Monday, November 28, 2016

Bapak

Kalau ada hal yang paling berharga buatku, bahkan tak bisa dibeli dengan uang dan ditukar dengan apapun, itu adalah Bapak dan kasih sayangnya.

Usia Bapak sudah lebih dari setengah abad. Bagi orang yang baru saja bertemu dengannya, mungkin mereka dapat menebak kisaran usianya dengan tepat jika melihat warna putih keabuan yang mendominasi rambut yang kian hari kian menipis di kepalanya. Bapak adalah orang yang keras kepala, agak tempramen, dan kata-katanya sedikit kasar saat marah. Kulitnya sawo matang—jauh lebih gelap dariku—hangus terbakar matahari akibat aktivitasnya mengendarai motor di siang hari yang terik sebagai tukang ojek.

Bapak bukan orang yang mengekspresikan kasih sayangnya dengan kata-kata. Tapi buatku, Bapak yang tiba-tiba menyikut lenganku sambil menjulurkan semangkuk indomie rebus, atau nasi goreng, atau apapun yang bisa ia buat di dapur untukku sepulangku bekerja lebih romantis dari pria yang pernah memberiku setangkai mawar merah lengkap dengan sekotak es krim vanilla dan novel incaran yang belum sempat kubeli karena sibuk. Buatku, kerelaannya menerobos derasnya hujan untuk menjemputku tanpa jas hujan—kami hanya punya satu jas hujan—karena mengutamakanku yang memakainya lebih tulus dari pria yang rela membawakan kwetiau goreng kesukaanku jauh-jauh dari tempat kerjanya ke rumahku tengah malam. Buatku, Bapak yang rela menahan kantuk karena aku memintanya menungguku pulang dan membukakan pintu akibat pulang larut malam, lebih setia dari pria yang menungguku bertahun-tahun agar mau membuka hati padanya.

Cause every daughter will always be her daddy's little girl berapapun usia mereka. Bahkan sampai sekarang, aku masih jadi orang yang sangat bergantung pada Bapak. Aku masih—bahkan selalu—diantar-jemput kemanapun olehnya. Dan karena aku adalah seorang pelupa sejak masih sekolah, Bapak adalah satu-satunya orang yang rela mengantarkan benda-benda penting yang tak sengaja tertinggal di rumah, seperti buku-buku pelajaran yang kebetulan gurunya killer, seragam olahraga, atau bahkan sekarang, seragam kerja, meski Bapak selalu mengomel tiap kali aku menelepon dan meminta Bapak mengantarnya.

Mengingat usiaku yang sudah menginjak 23 tahun, mungkin cuma Bapak yang mengomel jika aku tak pulang tepat waktu karena mampir sana-sini dengan teman-teman sepulang kerja. Dan mungkin cuma Bapak yang mengomel jika aku hendak bertemu teman lama di hari libur kerja dengan alasan aku tak pernah kelihatan betah di rumah untuk cukup beristirahat.

Oh, iya. Aku masih ingat, dulu sekali, Bapak pernah menangis karena sepasang sandal yang kubeli untuknya. Waktu itu, aku membelinya dengan uang yang diberikan kepala counterku di tempat prakerin dengan sukarela karena di sana tak ada gaji untuk karyawan prakerin dari sekolah. Entah dua puluh atau tiga puluh ribu rupiah, aku tak ingat pasti. Tapi saat itu, yang kuingat aku hanya ingin memberikan sesuatu untuk Bapak meski harus meminta diskon ekstra pada si ibu kepala counter. Hih, memang dasar si seram dengan hati seimut Hello Kitty, batinku, saat aku mengingat Bapak tentang hal itu kembali.

Bapak memang tak sedetail Mama saat menanyakan beberapa hal tentang kehidupanku di luar rumah. Apa yang terjadi hari ini, dengan siapa aku dekat belakangan ini, mengapa aku terlihat diam saja seharian, atau hal-hal kecil lainnya yang semacam itu. Pertanyaan Bapak setiap harinya akan selalu sama; hanya seputar "sudah makan atau belum?", "hari ini masuk apa?", atau, "nanti mau berangkat jam berapa?".

Dan, begitulah Bapak. Masih banyak cerita menyenangkan dari seorang ayah sepertinya yang sulit kuingat dengan baik. Aku hanya berharap, bisa hidup bersama Bapak selama mungkin. Berharap Bapak berada di sisiku saat aku menikah nanti. Berharap, Bapak sempat melihat cucu-cucunya yang lucu lahir dariku; anak perempuan semata wayangnya.

Saturday, September 3, 2016

Bukan Sajak

Aku punya banyak cara agar selalu merasa dekat denganmu. Memakai baju atau sepatu dengan warna favoritmu, memakai wewangian yang sama persis dengan aroma kemeja kerjamu, mendengarkan beberapa lagu dari band yang sangat kau suka, hingga berbicara sendiri seolah kau ada di sebelahku dan sedang mendengarkan celotehku dengan seksama.

Bahkan seringkali, aku benar-benar merasa kau begitu dekat. Aku merasa, kau selalu ada diantara draft-draft yang tak kunjung kuselesaikan, diantara tengah malam menuju pagi, diantara suapan kwetiau goreng yang mungkin kubeli lebih dari tiga kali seminggu, termasuk, diantara hari-hari yang berhujan belakangan ini. Entahlah, aku hanya merasa, kau tak pernah berada terlalu jauh dariku. Meski, kau tak pernah datang lagi sejak hari itu. Sejak 739 hari, atau, sekitar 2 tahun lebih 8 hari yang lalu.

Dan, mengenangmu nyatanya jauh lebih mudah daripada mencoba melupakan jutaan rasa yang pernah kau beri sejak kita SMA dulu. Rindu, marah, kecewa, sebal, tak acuh, bahagia, hingga tawa konyol yang tak jelas sebabnya, rasanya begitu sulit kusingkirkan dari memori. Sedangkan mengenangmu, cukup dengan memeluk boneka beruang putih pemberianmu saja, rasanya kau sudah hadir dipelukku setiap malam. Bahkan, beberapa ucapan sepele darimu pun masih tak luput dari ingatanku yang justru pelupa pada hal-hal yang berusaha kuingat sedapat mungkin. Seperti...

"Aduh, sakit tau. Nyubit tapi kukunya panjang gitu."

"Iya, besok dipotong kukunya."

Dan besoknya, kukumu benar-benar kau potong, padahal setelah itu kamu tak punya kesempatan untuk mencubit pipiku lagi.

Atau...

"Ri, nonton, yuk. Gue yang bayarin, deh."

Ucapmu beberapa bulan setelah kita putus, di depan kelas, dengan seragam putih abu-abu masing-masing yang agak kebesaran.

Atau...

"Aku suka, deh, kamu pakai baju ini. Cantik."

Padahal, tanaman hias yang 40% daunnya layu yang ada di depan pintu rumahku pun tahu, sedikitpun aku tak pernah lebih cantik dari standar tipe idealmu.

Atau...

"Buka mata kamu. Coba lihat mataku."

Saat kamu memelukku, dulu. Beberapa bulan aku bahkan tak bisa melakukannya karena takut jatuh pada tatapan itu, tatapan yang hingga kini tak bisa kutemui dari sepasang mata manapun yang lain. Meski kamu mengatakan hal itu tiap kali kita punya kesempatan untuk bertemu, hingga beberapa bulan, sampai aku bisa melakukannya.

Dan, begitulah setiap harinya. Mungkin kakiku terlalu lemas untuk melanjutkan perjalanan karena beberapa hal di atas tadi.

