Saturday, February 20, 2016

Firasat

"Hei, sayang... selamat ulang tahun."
Sapa Erik dari belakang punggung Almira, menjulurkan kue tart tiramisu dengan dua buah lilin angka 2 di atasnya lewat tangan kanan. Di tangan kirinya, Erik menggenggam sebuket bunga berisi 22 tangkai mawar putih, varian bunga favorit Almira.

"Ya, Tuhan... Erik..."

Almira yang tengah duduk menyendiri di rooftopnya terkejut, bahkan tak ingat bahwa tepat tengah malam ini hari ulang tahunnya tiba. Tak lama kemudian, Papa dan Mamanya menyusul, mereka muncul dari persembunyian beberapa saat lalu di balik sofa dengan party popper di genggaman dan topi kerucut warna keemasan bertuliskan "HAPPY BIRTHDAY" di kepala mereka masing-masing.

"SELAMAT ULANG TAHUN, NDUK!" Seru kedua orang tuanya kompak, lalu memeluk dan mencium putri semata wayangnya bergantian.

"Makasih, Pa, Ma..." Almira memeluk kedua orang tuanya erat.

"Cepet ditiup lilinnya. Make a wish dulu, ya." Ucap Erik setelah berhasil menarik kursi dengan sebelah kakinya dan duduk di hadapan Almira yang menatapnya penuh haru.

Almira memejamkan matanya seraya berbisik dalam hati.

Ya Tuhan, tiada yang tak mungkin jika ridhaMu menyertai tiap harapan yang kuucap dalam doa. Maafkan aku jika ini terkesan tak pantas karena sesungguhnya semua ini lebih manis dari kenangan yang bertahun kusimpan sendiri dan selalu enggan kusingkirkan. Tapi, bolehkah aku bertemu Dito lagi? Bolehkah kutahu, masihkah ada namaku di ruang hatinya? Meski mungkin saat ini gadis lain bisa saja sedang mengisi ruang itu, maafkan aku, karena inilah sesungguhnya yang kuingin. Seandainya Kau tak berkenan, izinkan semua perasaan yang kumiliki untuk Dito, bisa kurasakan pada Erik. Aku tahu, sekeras apapun hatiku ingin, takdirMu adalah yang terbaik. Maka, salahkah aku tetap merayuMu akan apa yang paling kuinginkan dalam hidup?

Almira membuka kedua matanya yang beberapa saat lalu terpejam, lalu lirih mengucap amin. Lilin telah meleleh hampir setengah bagian karena lantunan doa Almira yang cukup panjang begitu lantang terucap dalam hati.

Nyala api di atas lilin padam seiring tiupan yang berhembus penuh harap dari mulut Almira. Gadis itu tersenyum penuh rasa syukur, meski tak dapat memungkiri bahwa dirinya masih merasa tak lengkap.

"Kamu nakal banget, sih! Kemarin katanya belum bisa pulang sampai awal bulan nanti! Dasar, nyebelin!" Almira menarik jambul yang sudah susah payah dibentuk Erik dengan styling wax selama setengah jam lamanya, demi penampilan sempurna di hari spesial gadis yang selama satu minggu ini begitu dirindukannya, kemudian memukul Erik pelan dengan buket bunga hantarannya tadi.

"Hei, jangan buat mukul, dong, nanti buket bunganya rusak. Sepanjang jalan, aku bawanya hati-hati banget, lho, itu." Keluh Erik lalu mencubit gemas hidung bangir Almira. "Cepet potong kuenya! Kita kan laper. Bener kan, Om, Tante?"

Papa Almira membuka topi kerucut yang sejak setengah jam lalu bertengger di kepalanya, menggaruk gatal karena karet tipis yang ada di topi tersebut meninggalkan bekas garis di dagunya yang polos tanpa janggut.

"Mamamu ini ada-ada aja, Al. Masa Papamu yang macho disuruh pakai topi anak kecil begini. Tuh, lihat, dagu Papa langsung gatal."

