Friday, January 1, 2016

Pentingnya Sebuah Perjalanan

Hei, silent reader. Di suasana malam sehabis hujan begini, daripada ngangenin orang yang udah terlanjur pergi dari hidup kita, mending ngebahas tentang pentingnya perjalanan hidup. Kalian pasti tahu kalau hidup nggak melulu bahagia, apalagi makhluk kayak kita-kita yang disebut manusia ini, yang notabene sering ngeluh.

Nggak ada orang yang nggak pernah ngeluh, yang membedakan, hanya cara dia mengutarakannya. Entah dia marah-marah, curhat ke teman dekatnya, atau malah di keep sendiri. Dan, ya... gue adalah salah satu dari sekian banyak orang yang suka mengeluh. Nggak munafik kok. Gue orang yang sering bilang capek dalam banyak hal, pekerjaan, keadaan ekonomi, bahkan... cinta. Gue kadang bingung aja, kenapa gue harus putus asa, harus ngerasain berkali-kali patah hati padahal gue udah sering ngalaminnya? Gue bingung aja, kenapa gue nggak bisa menanggapi semua dengan perasaan nggak khawatir. Gue terlalu khawatir, kalau gue nggak bisa bahagia.

Mungkin karena gue orangnya nggak sabaran kali ya, makanya, mungkin Allah kesel sama gue (hikz), jadi tiap orang yang dekat sama gue dijauhkan hingga akhirnya... menghilang.

Gue tipe orang yang susah banget jatuh cinta. Suka, mungkin. Tapi untuk sayang, gue harus mengenal dan dekat dengan dia dalam waktu yang lama. Kenapa? Ya mana gue tahu, pake nanya?! Hehe, becanda.

Satu hal yang membuat gue MUNGKIN sulit banget buat jatuh cinta adalah, rasa tidak percaya gue bahwa akan ada yang lebih baik nantinya, karena gue selalu percaya akhir cerita gue akan selalu sama, meski peran si pangeran dalam dongeng hidup gue tergantikan. Pria yang lebih baik, kisah cinta yang lebih baik, hingga akhir untuk awal yang lebih baik. Capek nggak sih, ngerasain sesak buat hal yang sama berkali-kali?

Gue pernah sayaaaaaaang banget sama seorang cowok, and, that's my very first time to being in love. Maksutnya bukan pertama kali jatuh cinta sih, lebih tepatnya, dia itu cinta pertama gue. Dulu gue pernah berpikir, kalau cinta pertama itu pacar pertama kita. Tapi ternyata gue salah. Cinta pertama itu, orang yang mempertemukan lo dengan perasaan yang nggak pernah lo temuin sebelumnya. Satu-satunya orang yang bisa bikin lo mengalah sama ego lo sendiri. Satu-satunya orang yang... pertama kalinya bikin hidup lo terasa meaningful.

Gue kadang lupa, kalo bahagia sama duka itu sepaket. Saat gue terlalu bahagia, gue lupa, bahwa bisa aja besok tiba-tiba gue bakal sedih.

"Menyakitkan ketika kamu akhirnya menemukan seseorang yang begitu berarti dalam hidupmu hanya untuk belajar bagaimana cara melepaskannya."

Ya. Kira-kira kayak gitu. Di sebelah dia itu kayak... saat kutu buku baca buku favoritnya sendirian di sofa yang ada di balcony, yang menghadap langsung ke taman penuh bunga waktu pagi hari. Nyaman, bikin gue ngerasa, waktu berputar 2 bahkan 3 kali lebih cepat. Ketawa, sharing cerita jayus, garing, sampe becanda hal yang sama sekali nggak lucu, yang anehnya, justru gue selalu rindu momen-momen itu tiap kali nggak bisa ketemu dia. Emang aneh sih, tapi mungkin itu yang bisa dibilang magic hour.

Dan pada akhirnya, semua momen itu meluluhkan hati gue hingga bisa ngerasain perasaan itu. Sayang. Yang bahkan pacaran dari SMA, bertahun-tahun, putus-nyambung sama dia, baru bisa ngerasain bener-bener sayang disaat ngadepin banyak masalah dan proses sama dia. Panjaaaaaang ceritanya sampai akhirnya kami (lebih tepatnya dia) dipertemukan dengan orang ketiga. Yaudah deh, the end. Nggak lucu ya endingnya? Emang. Wkwk.

Dan memang, saat gue masih pacaran sama dia, gue lagi dekat sama seseorang. Awalnya cuma kagum sih, tapi cowok ini adalah salah satu orang yang berperan dalam mengobati luka hati gue. Satu tahun, waktu yang gue butuhkan untuk benar-benar bisa berdamai dengan kebodohan gue sendiri. Ditemani dia yang... selalu bersedia dengerin cerita gue yang galaunya itu-itu aja. Dan nggak tahu, sejak kapan kadar rasa gue ke dia... berubah.

Gue kadang nggak ngerti. Apa gue dekat dengan orang yang salah atau mungkin cuma keadaannya yang salah, intinya, disaat gue menemukan kenyamanan yang bisa bikin gue ngelupain luka karena galau menahun, pasti ujungnya gue tahu bahwa dia udah jadi milik orang lain. Pahit ya? Iya, banget.

Dan lagi, gue harus kembali kehilangan orang itu. Yang awalnya cuma berusaha merelakan yang udah terjadi dengan berusaha menjauh karena nggak mau merusak hubungan orang lain, akhirnya malah sakit sendiri. Gue tahu, gue harus menjauh karena gue nggak mau jadi benalu di hubungan orang lain. Karena gue tahu, tahu banget rasanya saat hubungan gue dirusak, tahu banget rasanya ditinggalkan saat gue lagi sayang-sayangnya. Daripada gue menyakiti hati orang yang nggak seharusnya disakitin, lebih baik gue menjauh walau akhirnya gue tahu bahwa gue sudah terlalu dalam terjebak kenyamanan itu. Jadi, gue harus bisa memosisikan diri gue sebagai "cewek" kan?

Dan sekarang, saatnya gue kembali jadi Riana Ayodya yang galau. Yang nge-listen to lagu-lagu galau di path. Yang pasang display picture sedih terus, yang cuma bisa ngutarain kangen dengan ngomong sama teddy bear gue, si Bo. Dan ya, mungkin emang harus selalu kayak gini kali ya, endingnya. Harusnya gue tahu, nggak seharusnya gue jatuh cinta. Disaat gue berani menyimpulkan kalau gue jatuh cinta, gue juga harus siap dengan resiko satu paketnya, yap, patah hati.

Tapi, semua itu adalah bagian dari pentingnya sebuah perjalanan. Bagaimana cara lo menjalani proses, dan fase di mana lo terpuruk, nggak tahu bahu mana lagi yang bisa lo sandarin. Tapi lo nggak perlu takut, selama lo punya sahabat yang bisa lo percaya, yang selalu ada buat lo dan selalu ada untuk berbagi tawa bersama. :)

No comments:

Post a Comment