.
.
.
.
.

"Kemudian aku baru menyadari bahwa dia masih menjadi bagian hidupku. Selama tiga tahun terakhir, keberadaan kami menjadi kebiasaan bagi satu sama lain. Dan meskipun dia melupakan kebiasaannya saat dia meninggalkanku, aku masih terbiasa dengan keberadaannya. Aku masih menganggapnya sebagai masa kiniku, masa depanku. Dan sebenarnya, sekarang dia masa laluku, dan sudah waktunya aku mulai menerima itu, meskipun rasanya menyakitkan untuk melakukannya."

-Jacqueline Wallace (Easy, Mudahnya Mencintaimu, Karya : Tammara Webber)

Friday, August 26, 2016

Day 731.

Hari ini, adalah hari ke-731 tanpamu. Dan aku, masih merindukanmu seperti biasanya. Aku, juga masih tak dapat menghitung berapa banyak es krim stik yang kumakan, berapa banyak film yang kutonton, dan berapa banyak hari buruk yang kulalui tanpamu.

Maaf, jika aku membuatmu tak tenang di sana. Aku sudah berusaha sebaik mungkin menjalani hidupku agar tetap berjalan seperti biasanya tanpamu. Tapi, kadang aku hanya merasa perlu membagi beberapa hal sepele semacam atasanku yang menyebalkan, lembur mendadak, traffic toko yang hectic setiap Jumat, lambungku yang perih karena tak sempat sarapan, atau judul lagu yang baru-baru ini selalu kudengarkan, padamu.

Lalu, bagaimana denganmu? Apa kabarmu di sana? Bertemukah kau dengan bidadari yang selalu kita percayai ada di surga?

Meski kau tak pernah memberitahuku jawabannya, aku tahu, Tuhan sudah merawatmu dengan baik dan menjadikan perasaan bahagiamu kekal di sana. Tapi, berkenankah kau hadir dan singgah malam ini di sisiku? Sebentar, saja. Aku hanya ingin bilang bahwa aku rindu. Aku, sangat... rindu, kemudian memelukmu dengan erat seolah dua tahun tanpamu tak pernah terjadi. Seolah hari-hari buruk selama dua tahun ini selalu dapat kulalui dengan baik setelah kau rela berjam-jam duduk manis untuk mendengar ceritaku. Seolah dua tahun ini kamu hanya tertidur, dan tetap akan menyapaku kembali dengan ucapan selamat pagi esok hari. Seolah kamu hanya pergi sebentar, pergi untuk kembali berbagi cerita tentang apa yang kita alami sepanjang hari, mengusap ujung kepalaku penuh sayang, dan jadi lelakiku seperti biasanya.

Biarlah, cukup aku saja yang memiliki hobi mengenang yang sudah tiada, atau mati. Karena bagiku, mengenang orang baik itu menyenangkan. Kau tetap dapat bersamanya saat mengenangnya kembali dalam memori meski raganya tak bisa lagi bersamamu. Kau akan merasa, dirinya datang bersama angin yang berhembus saat hujan. Kau akan merasa, samar-samar mendengar suaranya dalam riuh rintik hujan yang turun. Kau akan akan merasa, indah pelangi setelah hujan sama teduh dengan senyumnya. Dan kau, akan merasa begitu bahagia hanya dengan mengenang atau menulis beberapa hal manis yang selalu kau ingat darinya.

"And I know it's long gone, and that magic's not here, no more. And I might be okay, but I'm not fine at all..."

Sunday, July 10, 2016

Tak Bisa "Pindah"

Duduk di jok belakang sepeda motormu tanpa tegur sapa dan canda tawa seperti yang dulu biasa kita lakukan terasa aneh buatku. Pertanyaanmu yang hanya terlontar sesekali mungkin dapat mencairkan kekakuan diantara kita, tapi tidak dengan keras hatiku. We feel like two strangers that day. Tapi aku tahu, menahan antusiasku saat bertemu kamu adalah yang terbaik karena aku tak ingin terlihat bodoh berkali-kali. Cukup sekali aku mempermalukan diri di depanmu dengan memohon agar kamu tetap singgah. Ya, mungkin aku terlalu pengecut untuk mengakui bahwa aku masih (sangat) sayang kamu. Tapi, cukup buatku jadi orang yang paling tidak dihargai perasaannya sepanjang hidup. Cukup buatku percaya bahwa suatu saat nanti kamu akan kembali dan menyadari bahwa pilihanmu meninggalkanku itu salah. Cukup buatku memupuk semua harapan itu jadi kian tumbuh setiap harinya. Semua kurasa cukup karena aku sadar bahwa kamu telah berubah. Dan lagi-lagi, aku butuh usaha yang keras untuk mengingatkan hatiku agar tak coba-coba berharap kembali.

Tepat seperti yang dulu pernah kamu katakan, bahwa perubahan yang terjadi padamu adalah pilihan. Dan yang kamu dapatkan dari duniamu yang baru mungkin saja membuatmu lebih nyaman daripada bahuku yang kurus dan ringkih. Tak apa, semua orang punya hak untuk memilih dan aku menghargai apa yang kamu pilih. Maaf, mungkin ketidaktahuanku dulu pernah membuatmu merasakan kecewa, marah, atau perasaan lain semacam itu. Tapi sungguh, saat aku begitu erat memelukmu dan berkata bahwa aku benar-benar menyayangimu, saat itu pula aku mulai memercayaimu sebagai pria yang takkan pernah menyakitiku selain ayah. Meskipun kita berakhir begitu saja dengan sebab yang sangat jauh dari dugaanku, setidaknya, pilihanku untuk menjadikanmu sebagai cinta pertamaku bukanlah hal yang buruk.

Jujur, aku benar-benar menyayangkan pilihanmu untuk berubah. Itu artinya, kamu sudah memilih untuk berkembang jadi seseorang yang menurutmu lebih baik. Tapi bagiku, takkan pernah ada kamu, bahkan pria yang lebih baik dari kamu yang dulu. Dan mungkin, itu sebabnya mengapa aku tak pernah bisa "pindah".

Tuesday, June 28, 2016

Masih Tentang Rindu

Aku rindu kamu yang sederhana. Lelaki yang apa adanya, yang tak sedikitpun mengubah dirinya hanya untuk dianggap dan diterima lingkungannya.

Aku rindu kamu yang selalu menunduk menekuri tiap petak ubin saat berjalan di koridor sekolah.
Aku rindu kamu yang selalu serius mendengar suara dalam headphone sambil menatap monitor di depanmu dengan seksama di lab Bahasa Inggris.
Aku rindu kamu yang menarik-narik tanganku untuk mengingatkan kewajibanku melaksanakan tugas piket. Aku rindu kamu yang meminjam buku PRku dengan malu-malu untuk kau cocokkan dengan milikmu.
Aku rindu kamu yang selalu melempar tugas menulis catatan dari guru di papan tulis hanya karena aku adalah satu-satunya sekertaris kelas.
Aku rindu mendengar tawaranmu untuk mencontek buku PR matematikamu, yang kau tahu, takkan pernah mungkin kuselesaikan.
Aku rindu melihatmu dengan seragam putih abu yang agak kebesaran, tas punggung army warna cokelat, juga sepatu hitam dengan satu garis merah di masing-masing sisinya.

