Saturday, January 23, 2016

Mungkinkah Ini Rindu?

Hari ini, hari ke dua puluh tiga di bulan Januari. Hujan kerap turun meski intensitasnya tak setinggi bulan November. Tapi Almira beruntung, sebab seharian langit tak sedikitpun terlihat berduka. Gumpalan awan seputih kapas terlihat beraneka-rupa, membuat Almira dengan bebas menebak macam-macam bentuk yang ditampilkannya.

Semenjak musim penghujan datang, Almira jarang menghabiskan waktu luang sorenya untuk menunggu senja di rooftop rumah. Memotret keindahan sederhana yang tak pernah membuatnya berhenti mengucap syukur, atau sekedar duduk di sofa yang terlindung di bawah kanopi besar warna hijau toska sambil menyesap teh hijau hangat.

Semburat magis terlukis indah seluas mata memandang, bukti bahwa salah satu karya sederhana Tuhan dapat membuat kita menatap takjub. Matahari seolah bergerak lambat, meminta Almira menatapnya dengan seksama hingga hilang di ufuk barat. Almira menggenggam kamera mungilnya, membidik keindahan objek yang membuatnya begitu terpesona.

Klik.

Tak berapa lama kemudian, hasil foto Almira keluar dari kamera polaroid–pemberian ayahnya sebagai kado ulang tahun yang ke dua puluh satu–miliknya. Warna jingga kemerahan mendominasi foto itu, tetap terlihat cantik meski dengan pencahayaan minim dari lampu kilat kameranya. Almira tersenyum, seperti menemukan kembali sepotong kebahagiaan yang setahun lalu dibawa pergi oleh satu nama yang pernah begitu berarti baginya.

Fidito Rama Kavindra.

"Menurut aku, hasil foto yang bagus itu bukan semata-mata hanya karena dia berbakat atau seorang profesional, tapi karena dia merasa punya keterikatan dengan alam. Mungkin, itu sebabnya kenapa hasil foto kamu selalu terlihat mengagumkan. Eh, aku bener nggak, sih?"

Lagu Pierce yang dibawakan band asal Jepang, ONE OK ROCK, melantun merdu lewat suara Morita Takahiro, mengalir lembut dari earbud yang mengganjal telinga mungil Almira.

~~ I shouldn’t be in your heart...
Either the time we have spent...
And I want you to know what the truth is,
But sometimes it makes me feel so sick, oh no...
I just can’t say to you,
No, I won’t...

"Mungkinkah ini rindu?" Batin Almira.

Ding... ding... ding...

Dering panggilan video call dari Erik membuyarkan lamunannya. Almira mem-pause dendang lagu yang berputar dalam mode on repeat di iPodnya itu, lalu beralih menslide tombol hijau di ponselnya agar Erik dapat menikmati keindahan senja bersamanya.

"Hei, Putri Manja. Lagi apa?" Sapa Erik diujung sana tak lupa dengan senyum penuh percaya diri yang menampilkan deretan gigi indahnya.

"Lagi duduk-duduk di rooftop, nih. Lihat deh, langitnya. Bagus, ya." Almira membalik sisi kamera depan ponselnya menghadap sang langit yang kini berubah jingga.

"Lagi kangen seseorang, ya?"

Almira diam. Sedetik kemudian mengalihkan pikirannya dari siluet masa lalu yang entah mengapa tiba-tiba hadir.

"Ih, ya enggak, lah. Geer deh, kamu. Huu."

Hubungan Erik dan Almira kini sudah berjalan hampir setahun. Namun, Almira tak merasa kadar rasa yang dimilikinya pada Erik berubah seiring waktu berjalan. Almira tak menyatakan bahwa dirinya tak bahagia, dan sepanjang mereka bersama pun, semua tampak berjalan baik-baik saja tanpa pertengkaran yang berarti. Bukan, bukan karena Erik pria yang tak baik. Justru sebaliknya, Erik memperlakukan Almira layaknya seorang putri. Erik selalu tahu bagaimana cara membahagiakan pasangannya. Berbagai kejutan manis yang berakhir kecupan diujung kepala, tak jarang membuat Almira menyunggingkan senyum termanisnya. Tapi...