Mama Almira menepuk bahu suaminya. "Kamu ini! Lah wong belum tentu setahun sekali bisa nyempetin waktu buat ikut kasih kejutan gendukmu satu-satunya, pakek ngeluh!"

Sementara Mama dan Papa Almira berdebat kecil, Almira memotong kue tartnya menjadi beberapa bagian. Satu potong besar dengan whipped cream dan irisan buah ceri lebih banyak, diberikan Almira untuk kedua orang tuanya, sedang potong selanjutnya yang lebih banyak cokelatnya, diberikannya untuk Erik.

"Duh, mentang-mentang nggak suka cokelat, semua-mua yang ada cokelatnya dikasih ke aku." Erik tersenyum maklum.

"Al, Papa sama Mama turun duluan, ya, mau nonton berita malam dulu di ruang tamu." Ucap Papa Almira sambil merangkul bahu istrinya. "Yuk, Rik." Papa Almira kemudian menyapa Erik yang mungkin masih ingin memberikan kejutan manis lain untuk putri semata wayangnya, lalu diikuti anggukan sopan istrinya sebelum berlalu.

Seiring derap langkah kaki kedua orang tua Almira yang menjauh, Erik menarik resleting tas punggungnya. Kelima jarinya merogoh isi tas, mengambil sebuah kotak kecil berwarna navy dengan simpul pita warna putih.

"Semoga kamu suka, ya, Al." Ucap Erik dengan senyum yang selalu terlihat menawan, namun nada suaranya terdengar kecewa.

Almira membuka kotak hadiahnya penuh antusias, lalu menutup mulutnya yang kini membulat karena terpana akan isi kotak tersebut. Sebuah cincin dengan serpihan permata berukuran sangat kecil yang mengelilingi permukaannya, tampak begitu anggun. Erik menggenggam jemari mungil Almira, menyematkan cincin cantik itu di jari manisnya.

"Kalo suatu saat nanti kita nggak sama-sama lagi, kamu harus tetap jaga cincin ini, ya, Al." Erik mendekap jemari Almira erat, seolah tahu, bila suatu saat kebahagiaan ini cepat atau lambat akan pergi.

"Erik! Apaan, sih, kok ngomongnya gitu?! Aku nggak suka, ah."

"Aku sayang kamu, Al. Aku cuma pengin lihat kamu bahagia." Erik mengecup ujung kepala Almira, kemudian menyegerakan pamit untuk pulang karena malam sudah semakin larut.

Thursday, February 18, 2016

Apa Salahnya?

Apa salahnya memilih tetap sendiri? Apa salahnya susah move on? Apa salahnya tak bisa berpaling ke lain hati?

Ketika kamu menyayangi seseorang, ada separuh ruang hati dan memorimu yang terbagi untuknya. Itu sebabnya, mengapa saat semua kebahagiaan dan hubungan itu berakhir, memori yang terekam saat kamu bersamanya tak akan hilang begitu saja, seiring hubungan yang sudah diakhiri tersebut.

Ketika kamu mencoba menyamankan diri dengan kehadiran orang lain, namun hati tak pernah berhenti merindukannya. Ketika kamu mencoba membagi memorimu untuk seseorang yang kamu sebut sebagai penolongmu dari rasa sakit hati, namun hati masih diam-diam berbisik ingin semua kembali seperti dulu.

Berharap, semua bahagia itu kembali. Berharap, suatu saat dia menyadari penantian sabar menahunmu. Berharap, diantara kesibukannya setiap hari, dia masih menyisihkan satu menit dalam waktu panjangnya untuk merindukanmu. Berharap, Allah mendengar bait doa yang kamu ucap untuknya diantara Bismillah dan Aminmu.

Tak ada yang lebih menyiksa dibanding memiliki perasaan untuk seseorang yang sudah jauh melangkah, melesat cepat, dan berubah menjadi monster yang tak kamu kenal. Seseorang yang kamu percaya tak akan pernah menyakitimu bahkan hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seseorang yang kamu percaya dapat menjagamu dari kesedihan yang diciptakan dunia. Seseorang yang kamu percaya tak akan mengkhianati kepercayaanmu. Seseorang yang kamu percaya dapat menghargai perasaan yang sudah susah payah kamu ciptakan untuknya.