Aku rindu kamu yang betah seharian duduk hanya untuk main dotA.
Aku rindu kamu yang dengan senang hati menunda sebentar keasyikanmu membaca komik favoritmu hanya untuk bertanya apa aku sudah makan atau belum.
Aku rindu kamu yang tiba-tiba ada di depan rumah dengan sekotak es krim rasa neapolitan dan beberapa batang cokelat dalam tas punggungmu.
Aku rindu kata maaf dalam pesan singkatmu di tengah malam karena kamu tak sengaja tertidur tanpa sempat pamit sebelumnya.
Aku rindu mengetahui tiba-tiba kau terjaga tengah malam hanya karena kau teringat belum dapat kabar dariku jika aku sudah selamat sampai di rumah.
Aku rindu kamu yang hafal apa-apa saja yang kusukai dan tidak, bahkan meski hanya sesepele asap rokok.

Aku rindu kamu yang sedikit banyak berbagi cerita denganku seputar kegiatanmu di kampus.
Aku rindu mendengar keluhmu akibat puluhan kardus yang kau angkat saat datang barang atau hal lain yang kau kerjakan di tempat kerjamu.
Aku rindu memantau suhu tubuhmu dari telapak tangkanku yang menempel di dahi lebarmu.
Aku rindu mencium tangan dan mengusap punggungmu setelah mengucap, "Hati-hati di jalan, ya. Kabarin kalau udah sampe di rumah." saat melepasmu pulang.

Aku rindu kamu yang jujur.
Aku rindu kamu yang gigih meminta maafku meskipun aku enggan.
Aku rindu kamu yang berani menyampaikan rindumu tanpa peduli berapa banyak pria yang mencoba membuka pintu hatiku selama kamu pergi.
Aku rindu kamu yang tak pernah rela melihat setetespun air mataku jatuh.
Dan aku, rindu kamu yang tak pernah meninggalkanku untuk orang lain.

Ya, semua ini masih tentang rindu.

Friday, May 6, 2016

Merindukanmu?

Merindukanmu? Sepertinya, untuk beberapa bulan kedepan aku ingin absen dulu melakukannya. Setelah jadi aktivitas favoritku selama bertahun-tahun setelah kau tinggalkan, mungkin, ini adalah saat dimana aku harus bergerak dan mulai memaksa diriku untuk melangkah, hingga akhirnya bisa berlari.

Aku sudah malas bertanya-tanya, status-status yang kau buat itu sesungguhnya untuk siapa. Aku sudah malas bertanya-tanya, apakah kau masih menyimpan rasa yang dalam-dalam kau sembunyikan untukku atau tidak. Aku sudah malas bertanya-tanya, apakah kau selalu baik-baik saja selama kita tak bersama. Aku sudah malas bertanya-tanya, bagaimana kebenaran isi hatimu setelah memutuskan untuk berhenti menyayangiku. Aku sudah malas untuk selalu bertanya-tanya, memangkas jam tidurku tiap malam hanya untuk memikirkan hal yang membuang begitu banyak waktuku yang berharga dengan percuma.

Maka carilah bahagiamu, karena selama kita bersama, aku tak pernah punya apapun yang bisa kuberi untukmu, setidaknya, sesuatu yang bisa kau kenang sepanjang hidup. Carilah bahagiamu, karena selama kita bersama, aku tak bisa memberikanmu sedikit saja rasa bangga karena pernah memenangkan hatiku. Carilah bahagiamu, Karena aku sedang membangun tembok besar dari kumpulan kecewa dan sedikit demi sedikit rasa tak peduliku padamu. Carilah bahagiamu, karena kau pantas bahagia. Karena kau, pantas dan berhak mendapatkannya.

Wednesday, May 4, 2016

Circle of (Love) Life

Jomblo - jatuh cinta - jadian - putus - patah hati - move on.

Alur di atas pasti berulang-ulang pernah kita alamin. Nggak penting berapa kali patah hatinya, yang penting bagaimana cara kita buat coba move on, buka lembaran baru dan mencari seseorang yang lebih baik. Nggak masalah kalau pernah menghabiskan banyak waktu buat nunggu seseorang yang seringkali kamu kira tepat, hingga mengabaikan usaha beberapa orang yang mungkin aja lebih baik dari dia untuk dapetin hatimu. Kadang, ada juga beberapa orang yang lebih suka menunggu ketimbang bersusah payah menghabiskan waktunya untuk mencari, dan mungkin, kamu salah satu diantaranya.

As simple as that. Tapi cara hati ngebekuin rasa yang udah bertahun-tahun singgah nggak semudah berteori, kan? Jalani saja, dan tentunya perbaiki diri lebih baik lagi. Tuhan bilang, jodoh itu pencerminan diri, kan? Kalau kamu setia, insya Allah jodohmu kelak akan setia. Kalau kamu kebalikannya, ya teruskan saja akhir kalimat ini sendiri.

Kalau kamu merasa pernah nggak setia, saat kamu menemukan pasangan baru yang bisa menerimamu apa adanya satu paket dengan kurangmu yang mungkin aja lebih banyak dari kelebihan mu, maka setialah. Hargai waktu bersama seseorang selagi dia masih ada, karena kita nggak tahu kapan perpisahan akan terjadi. Entah karena nggak jodoh, atau salah satu diantaranya memilih meninggalkan.

Tuesday, April 26, 2016

Kau Tahu?

Saat aku akhirnya tahu bahwa kau mencintai wanita lain, pada akhirnya semua terasa biasa saja. Kau tahu kenapa? Karena aku merasa, yang mencintai wanita itu bukan kau yang kukenal, tapi sisi dirimu yang lain. Bukan, itu bukan dirimu yang selama ini kukira sudah mati.

Maafkanlah, jika aku sudah menganggapmu benar-benar pergi. Karena yang kurasa, semua kebaikanmu sudah terkubur, bersamaan dengan sosok dan kehidupan baru yang kau ciptakan. Maafkan, karena saat kau katakan bahwa perasaanmu untukku menghilang, aku menganggapmu sudah tiada. Maafkan, karena sumpah serapah dan makian sempat terucap dalam hati sebagai bentuk kekecewaan. Maafkan, karena aku pernah begitu marah saat kau tinggalkan untuk orang lain. Maafkan, karena aku membuang bertahun-tahun waktuku dengan percuma hanya karena aku percaya bahwa sisa dirimu yang dulu masih ada.

Bodoh, ya. Kenapa tak dari dulu saja aku memaksa diriku berhenti? Kenapa tak dari dulu saja aku mendikte hatiku untuk menutup pintunya? Tapi biarlah, aku takkan menyesalinya. Toh, kita pernah sama-sama meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk saling menunggu, meskipun itu dulu, jauh hari sebelum kau benar-benar berubah dan mati.

Kuharap, firasat ini benar bahwa semua sesak yang pernah ada adalah cara Tuhan untuk memisahkan aku darimu. Cara-Nya agar aku sadar, bahwa aku hanya semut kecil yang tak punya kuasa untuk membangkitkan yang sudah mati. Takdir-Nya untuk mempertemukan aku dengan orang yang dapat menerima kekuranganku dengan apa adanya. Bahwa Ia, punya rencana yang lebih baik daripada membiarkanku membuang-buang waktu untuk menunggumu bangkit kembali.

Biarlah, kebaikanmu yang dulu begitu manis jadi pengalaman yang takkan terlupakan bagiku. Bahwa aku, pernah meninggalkanmu lebih dulu sebelum kamu melakukannya. Bahwa aku, pernah egois karena memaksamu mencari-cari apa yang tak bisa lagi kau rasakan. Bahwa aku, pernah bertahun-tahun memperjuangkan seseorang yang kucintai. Bahwa aku, pernah menghabiskan waktuku bertahun-tahun untuk menunggumu yang sesungguhnya takkan kembali. Bahwa aku, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memeluk keikhlasan.