"Ah, masa?"

Erik menunjukkan mimik wajah yang tak dapat Almira artikan. Tanpa Almira bicara, sebenarnya Erik selalu dapat menebak apa yang tengah Almira pikirkan. Toh, bukan satu dua hari dirinya mengenal Almira, dan Almirapun memang tak pandai berbohong padanya. Sungguh, Erik tahu selama ini Almira belum dapat merelakan sisa masa lalunya itu pergi, tapi ia hanya ingin selalu ada di sisi Almira sebagai tameng dari apapun yang mungkin dapat melukai hatinya. Tulus, tanpa meminta Almira balik mencintainya.

"Duh, mentang-mentang seminggu ini hujan terus, kangen senjanya ngelebihin kangen kamu ke aku, nih?" Canda Erik, yang direspon Almira hanya dengan lengkungan di sudut bibirnya. "Ya udah, aku mau lanjut ngerjain tugas, ya. Jangan telat makan, awas aja kalau pas aku pulang kamu sakit! Love you."

Senja dan hujan, adalah dua hal yang takkan pernah bisa dipisahkan dari Almira. Erik mengerti, Almira sedang menikmati dunianya sendiri saat ini. Setelah bertanya sederet pertanyaan penuh perhatian seperti biasanya, Erik lekas mengakhiri sambungan video callnya.

Sesaat kemudian, Almira bangkit dari duduknya lalu menepi ke sudut rooftop, menumpukan tangannya yang jenjang pada tembok pembatas yang tak lebih tinggi dari pinggangnya. Ia termenung, menatap nanar kelap-kelip lampu yang menghiasi taman di tengah kompleks rumahnya dari kejauhan. Dalam hening ia teringat akan ucapan Mama saat dirinya merengek setahun lalu. Menangis tersedu-sedan karena pria yang dicintainya memilih pergi. Menangis dipelukan sang mama tanpa bicara sepatah katapun hingga pundak beliau basah, dan balas memeluk Almira seeratnya sebagai tanda peduli dan mengertinya.

"Kita nggak bisa memaksa sesuatu untuk berjalan sesuai dengan ingin kita, Al. Termasuk perasaan."

Dan, ya. Mama benar. Perasaan adalah hal yang takkan pernah bisa dipaksa. Meski sungguh prianya kini terasa begitu sempurna melengkapi, Almira masih merasa kosong. Hatinya memang diisi cerita-cerita manis bersama Erik, tapi entah, seperti ada sesak di dadanya saat ia tak dapat membalas besaran rasa yang sama pada Erik. Meski Almira ingin perasaannya jatuh pada pria sebaik Erik, Almira tak dapat berbohong, bahwa perasaan itu tak pernah bisa naik level untuk lebih dari sekedar sahabat.

Tak pernah ada debar jantung yang berkejaran saat Erik berada di sisinya. Tak ada rindu yang meledak-ledak saat Erik hadir kembali dari absen menemuinya beberapa hari. Tak ada rasa tak ingin melepaskan kala tangan Erik bertautan dengan miliknya. Tak ada yang berubah. Meski setahun telah berjalan dan Almira tak hentinya mencoba membuka hati, yang Almira rasakan hanya sayang sebatas sahabat. Dan, rasanya itu lebih tepat disebut nyaman ketimbang cinta.

