Thursday, February 18, 2016

Apa Salahnya?

Apa salahnya memilih tetap sendiri? Apa salahnya susah move on? Apa salahnya tak bisa berpaling ke lain hati?

Ketika kamu menyayangi seseorang, ada separuh ruang hati dan memorimu yang terbagi untuknya. Itu sebabnya, mengapa saat semua kebahagiaan dan hubungan itu berakhir, memori yang terekam saat kamu bersamanya tak akan hilang begitu saja, seiring hubungan yang sudah diakhiri tersebut.

Ketika kamu mencoba menyamankan diri dengan kehadiran orang lain, namun hati tak pernah berhenti merindukannya. Ketika kamu mencoba membagi memorimu untuk seseorang yang kamu sebut sebagai penolongmu dari rasa sakit hati, namun hati masih diam-diam berbisik ingin semua kembali seperti dulu.

Berharap, semua bahagia itu kembali. Berharap, suatu saat dia menyadari penantian sabar menahunmu. Berharap, diantara kesibukannya setiap hari, dia masih menyisihkan satu menit dalam waktu panjangnya untuk merindukanmu. Berharap, Allah mendengar bait doa yang kamu ucap untuknya diantara Bismillah dan Aminmu.

Tak ada yang lebih menyiksa dibanding memiliki perasaan untuk seseorang yang sudah jauh melangkah, melesat cepat, dan berubah menjadi monster yang tak kamu kenal. Seseorang yang kamu percaya tak akan pernah menyakitimu bahkan hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seseorang yang kamu percaya dapat menjagamu dari kesedihan yang diciptakan dunia. Seseorang yang kamu percaya tak akan mengkhianati kepercayaanmu. Seseorang yang kamu percaya dapat menghargai perasaan yang sudah susah payah kamu ciptakan untuknya.

Ya. Rasanya kurang lebih seperti itu. Meski bertahun telah lewat, nyatanya aku masih jadi gadis yang cengeng. Tak kuasa menatap tempat-tempat yang mengingatkanku akan memori indah yang tak pernah bisa kuhapus.

Di samping jembatan penyebrangan, di belakang lampu merah Jalan Iskandarsyah II, tempatmu biasa menjemputku sepulang bekerja, melewati menit-menit yang membosankan dengan menatap lalu-lalang kendaraan atau bermain sudoku di handphonemu untuk menungguku. Di depan proyek hotel yang dulu hanya puing, namun kini telah rampung dan jadi hotel berbintang yang megah dan elegan, tempat kita berteduh sementara dari hujan yang turun di malam hari ulang tahunku. Di depan teras rumahku, saat kamu mencoba menggendongku yang tak seberat sekarang. Di depan gerbang saat aku hendak melepasmu pulang, mengelus pundakmu seraya berucap "hati-hati, ya."

Salahkah merindukan semua hal sepele itu meski kamu tak merindukannya sebanyak aku mengingat setiap detilnya? Salahkah mengingat hal yang pernah membuatku bahagia meski mungkin tak sama halnya denganmu? Salahkah jadi gadis susah move on karena terjebak perasaan yang dicobanya susah payah, namun ketika berhasil, dengan mudah kamu membuangnya?

Aku tak bisa berkata cukup pada hati yang lukanya masih basah. Aku mungkin bisa bicara pada nalarku dengan mudah, tapi, kamu tahu bahwa hati tak pernah sejalan dengan nalar, kan? Jika inginmu adalah menghukumku atas apa yang pernah kamu rasakan dulu, kamu berhasil.

Aku tahu, segala yang telah berubah tak dapat diubah seperti dulu lagi. Perasaanmu, sikapmu, kesederhanaanmu yang membuatku belajar cara menyayangimu sedapat mungkin, kebaikan hatimu yang bahkan tak pernah terlintas untuk berpikir ingin menyakitiku. Bertahun tak dapat berpaling dariku. Bertahun memenuhi post di social mediamu dengan ungkapan siratan rindu yang tak berani kau sampaikan. Bertahun membohongi perasaanmu sendiri.

Aku tak akan pernah melupakan, dan tak akan bisa menjelaskan mengapa  hal itu terus saja kulakukan, meski ribuan kali kamu selalu menanyakan alasannya.

No comments:

Post a Comment