Ya. Rasanya kurang lebih seperti itu. Meski bertahun telah lewat, nyatanya aku masih jadi gadis yang cengeng. Tak kuasa menatap tempat-tempat yang mengingatkanku akan memori indah yang tak pernah bisa kuhapus.

Di samping jembatan penyebrangan, di belakang lampu merah Jalan Iskandarsyah II, tempatmu biasa menjemputku sepulang bekerja, melewati menit-menit yang membosankan dengan menatap lalu-lalang kendaraan atau bermain sudoku di handphonemu untuk menungguku. Di depan proyek hotel yang dulu hanya puing, namun kini telah rampung dan jadi hotel berbintang yang megah dan elegan, tempat kita berteduh sementara dari hujan yang turun di malam hari ulang tahunku. Di depan teras rumahku, saat kamu mencoba menggendongku yang tak seberat sekarang. Di depan gerbang saat aku hendak melepasmu pulang, mengelus pundakmu seraya berucap "hati-hati, ya."

Salahkah merindukan semua hal sepele itu meski kamu tak merindukannya sebanyak aku mengingat setiap detilnya? Salahkah mengingat hal yang pernah membuatku bahagia meski mungkin tak sama halnya denganmu? Salahkah jadi gadis susah move on karena terjebak perasaan yang dicobanya susah payah, namun ketika berhasil, dengan mudah kamu membuangnya?

Aku tak bisa berkata cukup pada hati yang lukanya masih basah. Aku mungkin bisa bicara pada nalarku dengan mudah, tapi, kamu tahu bahwa hati tak pernah sejalan dengan nalar, kan? Jika inginmu adalah menghukumku atas apa yang pernah kamu rasakan dulu, kamu berhasil.

Aku tahu, segala yang telah berubah tak dapat diubah seperti dulu lagi. Perasaanmu, sikapmu, kesederhanaanmu yang membuatku belajar cara menyayangimu sedapat mungkin, kebaikan hatimu yang bahkan tak pernah terlintas untuk berpikir ingin menyakitiku. Bertahun tak dapat berpaling dariku. Bertahun memenuhi post di social mediamu dengan ungkapan siratan rindu yang tak berani kau sampaikan. Bertahun membohongi perasaanmu sendiri.

Aku tak akan pernah melupakan, dan tak akan bisa menjelaskan mengapa  hal itu terus saja kulakukan, meski ribuan kali kamu selalu menanyakan alasannya.

Monday, February 15, 2016

Nostalgia

Hari itu, kita berbincang hingga malam. Membicarakan keresahanku perihal persahabatan yang tengah diuji. Kamu menyimaknya dengan seksama, meski hanya lewat pantulan barisan huruf yang membentuk kalimat sedih di layar PC-mu.

Lucu, ya. Saat menyadari, kita pernah saling jatuh cinta lewat berbagi curahan hati. Saat menyadari, bahagia kita saat itu cukup dengan melihat kehadiran masing-masing di tempat duduknya. Saat menyadari, ruang hati kita pernah berbunga-bunga ketika melihat notifikasi pesan baru di kotak masuk akun Facebook masing-masing.

Bisakah kamu hitung berapa banyak waktu yang telah berlalu sejak momen itu terjadi? Tiga, empat, atau bahkan mungkin, lima tahun?

Aku masih ingat, sekembalinya kita dari tiga bulan masa prakerin ke sekolah, kamu memintaku menemuimu di depan kelas, setelah malam sebelumnya mengirimkan pesan singkat berisi, "Aku punya sesuatu buat kamu. Besok dateng agak pagian, ya."

Kamu tahu? Hadiah itu, meski mungkin menurutmu tak mahal dan tak pernah kuanggap berharga, bagiku, itu adalah hadiah terbaik sepanjang hidupku.

Boneka beruang warna putih susu yang memeluk bantal hati warna merah bertuliskan "I Love You", yang kamu berikan dengan gaya polos khas anak SMA yang baru saja jatuh cinta, sambil berucap, "Semoga suka, ya."