Maka, carilah bahagiamu karena kau berhak mendapatkannya. Doaku selalu menyertaimu. Bahagiakanlah dirimu, karena aku tak sempat melakukannya. ☺

Wednesday, April 20, 2016

Mengapa Membenciku?

Mengapa membenciku? Sementara, kau sendiri yang pergi begitu saja dan meninggalkan luka. Mengapa membenciku? Sementara, justru kau sendiri yang sepertinya selalu dengan sengaja ingin menyakitiku meski kita sudah tak bersama. Mengapa membenciku? Sementara, ketika kau berkhianat pun aku tak pernah berusaha membalas sakitnya meskipun aku ingin.

Lalu, mengapa membenciku hanya karena aku masih menyayangi jiwamu yang jauh-jauh hari sudah pergi? Mengapa membenciku hanya karena langkahku masih tertatih-tatih sedangkan kau dengan mudahnya dapat berlari? Mengapa membenciku hanya karena aku belum bisa memeluk rasa keikhlasan? Mengapa membenciku hanya karena aku kecewa melihatmu berubah, dan... mati.

Tak puaskah? Tak puaskah jiwamu yang telah berubah bengis melihatku lemah dan kesulitan menahan tangis? Atau, kamu takut jika aku akan merengek seperti dulu untuk memintamu kembali? Maaf saja, tapi aku tak semenyedihkan yang kau pikir. Meski aku membiarkanmu tahu bahwa aku pernah dan masih merindukanmu, perihal bersama, memaksa bukanlah kuasaku, dan menghalalkan segala cara agar inginku tercapai bukanlah tabiatku.

Maka, andai suatu hari nanti kau butuh aku (lagi) dalam hidupmu, katakan saja sendiri, karena aku sudah selesai mengesankanmu.

Sesungguhnya hatiku percaya, sejauh apapun kaki kita melangkah, pun ke arah yang bertolak belakang, jika dalam takdir Tuhan kita memang digariskan bersama, jutaan gadis yang pernah membuatmu tertarik bahkan pernah membuatmu dengan sadar meninggalkanku, takkan mampu mengubahnya. Sebaliknya, jika dalam takdir Tuhan kita memang tidak digariskan bersama, sekuat apapun kita menopang bahu satu sama lain agar tak jatuh, semuanya pasti akan sia-sia.

Sunday, April 17, 2016

Kesia-siaan Rindu

Wajahmu masih dapat kulihat dengan jelas, meski kita hanya sesekali saja bertemu dalam momen-momen tertentu yang tidak kita rencanakan berdua. Meski hanya memandangmu dari radius beberapa meter atau bersalaman singkat seolah tak pernah terjadi apapun diantara kita, dapat kupastikan bahwa keadaanmu lebih baik dari yang kukira.

Meski kutahu bahwa yang kutatap setahun kebelakang bukanlah dirimu, berkenankah kau hadir agar aku dapat memelukmu sebentar saja? Aku, hanya ingin mengenang beberapa saat tempat yang pernah jadi favorit kita masing-masing untuk melepas lelah. Mengenang beberapa saat tempat dimana kita pernah saling menghangatkan selepas kehujanan. Mengenang beberapa saat bahwa aroma kemeja kerjamu pernah membuatku ingin berlama-lama kau peluk. Mengenang beberapa saat bahwa usapan di ujung kepalaku diantara pelukmu yang begitu erat pernah jadi obat paling mujarab saat aku sakit. Dan, hei, bukankah kamu juga menyukai usapan di ujung kepalamu sama sepertiku?

Aku senang bermimpi. Aku senang bisa berada sebentar di dalamnya, meski kutahu bahwa kita tak bisa hidup selamanya di sana. Rangkaian gambar bergerak berdurasi singkat dalam tidur yang mempertemukanku denganmu itu selalu jadi bahagia yang membuatku tak ingin bangun pagi. Meski di sana kamu hanya mematung, tak mengajakku bicara sedikitpun, menatapku dengan enggan bahkan terkesan muak, hingga meninggalkanku jauh di belakangmu karena langkah kakimu yang begitu cepat, aku tetap mensyukurinya karena momen itu tak bisa setiap hari kudapat.

Mengapa tak merangkai mimpi yang lain? Mengapa tak merangkai cerita yang lebih baik dari ini? Mengapa tak mencari kebahagiaan dari kebaikan lain yang masih hidup? Semua tanya itu tak sekali dua kali mampir di telinga. Aku tahu ini salah, bahkan sebagian orang menganggapnya kebodohan. Tapi yang kurasa, aku hanya lupa bahwa rasa nyamanku tak berpindah selama bertahun-tahun. Aku lupa, bahwa perasaan yang kita sebut cinta seringkali membuat kita hilang nalar. Kadang aku lupa, bahwa orang yang sudah mati tak akan bisa bangkit kembali, tak akan hidup lagi. Dan meski perasaan yang tak pernah bisa hilang digerus waktu sekian tahun ini diremuk bahkan diinjak-injak, aku masih saja lupa, bahwa merindukan seseorang yang sudah mati itu sendiri adalah kesia-siaan.

Sunday, April 10, 2016

1

Almira memejamkan mata sambil memeluk lengan Dito yang hangat, tempat ternyaman dari semua tempat yang pernah jadi favoritnya. Aroma white musk yang samar tercium dari kemeja kerja Dito membuat Almira mengeratkan lagi pelukannya.

"Aku nggak kemana-mana, kok, Al."

Bahagiaku hanya sebatas dipelukmu, Dit. Semoga bahagia ini selamanya. Walau kutahu takkan ada selamanya, setidaknya untuk saat ini dan beberapa saat kedepan yang kutahu, kamu ada.

Almira mengangguk, kemudian tersenyum. Bibirnya tak bergerak, hanya menimpali ucapan Dito dalam hati.

"Al... bangun."

Almira mengerjapkan matanya, samar-samar menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7.  Punggungnya terasa pegal karena semalaman tidur dengan posisi duduk bersandar pada matras dimana Dito terbaring lemah.

"Lo nggak pulang semalam? Semalam gue nggak bisa ke sini, nyokap sakit soalnya. Lo kenapa nggak telepon gue aja?"

"Eh? Kayaknya gue ketiduran, deh, Ras."

"Iya, gue tahu. Lo ngigau tadi. Ya udah, yuk, gue anter pulang. Muka lo pucet, tuh."

"Tapi, yang jagain Dito nanti siapa, Ras? Gue di sini aja, ah."

"Udah, nanti biar gue yang jagain Dito. Balik nganterin lo, gue ke sini lagi."

Almira diam, sejenak tampak berpikir. "Oke, deh."

"Nah, gitu dong." Firas tersenyum lega. Dan entah mengapa, tiba-tiba di hatinya ada rasa ingin menjaga dan melindungi gadis yang beberapa hari terakhir sunggingan senyumnya membuat Firas tak bisa tidur.

Monday, March 28, 2016

Hanya Butuh Waktu

Diperlakukan seperti itu olehmu, rasanya lebih sakit daripada disanding hanya untuk memenangkan sebuah pertaruhan, lebih perih daripada ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya, bahkan lebih sesak daripada mengetahui hubungan yang sudah begitu lama terjalin, akhirnya hancur.

Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya bisa menahan sesakku agar tak berubah tangis. Sedapat mungkin menundukkan kepalaku agar si abang tukang ojek tak dapat melihat mataku yang berubah mendung. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya menatap nanar langit yang tiba-tiba terasa sama sekali yang tak menarik dipandang, juga menekuri lampu-lampu kendaraan yang membuat jalan tampak penuh sesak, hingga yang bisa kulakukan hanyalah mengelus dada sambil menarik napasku yang berubah berat.