Kata orang, cinta sejati selalu punya cara untuk kembali. Tapi mungkinkah? Setelah kehidupan Almira dan Dito sudah menjauh dari garis ketika mereka menjejakkan kaki bersama di tempat yang sama. Saat keduanya tak pernah bertukar sapa walau hanya dengan ucapan 'Hai, apa kabar?' lewat pesan singkat. Saat keduanya seolah tak peduli satu sama lain. Saat perasaan keduanya seolah sudah benar-benar berubah. Dan, saat Almira telah menemukan penjaga hatinya yang tak mungkin ia tinggalkan. Mungkinkah itu terjadi?

"Aku kangen makan es krim vanilla bareng kamu, Dit." Ucap Almira lirih.

Matahari akhirnya sempurna tenggelam. Langit yang sempat begitu cantik dengan warna jingga kemerahannya berubah keabuan, lalu gelap. Almira masih betah berada di rooftop rumahnya, enggan meninggalkan nostalgia indah yang kini mengisi benaknya.

Tuesday, January 19, 2016

Cerita Tentang Hujan

Hujan selalu membawa perasaan damai bagi mereka yang menikmatinya, bagi mereka yang percaya selalu ada keajaiban di tiap tetesnya yang jatuh, salah satunya aku.

Bagiku, suara deras hujan yang turun membentur tanah adalah melodi terbaik dan paling indah yang pernah Tuhan ciptakan. Selalu terdengar syahdu di telingaku yang terlalu sering mendengar suara klakson berbagai kendaraan dalam hiruk-pikuk kemacetan kota.

Saat rintik hujan menyentuh wajahku, aku seolah lupa bahwa aku sedang dalam suasana hati yang tak baik, bahkan hancur. Putus cinta, patah hati, dikecewakan, semua hal buruk yang mungkin membuatmu kehilangan selera makan dalam waktu yang lama, yang membuatmu terlihat menyedihkan.

Berada di bawah rintik hujan adalah momen terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Karena saat basah kuyup, aku selalu teringat akan banyak kenangan indah yang berlalu begitu saja. Mengingat betapa bahagianya masa kecil saat aku dan teman-teman menerobos hujan sepulang sekolah karena tak sabar menunggunya reda, naik motor bersama ayah dengan sangat pelan sambil memegang payung lipat karena tak punya jas hujan, atau momen-momen indah yang lain saat aku beranjak dewasa, seperti berhujan-hujanan di malam sebelum hari ulang tahunku tiba bersama cinta pertamaku, yang justru jadi kado paling manis yang pernah kudapat selama dua puluh dua tahun aku bernafas, saat-saat terbaik yang takkan pernah terlupakan sepanjang hidup.

Saat hujan, semua memori indah yang bernostalgia di pikiranku seolah terjadi kembali. Seolah waktu berhenti dan dengan senang hati membiarkanku bahagia bersama kenangan indah yang pernah kupunya.

Lantas, kenapa harus berteduh jika berhujan-hujanan itu menyenangkan?

Saturday, January 16, 2016

Tentang Rindu (2)

Malam tampak sepi kala tak dihiasi kerlip bintang. Meski saat itu bulan bersinar terang, rasanya langit hanya sekedar lukisan abstrak yang didominasi warna hitam pekat. Membuatmu mengurungkan niat untuk mulai bercerita, karena terbiasa melihatnya berjejer harmonis dengan ratusan bintang.

Sama halnya dengan rindu. Rindu adalah hal paling menyenangkan, jika seseorang yang kau rindukan merasakan besaran rindu yang sama denganmu. Menanti tiap detik yang berlalu dengan penuh harap, ingin lekas-lekas bertemu dengannya. Meski saat bertemu dengannya tiba, waktu berputar dua, bahkan tiga kali lebih cepat, rasanya kau tak peduli asal satu peluk yang menenangkan darinya tetap bisa kau dapat.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang telah kehilangan? Apa rindu tetap jadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan?

Cinta pertama.
Rindu ini tentang cinta pertama.