Boneka beruang yang kamu beli dengan sisihan gaji pertamamu untuk gadis yang begitu kamu sayangi saat itu. Boneka menggemaskan yang kuberi nama Bonnist, namun kini lebih sering kusebut Bo karena kamu telah menghilang, bersamaan dengan bantal hati yang digenggamnya.

Boneka yang menggantikan nyaman bahumu yang kini tak dapat lagi kupeluk. Boneka yang masih setia jadi penghiburku saat aku merasa sedih dan ingin menumpahkan air mata. Boneka yang tak pernah kucoba singkirkan bersama dengan kenangan tentang kita yang muncul saat gerimis mulai turun, semenjak kamu pergi.

"Lucu banget bonekanya. Makasih, ya. Eh, tapi kan, hari ini bukan tanggal jadian kita. Aku juga nggak lagi ulang tahun."

"Nggak apa-apa. Aku pengin kasih kamu sesuatu aja. Daripada uangnya habis buat main warnet."

Sungguh, saat itu pertama kalinya aku merasa begitu dicintai.

Oh, ya. Aku juga masih ingat, bahwa kita sering menghabiskan malam minggu kita untuk janjian 'online bersama'. Kamu merelakan berjam-jam billing warnetmu hanya untuk berbalas chat Facebook denganku, yang biasanya, dua atau tiga jam sepenuhnya kau habiskan untuk melanjutkan war game onlinemu.

Pantas saja, waktu itu kamu marah karena menganggapku tak menghargai usahamu yang sudah rela menyisihkan uang jajan dan menunda war-mu untuk memenuhi janji 'online bersama' kita. Saat aku tak segera membalas rentetan chatmu yang begitu antusias karena sedang sibuk mendownload puluhan lagu Justin Bieber yang sedang hits waktu itu.

Hei, aku juga masih ingat. Saat kita hendak ke Monas sebagai destinasi kencan berikutnya, bentuk usahamu agar aku tak merasa jenuh akan hubungan kita. Tapi, belum juga menjejakkan kaki di sana, Pak Polisi Gendut menyetop motormu dan memberikan surat tilang karena kamu berada di jalur yang salah. Iya, di Bundaran Senayan. Tempat yang kini jadi semakin sempit karena proyek pembangunan jalan layang, pernah jadi memori yang selalu kukenang tentang kita.

Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya aku terbang ke sana. Menemuimu dengan sosok yang masih sederhana. Yang rela duduk berjam-jam di depan PC, dan menjadikan game online sebagai sahabatnya, bukan sebungkus rokok yang asapnya tak pernah kusuka. Menemuimu dengan sosok yang tulus mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Memahami Cancerian keras kepala sepertiku dengan sabar. Mengesampingkan egonya untuk memintaku kembali, meski yang kutahu, Aquarian adalah makhluk paling gengsi sedunia. Bahkan, aku ingin menemuimu di masa lalu hanya untuk mencontek buku PR-mu yang tulisannya tampak tak keruan, dan... berdebat mengenai hal kecil, seperti piket misalnya.

Meski kamu tak merindukannya, percaya atau tidak, nyatanya semua hal itu pernah menarik garis senyumku dan jadi nostalgia indah yang tak pernah bosan kuputar ulang di kepala.

Thursday, February 11, 2016

Abaikan Saja

Entah, aku tak tahu harus memulainya darimana. Bicara perasaan, harusnya kamu tahu, takkan pernah ada alasan mengapa kamu tetap mencintai seseorang.

Mungkin kamu lupa, dulu kamu pernah berada di posisi yang sama sepertiku. Membodohi diri sendiri dengan ekspektasi yang indah akan ujung perjalanan cintamu. Memenuhi ruang hati dengan kenangan yang mungkin kini sudah jauh kamu lupakan. Memenuhi pikiran dengan canda jayus pengantar tidur yang sering kamu ucapkan. Memenuhi dasar lubuk hati dengan harapan bahwa suatu saat nanti pintu hatimu akan terbuka.