Mungkin, menyakitiku sudah jadi hobi baru atau aktivitas favoritmu, yang mungkin, dapat memberikan kepuasan tersendiri saat kamu melakukannya, entah sengaja atau tidak. Mungkin, mempermainkanku dengan pertanyaan yang tak pernah bisa kutemukan jawabannya adalah hal yang menarik buatmu, yang sering orang-orang sebut "tega".

Harusnya perlakuanmu itu dapat membuatku membencimu, seharusnya, ya, seharusnya. Tapi aku tahu, aku tak boleh memilihnya karena ada sekat tipis yang membatasi pilihan itu dengan cinta. Dan aku, nggak ingin membuat diriku lebih dalam lagi merasakan hal itu, karena semakin aku merasakannya, aku tahu, tak akan pernah ada harganya rasa itu buatmu.

Ternyata, nasihat sahabatku ada benarnya. Bahwa pilihanku untuk menunjukkan perasaan yang menurutmu tak pernah ada nilainya, adalah salah besar.

Entahlah. Mungkin, aku hanya perlu mematikan saraf-saraf yang selalu membuat hatiku berubah sesak tiap mengingat atau melihatmu. Mungkin, aku hanya perlu membuka diri untuk seseorang yang bisa menghargai kesabaran. Mungkin, aku hanya perlu lebih kuat dan mengeraskan hati, agar kamu tak akan bisa menyakitinya lagi.

Tenang saja, aku tak apa. Aku, hanya butuh waktu yang lebih lama.

Tuesday, March 22, 2016

#nowplaying : Daughtry - Life After You

Air mata ini sudah kering, namun dapat basah kembali jika mengingat apapun tentangmu. Hati ini sudah beku, namun dapat mencair kembali jika mengenang banyak hal baik dalam dirimu.

Jika Tuhan menakdirkan perasaanmu benar-benar hilang, biarlah, karena Ia Maha Berhak atas segala hal yang dimilikiNya. Ia sebaik-baiknya Pemurah, sebaik-baiknya Pengasih, dan sebaik-baiknya Penawar luka.

Aku, hanya seorang hamba yang tak dapat memaksa apapun padaNya. Hina, dan hanya datang padaNya saat aku tak tahu kemana harus melarikan diri. Aku, yang meski merengek, menangis meminta kembali bahagia yang dulu pernah kupunya, jika Ia tak menghendakinya, maka takkan pernah hal itu terjadi meski aku memintanya datang cukup hanya dalam mimpi.

Ya. Kukira, aku masih punya kesempatan. Persis sepertiku dulu, yang memberikan kesempatan diriku agar dapat mencintaimu lebih baik. Kukira, aku masih punya kesempatan untuk memberi maaf dan kesempatan untukmu yang ke-entah-sekian kalinya. Kukira, kamu masih dapat menghafal dengan baik kemana jalanmu pulang seperti biasanya. Tapi sekali lagi, aku salah.

Hhhhh.... sudahlah, sepertinya aku harus bersedia menampar diriku sendiri. Berteriak bahwa luka yang kuciptakan sendiri ini sudah lebih dari cukup. Sepertinya, aku harus membiasakan diri dengan sesak-sesak lain yang mungkin akan datang. Menahannya agar tak berubah lagi jadi bulir dari kedua ujung mata yang selalu keluar sia-sia.

Ternyata, aku tak pandai menebak, ya? Iya. Aku baru sadar bahwa cerita yang kupikir akan berjalan seperti biasanya telah menemui akhirnya. Mungkin sebaiknya, aku harus mulai dapat menerima bahwa analisaku ini salah.

Kamu boleh mengaku telah berhenti mencintaiku, tak pernah merindukanku, atau tak pernah menguntitku di social media manapun milikku. Kamu boleh mengaku bahagia dengan hidupmu yang sekarang, bahkan mengaku ingatanmu tentangku sama sekali sudah tak ada. Dan kamu boleh tertawa merendahkan, tersenyum sinis, atau merasa bangga karena telah memenangkan gengsimu saat membaca tulisan ini.

Bodoh? Menurutmu dan orang lain, mungkin iya. Tapi menurutku, aku hanya tak ingin membuka dan membagi hatiku dengan selainmu. Maka sekali lagi kuingatkan, jangan mengasihani aku perihal perasaan. Karena perasaan, adalah anugerah Tuhan yang tak bisa kupilih untuk kujatuhkan pada siapa. Selamat malam.

Saturday, March 19, 2016

Aku Tahu (Diri)

Kini sudah lewat tengah malam, bahkan hampir pagi. Sudah bolehkah aku bercerita? Aku, ingin mencurahkan isi hati yang mungkin tak pernah ingin kau dengar.

Jika diibaratkan, mungkin, seperti berharap akan turun hujan deras seharian di tengah kemarau panjang. Atau, seperti berharap akan melihat cahaya matahari saat mendung menghiasi awan. Atau, seperti berharap melihat pinguin di hamparan gurun Sahara. Atau, seperti berharap dapat nilai sepuluh di tiap ulangan matematika.

Aku, hanya lelah. Bahkan mengeluhpun kini rasanya melelahkan. Aku lelah, memendam keluhku tanpa bisa kubagi bersamamu seperti biasanya. Ah, tidak, seperti setahun lalu maksudnya. Dan, ya... tanpa kau beritahu, aku tahu ini salah.

Ya, aku tahu hidupmu sudah melaju, jauh. Meninggalkan dirimu dengan kesederhanaan yang akhirnya bisa kupelajari perlahan-lahan untuk dapat kuterima, yang pernah melengkapiku, dulu.

Aku tahu, kenangan yang kini sudah terbakar dan jadi abu, tak akan bisa kuubah menjadi selembar kertas utuh. Aku tahu, bahumu yang lebar dan nyaman, mungkin kini sudah jadi tempat favorit untuk melepas lelah bagi gadis yang tangannya selalu kau genggam, kau jaga agar tak jatuh. Aku tahu, telapak tanganmu yang besar itu kini tak akan bertaut dengan milikku lagi meski hanya dalam mimpi. Aku tahu, berharap suatu saat nanti keras hatimu mencair hingga membuatmu akan datang mencariku adalah hal yang mustahil.

Meski sudah mengenalmu bertahun-tahun, nyatanya, tak selalu perasaanmu bisa kutebak dengan benar. Dan ketika sesak ini sudah tak dapat lagi kusimpan rapat, aku tahu, pada akhirnya kamu akan tetap tak peduli seperti biasanya. Jadi tolong, jangan kasihani aku seolah aku sedang mengemis agar rasaku berbalas. Dan jangan kasihani aku hanya karena aku masih merasa bahwa baru saja kemarin kau begitu takut kehilanganku.

Friday, March 11, 2016

Penantian (3)

Di Kafe Dekofi, jam 1 siang.

Almira mengedar pandangan ke sekeliling ruang kafe, mencari sosok yang samar-samar masih dapat diingatnya.

"Al!"

Seorang pria jangkung berkumis tipis dan belesung pipit lebih dalam dari miliknya itu melambaikan tangan ke arahnya. Dengan helaan nafas dan langkah yang terasa makin berat, Almira berjalan menuju meja nomor 10 dimana pria itu duduk.

"Hei, apa kabar?" Sapanya ramah, kemudian menjabat tangan mungil Almira.

"Baik, lo sendiri?

"Alhamdulillah, baik. Mau pesen apa?"