Layaknya potongan puzzle terakhir yang (pernah) membuat hatimu terasa lengkap, hari-hari bersamanya terasa seperti dongeng. Kau ketik sedikit demi sedikit, hingga merangkai cerita indah ratusan halaman bak novel-novel dari sang pengarang favorit yang alur ceritanya senantiasa membuatmu tersenyum di tiap halaman. Ekspektasi akan akhir yang indah dan penantian yang terjawab, bersahutan mendoktrin pikiran hingga kau memercayainya.

Sadarkah kamu? Ada korelasi antara hening malam dan kenangan, bertautan membentuk imajinasi, membawamu kembali pada cerita yang sempat membuatmu bahagia di waktu yang lama telah berlalu. Meski rindu yang tertimbun setiap harinya kian membuncah, bergejolak, meronta memintamu mengungkapkannya, kau sadar bahwa tak ada pilihan selain memendam bagi sebagian kamu yang telah kehilangan.

Sesak menyeruak di dasar hati ketika kau tahu perasaan rindumu tak terbalas. Sia-sia. Lantas apa yang salah? Kau sungguh tahu bahwa segala yang berubah takkan pernah kembali. Tapi mengapa terus berharap ada satu waktu dalam hidupnya yang dia habiskan untuk merindukanmu? Meski hanya sekali, dalam rangkaian ceritanya yang tampak normal-normal saja.

Kau tahu dia telah jatuh cinta lagi, bahkan berkali-kali setelah dalam waktu yang lama melewatkan harinya untuk mencintaimu, dan kaupun telah merasakan jatuh cinta yang lain, meski tak sebanyak dia. Lalu, mengapa selalu percaya ada ruang kecil di hatinya yang masih untukmu? Mengapa selalu percaya ada rindu darinya yang tersimpan rapat untukmu?

Pada akhirnya, kau hanya bisa berharap malam-malam yang pernah kau lalui dengan perasaan tak nyaman, sempat Tuhan jadikan rangkaian mimpi indah di lelap tidurnya. Walau rindumu tak terutarakan dengan kata, semoga kehadiranmu di mimpinya dapat membuatnya merasakan sedikit getar rindu yang tersirat. Bahwa pada malam-malam saat dia memimpikanmu, kau sempat memikirkannya sebelum tidur. Pesan tersirat, bahwa rindumu tak pernah berani kau ungkapkan.

Dan, ya. Kau benar. Mungkin rindu yang seperti ini adalah salah satu bentuk ironi. Ironi yang kau buat sendiri. Yang menjebakmu dalam kepayahan, hanya karena dulu rindumu pernah diabaikan.

Friday, January 15, 2016

Tentang Rindu

"Sesak adalah salah satu cara kenangan menegurmu untuk tidak coba-coba menimbun rindu." - Ikram Wahyudi

Merindukan seseorang kerap kali menyenangkan selama ia masih jadi bagian penting dari hidupmu. Dan, semua terasa cukup walau hanya dengan sebuah peluk, genggam tangan, atau kecupan di ujung kepala saat melepasnya.

Tapi, masihkah itu terasa menyenangkan saat kau hanya serpihan masa lalu tak bermakna yang lenyap dengan satu tiupan kecil? Saat tujuan hidupnya tak lagi padamu. Saat debar jantungnya bukan lagi untukmu. Saat matamu bukan lagi tempat berteduhnya. Saat genggam tanganmu tak lagi dirindunya. Saat posisimu di hatinya tergantikan orang lain. Saat langkah kakinya sudah melesat jauh, tanpa sudi ia menoleh hanya untuk melihatmu yang tengah berjalan tertatih-tatih.

Rindu seringkali membuatmu bertanya-tanya, haruskah semua yang kau pendam itu kau sampaikan? Selalu ada bimbang antara ya dan tidak. Hatimu bilang ingin, tapi otakmu tak pernah setuju dengannya karena dulu hari merasa pernah menyampaikannya, namun tak diindahkan.