Seperti berlari di roda hamster, kamu pasti tahu aku lelah. Entah hanya perasaanku saja yang merasa masih ada yang kamu sembunyikan, karena sengaja menutupi sesuatu hal.

Entah karena memang sudah tak menyayangiku, atau tak ingin menyayangiku, atau hanya karena tak ingin menyakitiku lagi, atau karena kamu benci melihatku menitikan air mata karena menangisi pria brengsek sepertimu.

Apakah ada perasaan puas saat kamu tahu masih ada perasaan itu, yang dengan sulit kuutarakan, yang dengan sulit kamu pahami, yang dengan sulit tersirat walau kamu tahu mengumpulkan keberanian untuk menyampaikannya itu bukanlah hal yang mudah.

Selalu ada bimbang saat aku hendak mengutarakan perasaanku. Karena responmu seolah selalu ingin tahu, tapi rasanya seperti tak peduli. Kamu tahu rasanya diabaikan? Ya, kira-kira sama seperti itu. Saat kamu dengan mudah menanyakan keberadaan sebuah buku tanpa menanyakan kabarku lebih dulu, saat dengan cerianya kamu menanyakan kabar teman sekelas kita yang juga sahabat dekatmu dalam grup percakapan kelas, tapi tak pernah sekalipun menyinggung soal kabarku yang justru seolah kamu hindari, saat dengan bahagianya kamu memasang foto profil bersama seorang gadis yang mungkin saat ini sudah jadi pacarmu, kemudian mem-post tweet bahwa hal itu kebahagiaan besar buatmu.

Aku tak tahu, yang kamu rasakan itu adalah kebenaran, atau gengsi, tak ingin mengakui, menghindar, menolak, mengabaikan, atau berbohong terhadap perasaanmu sendiri. Memaksamu jujur adalah hal yang sulit jika kamu tak merasakan hal yang sama denganku, dengan kata lain, mungkin yang kamu katakan memang benar. Perihal kamu tak pernah merindukanku meski semua post dan tweetmu kadang menyentilku, atau hanya aku yang terlalu sensitif? Padahal, bisa saja semua itu kamu tujukan untuk orang lain, kan?

Ah, iya. Aku lupa bahwa cancerians terlalu perasa. Aku lupa bahwa cancerians takkan melupakan meski hanya secuil memori indah yang pernah terjadi dalam hidupnya. Aku lupa bahwa cancerians dan aquarians sama-sama gengsian. Aku lupa bahwa cancerians susah move on.

Jujur, ingin kusampaikan semua hal yang kupendam setahun lamanya untukmu. Yang kamu tanya, "bagaimana bisa?" atau "kenapa harus kangen sama aku?" atau "kamu masih sayang sama aku?"

Semua akan dapat dengan mudah kujawab jika kamu nggak mengetahuinya, mungkin. Nggak gampang buat seorang cancerians mengaku kalah. Tapi, aku memang sudah kalah, kan? Sudah kalahpun aku tak pernah kamu rindukan, bagaimana jika tidak?

Kadang aku menyesal, menuruti kebodohanku untuk menyampaikan gundukan rindu yang membuncah tak tertahan. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar walau hanya kamu balas dengan respon statis. Tanda tanya. Menggantung seperti kisah Rangga dan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar dengan emot peluk dalam pesanmu yang sudah setahun lebih menghilang dari thread Blackberry Messengerku. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar karena canda jayusmu masih bisa membuatku menyunggingkan senyum, meski tak semanis milik pacarmu. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar meski masih ada yang mengganjal, setidaknya, beban hatiku sedikit menguap berkatmu malam ini.

Dan... satu lagi, harusnya kamu tahu, saat seseorang mengesampingkan egonya untuk mengalah padamu, kamu sangat berarti baginya.

Selamat malam, Juliet Echo November November India Sierra.

Semoga mimpi indah menghampirimu malam ini dan malam-malam bahagia dalam hidupmu berikutnya, dan semoga kamu selalu dalam lindunganNya di manapun kamu berada.

Amin.