Monday, November 28, 2016

Bapak

Kalau ada hal yang paling berharga buatku, bahkan tak bisa dibeli dengan uang dan ditukar dengan apapun, itu adalah Bapak dan kasih sayangnya.

Usia Bapak sudah lebih dari setengah abad. Bagi orang yang baru saja bertemu dengannya, mungkin mereka dapat menebak kisaran usianya dengan tepat jika melihat warna putih keabuan yang mendominasi rambut yang kian hari kian menipis di kepalanya. Bapak adalah orang yang keras kepala, agak tempramen, dan kata-katanya sedikit kasar saat marah. Kulitnya sawo matang—jauh lebih gelap dariku—hangus terbakar matahari akibat aktivitasnya mengendarai motor di siang hari yang terik sebagai tukang ojek.

Bapak bukan orang yang mengekspresikan kasih sayangnya dengan kata-kata. Tapi buatku, Bapak yang tiba-tiba menyikut lenganku sambil menjulurkan semangkuk indomie rebus, atau nasi goreng, atau apapun yang bisa ia buat di dapur untukku sepulangku bekerja lebih romantis dari pria yang pernah memberiku setangkai mawar merah lengkap dengan sekotak es krim vanilla dan novel incaran yang belum sempat kubeli karena sibuk. Buatku, kerelaannya menerobos derasnya hujan untuk menjemputku tanpa jas hujan—kami hanya punya satu jas hujan—karena mengutamakanku yang memakainya lebih tulus dari pria yang rela membawakan kwetiau goreng kesukaanku jauh-jauh dari tempat kerjanya ke rumahku tengah malam. Buatku, Bapak yang rela menahan kantuk karena aku memintanya menungguku pulang dan membukakan pintu akibat pulang larut malam, lebih setia dari pria yang menungguku bertahun-tahun agar mau membuka hati padanya.

Cause every daughter will always be her daddy's little girl berapapun usia mereka. Bahkan sampai sekarang, aku masih jadi orang yang sangat bergantung pada Bapak. Aku masih—bahkan selalu—diantar-jemput kemanapun olehnya. Dan karena aku adalah seorang pelupa sejak masih sekolah, Bapak adalah satu-satunya orang yang rela mengantarkan benda-benda penting yang tak sengaja tertinggal di rumah, seperti buku-buku pelajaran yang kebetulan gurunya killer, seragam olahraga, atau bahkan sekarang, seragam kerja, meski Bapak selalu mengomel tiap kali aku menelepon dan meminta Bapak mengantarnya.

Mengingat usiaku yang sudah menginjak 23 tahun, mungkin cuma Bapak yang mengomel jika aku tak pulang tepat waktu karena mampir sana-sini dengan teman-teman sepulang kerja. Dan mungkin cuma Bapak yang mengomel jika aku hendak bertemu teman lama di hari libur kerja dengan alasan aku tak pernah kelihatan betah di rumah untuk cukup beristirahat.

Oh, iya. Aku masih ingat, dulu sekali, Bapak pernah menangis karena sepasang sandal yang kubeli untuknya. Waktu itu, aku membelinya dengan uang yang diberikan kepala counterku di tempat prakerin dengan sukarela karena di sana tak ada gaji untuk karyawan prakerin dari sekolah. Entah dua puluh atau tiga puluh ribu rupiah, aku tak ingat pasti. Tapi saat itu, yang kuingat aku hanya ingin memberikan sesuatu untuk Bapak meski harus meminta diskon ekstra pada si ibu kepala counter. Hih, memang dasar si seram dengan hati seimut Hello Kitty, batinku, saat aku mengingat Bapak tentang hal itu kembali.

Bapak memang tak sedetail Mama saat menanyakan beberapa hal tentang kehidupanku di luar rumah. Apa yang terjadi hari ini, dengan siapa aku dekat belakangan ini, mengapa aku terlihat diam saja seharian, atau hal-hal kecil lainnya yang semacam itu. Pertanyaan Bapak setiap harinya akan selalu sama; hanya seputar "sudah makan atau belum?", "hari ini masuk apa?", atau, "nanti mau berangkat jam berapa?".

Dan, begitulah Bapak. Masih banyak cerita menyenangkan dari seorang ayah sepertinya yang sulit kuingat dengan baik. Aku hanya berharap, bisa hidup bersama Bapak selama mungkin. Berharap Bapak berada di sisiku saat aku menikah nanti. Berharap, Bapak sempat melihat cucu-cucunya yang lucu lahir dariku; anak perempuan semata wayangnya.