Begitu saja, sampai rindu-rindu yang terabaikan tertimbun di bawah egomu, sementara rindumu yang kau timbun tadi kian hari kian membukit. Begitu saja, hingga kau bisa mencium siku tanganmu. Begitu saja, hingga pelangi muncul diantara bulan dan bintang. Begitu saja, hingga ilalang yang kau tanam bertumbuh jadi padi.

Rasa rindumu tak salah. Hanya saja, masih sanggupkah kau menimbun sesak karena tak mendapat rasa rindu yang sama?

Dan... sesepele itukah rindumu baginya?

"Kau tahu aku merelakanmu. Aku cuma rindu, aku cuma rindu. Takkan mencoba tuk merebutmu. Aku cuma rindu, itu saja." - The Rain, Gagal Bersembunyi

Friday, January 1, 2016

Pentingnya Sebuah Perjalanan

Hei, silent reader. Di suasana malam sehabis hujan begini, daripada ngangenin orang yang udah terlanjur pergi dari hidup kita, mending ngebahas tentang pentingnya perjalanan hidup. Kalian pasti tahu kalau hidup nggak melulu bahagia, apalagi makhluk kayak kita-kita yang disebut manusia ini, yang notabene sering ngeluh.

Nggak ada orang yang nggak pernah ngeluh, yang membedakan, hanya cara dia mengutarakannya. Entah dia marah-marah, curhat ke teman dekatnya, atau malah di keep sendiri. Dan, ya... gue adalah salah satu dari sekian banyak orang yang suka mengeluh. Nggak munafik kok. Gue orang yang sering bilang capek dalam banyak hal, pekerjaan, keadaan ekonomi, bahkan... cinta. Gue kadang bingung aja, kenapa gue harus putus asa, harus ngerasain berkali-kali patah hati padahal gue udah sering ngalaminnya? Gue bingung aja, kenapa gue nggak bisa menanggapi semua dengan perasaan nggak khawatir. Gue terlalu khawatir, kalau gue nggak bisa bahagia.

Mungkin karena gue orangnya nggak sabaran kali ya, makanya, mungkin Allah kesel sama gue (hikz), jadi tiap orang yang dekat sama gue dijauhkan hingga akhirnya... menghilang.

Gue tipe orang yang susah banget jatuh cinta. Suka, mungkin. Tapi untuk sayang, gue harus mengenal dan dekat dengan dia dalam waktu yang lama. Kenapa? Ya mana gue tahu, pake nanya?! Hehe, becanda.

Satu hal yang membuat gue MUNGKIN sulit banget buat jatuh cinta adalah, rasa tidak percaya gue bahwa akan ada yang lebih baik nantinya, karena gue selalu percaya akhir cerita gue akan selalu sama, meski peran si pangeran dalam dongeng hidup gue tergantikan. Pria yang lebih baik, kisah cinta yang lebih baik, hingga akhir untuk awal yang lebih baik. Capek nggak sih, ngerasain sesak buat hal yang sama berkali-kali?

Gue pernah sayaaaaaaang banget sama seorang cowok, and, that's my very first time to being in love. Maksutnya bukan pertama kali jatuh cinta sih, lebih tepatnya, dia itu cinta pertama gue. Dulu gue pernah berpikir, kalau cinta pertama itu pacar pertama kita. Tapi ternyata gue salah. Cinta pertama itu, orang yang mempertemukan lo dengan perasaan yang nggak pernah lo temuin sebelumnya. Satu-satunya orang yang bisa bikin lo mengalah sama ego lo sendiri. Satu-satunya orang yang... pertama kalinya bikin hidup lo terasa meaningful.

Gue kadang lupa, kalo bahagia sama duka itu sepaket. Saat gue terlalu bahagia, gue lupa, bahwa bisa aja besok tiba-tiba gue bakal sedih.

"Menyakitkan ketika kamu akhirnya menemukan seseorang yang begitu berarti dalam hidupmu hanya untuk belajar bagaimana cara melepaskannya."