"Ice cappucino aja, Ras."

Firas melambaikan tangannya untuk memanggil waitress yang sedang berdiri sambil memeluk tray hitamnya di depan kasir, lalu menyebutkan menu yang hendak dipesan ketika gadis berambut sebahu yang tampaknya baru lulus SMA itu sampai di depan meja mereka dengan buku catatan kecil dan bolpoinnya.

"Ice cappucino-nya, dua ya, mba."

Firas menarik kursinya lebih dekat dengan Almira setelah waitress itu selesai mencatat pesanan dan berlalu.

"Eng, gini..." Firas bingung memulai pembicaraan mengenai maksud dan tujuannya menemui Almira. "Gue... nemuin elo atas permintaan Tante Ami karena udah seminggu Dito koma, Al..."

"A-apa, Ras? Lo pasti bercanda, kan? Tenggorokan Almira tercekat. Matanya tampak membendung bulir air yang sedetik kemudian pasti tumpah.

"Seminggu yang lalu, Dito kecelakaan."

Penjelasan Firas tertunda karena waitress tadi telah kembali dengan dua gelas ice cappucino di atas traynya. Setelah mengucapkan 'selamat menikmati' dengan seulas senyum ramah, waitress itu melenggang pergi untuk melanjutkan tugasnya.

"Seminggu yang lalu, Dito kecelakaan, Al." Ulangnya. "Kata dokter, di kepalanya ada luka serius karena benturan benda tumpul. Dokter juga nggak bisa mastiin kapan Dito bisa siuman."

"Masya Allah..." Almira membekap mulut dengan kedua tangannya, menahan tangisnya agar tak pecah.

"Maka dari itu, Tante Ami minta gue nemuin elo. Tante Ami berharap, kehadiran elo bisa ngebantu Dito cepet sadar."

Almira menghembuskan nafas berat dari dadanya yang kini terasa sesak, lalu menyeka air mata yang akhirnya tumpah.

"Antar gue ke sana sekarang, Ras."

----------------------------------------------

Debar jantung Almira berkejaran seiring langkah yang sengaja ia percepat saat menyusuri koridor rumah sakit bersama Firas disebelahnya, membuat Firas ragu untuk mengajaknya bicara karena peluh cemas tampak mengalir dari dahinya.

Dari kejauhan, tampak seorang wanita beranjak dari duduknya lalu melambaikan tangan, seperti tak sabaran menyambut gadis itu ke pelukannya.

"Tante..." Almira memeluk Tante Ami dengan nafas yang masih terengah-engah, juga mata mendung yang sebentar lagi menghujan.

"Maaf, kalau kita harus bertemu dalam situasi seperti ini, ya, sayang..." Ucap Tante Ami lirih sambil mengusap lembut kepala Almira.

Tante Ami mengendurkan peluknya. Ia menggenggam erat tangan Almira, lalu menyeka air matanya. "Dito baik-baik aja kan, Tante?"

Firas yang tadi ada beberapa langkah di belakang Almira memilih diam saja. Hatinya terenyuh melihat tetes-tetes bening yang jatuh dari ujung mata gadis itu karena rasa cemas dan takutnya. Saat menatap matanya, Firas tahu, gadis itu masih mencintai sahabatnya meski hari telah berganti tahun.

"Kamu jenguk Dito sekarang, ya, sayang. Tolong temani dia. Tante harap, kehadiran kamu bisa membantu."

Ayah Dito bangun dari duduknya, lalu tersenyum. "Kamu nggak keberatan kan, Al?"

"Iya, Om Damar, Tante Ami. Almira masuk dulu, ya." Ucap Almira setelah menarik nafasnya dalam-dalam.

Air mata Almira kembali mengalir saat melangkahkan kakinya menuju kamar rawat Dito. Setelah mencuci tangan dan memakai baju pelapis khusus, ia melangkah dengan gemetar yang menjalari kedua kakinya, mendekati Dito yang terbujur lemah diatas tempat tidur berseprai putih yang tampak tak nyaman itu.

"Hai, Dit."

Almira menyapa mantan kekasihnya itu dengan seulas senyum yang menyimpan kesakitan. Bukan sakit karena pernah ditinggalkan, tapi sakit karena melihat pria yang dicintainya kini tak berdaya, yang bahkan untuk membalas sapanya saja tak mampu.

Gadis itu duduk di atas kursi yang ada di sebelah tempat tidur Dito, menatap wajah Dito yang memucat dan menyadari bahwa tubuh Dito kini jauh lebih kurus dari saat terakhir kali mereka bertemu.

Almira mengusap pelan punggung tangan kiri Dito yang tertusuk jarum infus, dan hujan itu turun lagi dari matanya. "Hei... apa kabar?"

Hening. Hanya bunyi bip berulang-ulang dari bedside monitor yang ada di sebelah tempat tidur Dito yang menjawab pertanyaannya. Tapi Almira percaya, Dito pasti bisa mendengarnya di manapun ia berada.

"Nggak kerasa, ya, Dit. Udah satu tahun kita pisah. Kebayang nggak, kayak gimana perasaan aku saat harus ketemu kamu lagi dengan kondisi kayak gini?"

"Kamu tahu, sayang? Meskipun kamu udah jauh melangkah meninggalkan aku di belakang kamu, meskipun aku sekarang udah sama Erik, meskipun mungkin, udah ada seseorang lain yang menggantikan aku di hati kamu, aku nggak bisa bohong, Dit. Aku nggak bisa bohong kalau aku masih sayang sama kamu."

Almira meraih punggung tangan kanan Dito, lalu mengusap dan menggenggamnya erat.

"Kamu tahu? Di hari ulang tahunku kemarin, aku berharap banget bisa ketemu kamu, Dit. Aku berharap, waktu yang kita lewatin sendiri-sendiri semenjak kita pisah, bisa aku tarik lagi buat aku habisin bareng kamu. Aku kangen kamu, sayang... Ayo, bangun..."

Almira mencium kening Dito, lama sekali, hingga air matanya yang enggan berhenti kini jatuh membasahi mata mantan kekasihnya itu.

Tanpa sadar, di celah jendela yang tak tertutup tirai hijau, wanita paruh baya yang biasa Dito panggil Bunda mengintip dari sana. Mengusap air matanya yang jatuh dengan jilbab lebar biru muda yang kini dipakainya.

"Bangun, sayang... aku di sini buat kamu..."

Almira mengusap air mata yang sesaat lalu jatuh membasahi wajah Dito. Ia menatap lekat-lekat wajah pucat itu, lalu menggenggam pipi tirus Dito dengan kedua tangan mungilnya sambil mengucap sebait doa dalam hati.

Penantian (2)

Mimpi indah Almira seketika buyar saat refrain lagu Still Into You - Paramore menggema dari ponselnya. Gadis berlesung pipit itu meracau sendiri, kesal karena tidurnya yang baru berlangsung selama 4 jam itu terganggu.

Ini kan hari sabtu, bisa-bisanya gue lupa buat non-aktifin alarm! Keluhnya sambil menguap, lalu mengerjapkan matanya yang sayu, khas orang yang baru saja bangun tidur.

Almira melirik jam dinding yang kini menunjuk angka 7 dengan sebelah mata. Seberkas cahaya dari jendela kamar yang tirainya sudah di buka mama pagi-pagi buta itu kini terasa sangat menyilaukan. Almira membaringkan dirinya kembali dalam balutan selimut beludru tebal warna hijau toscanya, mencoba menikmati sisa-sisa jam tidur yang ia rasa masih bisa didapat.

+6285710110XX
Calling...

