petunjuk dari Tuhan agar aku bersabar, sedikit lagi. Aku hanya bingung, kenapa kata "aku kangen kamu juga." harus berbelit menjadi tumpukan kalimat lain yang tak bisa kumengerti. Kenapa kata "udahlah, kita nggak bisa kayak dulu lagi." tak punya alasan. Kenapa kata "kenapa" yang kutanyakan padanya tak bisa ia kembalikan dengan jawaban yang bisa nalarku terima. Maksudku, tak ada jawaban yang melegakan meskipun itu pahit.

Typing....

Hanya itu yang tertera di bawah namanya, berselang lama, seperti memikirkan jawaban yang tepat selang lima hingga tujuh menit (sepertinya, karena kurasa terlalu lama melihat balasannya yang hampir tak bisa disebut satu kalimat), tapi yang kuterima hanya dua baris pesan yang tak melegakan. Siklus last seen at, online, last seen at, lalu online kembali tanpa membalas pesanku terkesan seperti, ia tak ingin terkesan menunggu-nunggu kalimat apa yang selanjutnya kukirimkan, olehku.

Mungkin, kemarin dulu ia kelepasan karena tak dapat menahan antusiasnya saat berbalas pesan denganku. Yang tanpa sadar membuat wujud dirinya yang sebenarnya terlihat, yang tanpa sadar menguap, mengikis es rindu di hatinya. Dan ketika ia menyadarinya, seketika itu pula ia menjauhiku. Seolah perasaan itu salah. Seolah, rindunya padaku salah. Seolah, rindu dan bahagia yang tertahan diujung lidah tak perlu disampaikan hanya karena egonya yang tak ingin kembali.

"Jodoh nggak lari ke mana, ri." begitu sahabatku berujar saat sesi curhat malam ini penuh dengan cerita tentang si pria tadi. Aku tahu hal itu, bahkan selalu kucamkan dalam pikiranku hingga hari itu datang. Kulakukan tanpa mengganggunya sama sekali. Hanya ucapan ulang tahun dengan gambar yang kubuat sendiri setiap tahunnya. Tanpa berpikir akan direspon dengan baik olehnya. Tanpa berpikir karyaku yang kuukir berulang kali hingga jemariku keram akan diakuinya. Tak satupun berubah dariku. Tapi tahun ini ia menyambutnya dengan baik. Dan apakah itu jadi kesalahanku karena menganggap itu sebagai kesempatan yang Tuhan beri? Yang Tuhan beri, ya. Bukan yang ia beri. Karena aku menganggap hati pria itu tergerak karena-Nya. Kuasa-Nya.

Dan, kebiasaannya adalah membuatku berhenti dengan kata-katanya yang sedikit menyakitkan, setidaknya menurutku.

Meski ia berkata genggam tangannya saat kami bertemu hanya untuk membuatku senang, dan membuat kami setidaknya tak berakhir menjadi dua orang asing. Padahal ada banyak hal yang bisa ia lakukan untuk membuatku senang hari itu, bertukar jokes receh seperti biasanya, misalnya. Meski satu waktu kala musik mengalun di earphone-nya muncul sekelebat bayangku di benaknya selalu ia artikan dengan "biasa aja". Meski entah ada angin apa tiba-tiba ada voice call masuk darinya. Meski entah untuk apa semua pemberianku dan benda-benda yang kutinggalkan masih disimpannya di satu kotak dengan rapi bak cerita di novel-novel. Meski setiap aktivitas stalking-nya bahkan hingga postingku bertahun-tahun sebelumnya ia anggap bukan rindu. Padahal, meskipun ia jujur tapi tetap butuh ruang sendiri untuk dirinya, aku tak akan memaksa. Karena yang ingin kutahu hanya perasaannya, bukan  mematenkan status dan mengikatnya dengan hubungan seperti yang ia katakan.

Aku sudah dewasa. Maka harusnya hatiku bisa lebih lapang daripada tahun-tahun sebelumnya saat menerima atau mendengar sesuatu yang tidak membuatku bahagia. Aku sudah dewasa. Maka aku harusnya bisa menghargai orang lain atas apa yang ia pilih. Setidaknya, aku tak diam saja menanti takdirku ditentukan. Meski beberapa hal yang kita perjuangkan tak melulu hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, satu usaha akan menentukan tingkat kesungguhan kita.

Aku mengerti, ia hanya tak ingin mengacaukan rencana hidupnya yang sudah ia susun dengan rapi. Itu bukan pujian, tapi sungguh alasannya untuk tetap sendiri dapat kuterima dan kuhargai. Meski aku masih percaya bahwa perasaannya masih ada untukku walaupun sedikit, aku memilih mempercayainya. Aku memilih percaya "biasa aja." yang selalu ia ucapkan. Aku memilih percaya kata tidak yang selalu jadi perisainya dari rindu yang ditumpuknya setiap hari.

Aku memilih memercayainya karena aku tahu ia adalah pria yang baik. Dia berkata bahwa aku berhak untuk bertemu yang lebih baik darinya. Jauh lebih baik darinya. Mungkin ia hanya tak tahu, bahwa aku bahkan tak pernah punya rencana untuk tetap menyayanginya hingga selama ini. Dan mungkin ia lupa, bahwa Tuhan lebih punya kuasa atas hatinya, begitu juga atas hatiku.

"Bagaimana bisa kita tahu bahwa seseorang adalah orag yang baik atau tidak kalau bukan dengan memercayainya?"

-Surga Yang Tak Dirindukan

No comments:

Post a Comment