Ya. Kira-kira kayak gitu. Di sebelah dia itu kayak... saat kutu buku baca buku favoritnya sendirian di sofa yang ada di balcony, yang menghadap langsung ke taman penuh bunga waktu pagi hari. Nyaman, bikin gue ngerasa, waktu berputar 2 bahkan 3 kali lebih cepat. Ketawa, sharing cerita jayus, garing, sampe becanda hal yang sama sekali nggak lucu, yang anehnya, justru gue selalu rindu momen-momen itu tiap kali nggak bisa ketemu dia. Emang aneh sih, tapi mungkin itu yang bisa dibilang magic hour.

Dan pada akhirnya, semua momen itu meluluhkan hati gue hingga bisa ngerasain perasaan itu. Sayang. Yang bahkan pacaran dari SMA, bertahun-tahun, putus-nyambung sama dia, baru bisa ngerasain bener-bener sayang disaat ngadepin banyak masalah dan proses sama dia. Panjaaaaaang ceritanya sampai akhirnya kami (lebih tepatnya dia) dipertemukan dengan orang ketiga. Yaudah deh, the end. Nggak lucu ya endingnya? Emang. Wkwk.

Dan memang, saat gue masih pacaran sama dia, gue lagi dekat sama seseorang. Awalnya cuma kagum sih, tapi cowok ini adalah salah satu orang yang berperan dalam mengobati luka hati gue. Satu tahun, waktu yang gue butuhkan untuk benar-benar bisa berdamai dengan kebodohan gue sendiri. Ditemani dia yang... selalu bersedia dengerin cerita gue yang galaunya itu-itu aja. Dan nggak tahu, sejak kapan kadar rasa gue ke dia... berubah.

Gue kadang nggak ngerti. Apa gue dekat dengan orang yang salah atau mungkin cuma keadaannya yang salah, intinya, disaat gue menemukan kenyamanan yang bisa bikin gue ngelupain luka karena galau menahun, pasti ujungnya gue tahu bahwa dia udah jadi milik orang lain. Pahit ya? Iya, banget.

Dan lagi, gue harus kembali kehilangan orang itu. Yang awalnya cuma berusaha merelakan yang udah terjadi dengan berusaha menjauh karena nggak mau merusak hubungan orang lain, akhirnya malah sakit sendiri. Gue tahu, gue harus menjauh karena gue nggak mau jadi benalu di hubungan orang lain. Karena gue tahu, tahu banget rasanya saat hubungan gue dirusak, tahu banget rasanya ditinggalkan saat gue lagi sayang-sayangnya. Daripada gue menyakiti hati orang yang nggak seharusnya disakitin, lebih baik gue menjauh walau akhirnya gue tahu bahwa gue sudah terlalu dalam terjebak kenyamanan itu. Jadi, gue harus bisa memosisikan diri gue sebagai "cewek" kan?

Dan sekarang, saatnya gue kembali jadi Riana Ayodya yang galau. Yang nge-listen to lagu-lagu galau di path. Yang pasang display picture sedih terus, yang cuma bisa ngutarain kangen dengan ngomong sama teddy bear gue, si Bo. Dan ya, mungkin emang harus selalu kayak gini kali ya, endingnya. Harusnya gue tahu, nggak seharusnya gue jatuh cinta. Disaat gue berani menyimpulkan kalau gue jatuh cinta, gue juga harus siap dengan resiko satu paketnya, yap, patah hati.

Tapi, semua itu adalah bagian dari pentingnya sebuah perjalanan. Bagaimana cara lo menjalani proses, dan fase di mana lo terpuruk, nggak tahu bahu mana lagi yang bisa lo sandarin. Tapi lo nggak perlu takut, selama lo punya sahabat yang bisa lo percaya, yang selalu ada buat lo dan selalu ada untuk berbagi tawa bersama. :)