Ponsel yang terbaring di atas meja di samping tempat tidurnya itu kembali berdering, namun kini melantunkan refrain lagu yang berbeda dari sebelumnya. Almira membenamkan kepalanya dibalik bantal berbentuk buah stoberi kesayangannya, lalu berteriak,

Ya, ampun! Apaan, sih?! Ini hari sabtu dan masih jam 7 pagi!

Almira mengulurkan tangannya, meraba permukaan meja di samping tempat tidurnya dengan hati-hati, kemudian mengambil seonggok benda yang sudah mengganggu pagi santai di awal akhir pekannya.

"Halo?! Ini siapa, sih?!" Sapa Almira ketus.

"Sori banget, Al, kalo gue ganggu lo sejak semalem." Suara cowok terdengar dari seberang sana. "Ini gue, Firas. Masih inget?" Lanjutnya.

"Fi-ras?" Mata sipit Almira langsung terbelalak saat suara di ujung teleponnya menyebutkan nama. "Ini... Firas sahabatnya Dito?" Lanjutnya dengan debar jantung yang berubah tak keruan.

"Ada hal yang mau gue sampein, tapi nggak bisa lewat telepon. Lo ada waktu nggak siang ini?"

Almira mematung beberapa detik. Masih bertanya-tanya, hal apa yang membuat sahabat Dito itu ingin bertemu dengannya. Firasat Almira berkata, sesuatu yang buruk telah terjadi pada pria yang saat ini masih memegang penuh kendali atas hatinya.

"Iya. Bisa, kok. Kita ketemu di Kafe Dekofi aja, ya. Jam 1 siang."

"Oke."

Tut...Tut...Tut...

Sambungan telepon dimatikan oleh Firas lebih dulu.

Almira bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di kursi meja riasnya. Ia meremas-remas jarinya, gusar memikirkan apa yang ingin Firas sampaikan padanya siang nanti.

Ya Allah, semoga nggak terjadi hal yang buruk padanya, batinnya memohon pada Sang Ilahi, berharap doa di awal paginya di ijabah.

Penantian

Almira kembali ke rooftop setelah mengantar Erik yang hendak undur diri untuk pulang hingga daun pintu rumahnya, menikmati malam yang tinggal beberapa jam lagi tersisa.

Ada gemuruh di hatinya, semacam rasa takut, bersalah, dan sedih yang bertabrakan dan melebur jadi satu. Memporak-porandakan pikiran hingga membuat matanya masih setia terjaga selarut ini. Apa mungkin Erik tahu bahwa akhir-akhir ini ia sangat merindukan Dito?

Almira mengambil potongan kue yang lempengan-lempengan coklatnya sudah tampak meleleh, yang tadi ia berikan untuk Erik namun tak disentuhnya, pun hanya untuk mencicip secolek saja, kemudian menyuap satu sendok penuh coklat leleh itu ke dalam mulutnya.

Aku sayang kamu, Al. Aku cuma pengin lihat kamu bahagia.

Kalimat yang setengah jam lalu diucapkan Erik itu terus terngiang di kepalanya. Lagi, dan lagi.

Ya, Tuhan, harusnya aku tahu, memaksakan hal yang tak pernah kucintai sebelumnya pasti nggak akan mudah. Termasuk melumat satu sendok penuh lelehan cokelat ini, batinnya.

Almira menutup wajahnya yang lelah dengan kedua telapak tangan sambil memaksa kerongkongannya untuk tetap menelan, karena ia tak suka rasa terlalu manis yang dihasilkan dari coklat yang kini tengah dilumatnya. Bulir kecil dari ujung kedua matanya menetes, mengingat ketulusan Erik yang masih saja tak dapat dibalasnya dengan ketulusan yang sama.

Almira tahu, merindukan seseorang di masa lalu saat ia sudah memiliki seseorang yang bisa lebih baik menjaganya bukanlah hal yang patut untuk terus-menerus dilakukan. Namun, ini hati, bukan ponsel berbasis robot pintar yang bisa ia atur dan menjalankan semua fungsi sesuai dengan keinginannya.

Permukaan meja kayu yang mulai basah dengan rintik-rintik gerimis yang baru saja turun membuat gadis pemilik senyum termanis di mata Erik itu bergegas, memindahkan benda-benda kejutan yang dibawa Erik untuknya tadi ke meja yang ada di teras rooftop.

Meski rintik hujan berangsur deras, Almira belum ingin pergi tidur. Ia masih ingin singgah, duduk di atas sofa yang bernaung di bawah kanopi besar itu. Kini, ruang di otak kanan dan kirinya, terbagi sama rata untuk Dito dan Erik.

Drrt... Drrt...

Refrain lagu Minority menggema dari ponsel Almira, bersamaan dengan getar tak sabaran dari dalam saku celana pendeknya. Almira menyeka sisa air yang membasahi pipinya, lalu mengernyitkan dahi saat melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya selarut ini.

Dibiarkannya ponsel itu meraung-raung, enggan menjawab.

----------------------------------------

Jam tangan Firas kini menunjukkan pukul 1 malam. Ia duduk, lalu berdiri, lalu duduk, lalu berdiri sambil sesekali melirik ke ruang rawat sahabatnya, Dito.

Bunyi bip berulang-ulang dari bedside monitor di ruang ICU berbunyi seiring detak jantung Dito yang melemah. Sudah satu minggu, Dito terbaring tak berdaya dalam ruangan yang berbau kimia menyengat itu. Hanya dadanya yang bergerak naik turun, yang menandakan ia masih dapat bernafas.

Firas bangkit dari duduknya, memangkas jarak diantara ia dan kedua orang tua Dito yang masih setia memantau keadaan putranya dari celah kaca yang tak tertutup tirai.

"Om, tante, ini udah larut malam. Om sama tante lebih baik pulang, biar Firas yang jaga Dito di sini. Om sama tante kan, udah berhari-hari nunggu kabar yang nggak kunjung dapat kejelasan. Mendingan om sama tante istirahat dulu. Kalo ada apa-apa pasti langsung Firas kabarin."

Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu mencengkeram erat lengan suaminya. Pipinya yang basah karena sisa-sisa air mata tampak berkilau terpantul cahaya lampu koridor rumah sakit.

"Iya, ma. Lebih baik kita pulang dulu, besok pagi kita ke sini lagi."

Tangan Ayah Dito mengusap lembut lengan istrinya. Berusaha menenangkan wanita berjilbab lebar warna salem itu, yang kemudian hanya dijawab dengan anggukan kepala.

"Beneran, Ras, kamu nggak apa-apa kalo jagain Dito semalaman di sini?" Lanjutnya.

"Iya, om. Lagian, Firas kan biasa begadang kalo ngerjain tugas kuliah. Om sama tante nggak usah khawatir." Ucap Firas diakhiri sunggingan senyum tulus.

Wanita yang biasa disapa Tante Ami itu akhirnya bersuara setelah berjam-jam menangisi nasib putranya yang masih tak sadarkan diri. Yang tak kunjung membuka mata dan memanggil namanya sejak kecelakaan beruntun dalam perjalanannya dari Bandung kembali menuju Jakarta, tepat satu minggu yang lalu.

"Tolong jagain anak tante, ya, Firas. Bantu doakan, supaya nggak terjadi hal buruk sama Dito."

Tante Ami melepas cengkeramannya dari lengan suaminya, lalu menyeka air matanya yang kembali jatuh dengan tisu.

"Tante juga minta tolong untuk hubungi Almira kalau kamu punya kontaknya. Tante ngerasa, beberapa bulan terakhir, Dito kelihatan sedih terus. Sesekali tante pernah lihat dia buka-buka album foto lamanya bareng Almira. Mungkin kalau kamu bisa datengin Almira ke sini, itu akan membantu kesembuhan Dito."

"I... iya, tan. Nanti coba Firas hubungin. Kayaknya Firas masih simpen nomornya. Tapi, tan... itu..." Lidah Firas kesulitan menyusun kata untuk memberikan penjelasan. "Eng... dulu, Dito pernah bilang, kalau Dito nggak mau ganggu Almira lagi. Dia pernah bilang sama saya, kalau suatu hari terjadi sesuatu, dia nggak pengin kasih tahu Almira, karena katanya... karena katanya, Dito nggak mau lihat Almira nangis lagi."

"Sudah, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Mungkin ini sudah jalan Allah untuk mempertemukan mereka kembali, meskipun harus dengan keadaan seperti ini." Tangan wanita itu mengepal kaku, kemudian meremas-remas jarinya sebagai upaya menahan tangis. "Tante mohon, ya, Firas. Bantu Dito untuk dapatkan kekuatannya agar dia bisa sadar kembali."

Tangan Tante Ami beralih mengguncang bahu Firas, menatapnya penuh harap.

Saturday, February 20, 2016

Firasat

"Hei, sayang... selamat ulang tahun."
Sapa Erik dari belakang punggung Almira, menjulurkan kue tart tiramisu dengan dua buah lilin angka 2 di atasnya lewat tangan kanan. Di tangan kirinya, Erik menggenggam sebuket bunga berisi 22 tangkai mawar putih, varian bunga favorit Almira.

"Ya, Tuhan... Erik..."

Almira yang tengah duduk menyendiri di rooftopnya terkejut, bahkan tak ingat bahwa tepat tengah malam ini hari ulang tahunnya tiba. Tak lama kemudian, Papa dan Mamanya menyusul, mereka muncul dari persembunyian beberapa saat lalu di balik sofa dengan party popper di genggaman dan topi kerucut warna keemasan bertuliskan "HAPPY BIRTHDAY" di kepala mereka masing-masing.

"SELAMAT ULANG TAHUN, NDUK!" Seru kedua orang tuanya kompak, lalu memeluk dan mencium putri semata wayangnya bergantian.

"Makasih, Pa, Ma..." Almira memeluk kedua orang tuanya erat.

"Cepet ditiup lilinnya. Make a wish dulu, ya." Ucap Erik setelah berhasil menarik kursi dengan sebelah kakinya dan duduk di hadapan Almira yang menatapnya penuh haru.

Almira memejamkan matanya seraya berbisik dalam hati.

Ya Tuhan, tiada yang tak mungkin jika ridhaMu menyertai tiap harapan yang kuucap dalam doa. Maafkan aku jika ini terkesan tak pantas karena sesungguhnya semua ini lebih manis dari kenangan yang bertahun kusimpan sendiri dan selalu enggan kusingkirkan. Tapi, bolehkah aku bertemu Dito lagi? Bolehkah kutahu, masihkah ada namaku di ruang hatinya? Meski mungkin saat ini gadis lain bisa saja sedang mengisi ruang itu, maafkan aku, karena inilah sesungguhnya yang kuingin. Seandainya Kau tak berkenan, izinkan semua perasaan yang kumiliki untuk Dito, bisa kurasakan pada Erik. Aku tahu, sekeras apapun hatiku ingin, takdirMu adalah yang terbaik. Maka, salahkah aku tetap merayuMu akan apa yang paling kuinginkan dalam hidup?

Almira membuka kedua matanya yang beberapa saat lalu terpejam, lalu lirih mengucap amin. Lilin telah meleleh hampir setengah bagian karena lantunan doa Almira yang cukup panjang begitu lantang terucap dalam hati.

Nyala api di atas lilin padam seiring tiupan yang berhembus penuh harap dari mulut Almira. Gadis itu tersenyum penuh rasa syukur, meski tak dapat memungkiri bahwa dirinya masih merasa tak lengkap.

"Kamu nakal banget, sih! Kemarin katanya belum bisa pulang sampai awal bulan nanti! Dasar, nyebelin!" Almira menarik jambul yang sudah susah payah dibentuk Erik dengan styling wax selama setengah jam lamanya, demi penampilan sempurna di hari spesial gadis yang selama satu minggu ini begitu dirindukannya, kemudian memukul Erik pelan dengan buket bunga hantarannya tadi.

"Hei, jangan buat mukul, dong, nanti buket bunganya rusak. Sepanjang jalan, aku bawanya hati-hati banget, lho, itu." Keluh Erik lalu mencubit gemas hidung bangir Almira. "Cepet potong kuenya! Kita kan laper. Bener kan, Om, Tante?"

Papa Almira membuka topi kerucut yang sejak setengah jam lalu bertengger di kepalanya, menggaruk gatal karena karet tipis yang ada di topi tersebut meninggalkan bekas garis di dagunya yang polos tanpa janggut.

"Mamamu ini ada-ada aja, Al. Masa Papamu yang macho disuruh pakai topi anak kecil begini. Tuh, lihat, dagu Papa langsung gatal."

Mama Almira menepuk bahu suaminya. "Kamu ini! Lah wong belum tentu setahun sekali bisa nyempetin waktu buat ikut kasih kejutan gendukmu satu-satunya, pakek ngeluh!"

Sementara Mama dan Papa Almira berdebat kecil, Almira memotong kue tartnya menjadi beberapa bagian. Satu potong besar dengan whipped cream dan irisan buah ceri lebih banyak, diberikan Almira untuk kedua orang tuanya, sedang potong selanjutnya yang lebih banyak cokelatnya, diberikannya untuk Erik.

"Duh, mentang-mentang nggak suka cokelat, semua-mua yang ada cokelatnya dikasih ke aku." Erik tersenyum maklum.

"Al, Papa sama Mama turun duluan, ya, mau nonton berita malam dulu di ruang tamu." Ucap Papa Almira sambil merangkul bahu istrinya. "Yuk, Rik." Papa Almira kemudian menyapa Erik yang mungkin masih ingin memberikan kejutan manis lain untuk putri semata wayangnya, lalu diikuti anggukan sopan istrinya sebelum berlalu.

Seiring derap langkah kaki kedua orang tua Almira yang menjauh, Erik menarik resleting tas punggungnya. Kelima jarinya merogoh isi tas, mengambil sebuah kotak kecil berwarna navy dengan simpul pita warna putih.

"Semoga kamu suka, ya, Al." Ucap Erik dengan senyum yang selalu terlihat menawan, namun nada suaranya terdengar kecewa.

Almira membuka kotak hadiahnya penuh antusias, lalu menutup mulutnya yang kini membulat karena terpana akan isi kotak tersebut. Sebuah cincin dengan serpihan permata berukuran sangat kecil yang mengelilingi permukaannya, tampak begitu anggun. Erik menggenggam jemari mungil Almira, menyematkan cincin cantik itu di jari manisnya.

"Kalo suatu saat nanti kita nggak sama-sama lagi, kamu harus tetap jaga cincin ini, ya, Al." Erik mendekap jemari Almira erat, seolah tahu, bila suatu saat kebahagiaan ini cepat atau lambat akan pergi.

"Erik! Apaan, sih, kok ngomongnya gitu?! Aku nggak suka, ah."

"Aku sayang kamu, Al. Aku cuma pengin lihat kamu bahagia." Erik mengecup ujung kepala Almira, kemudian menyegerakan pamit untuk pulang karena malam sudah semakin larut.

Thursday, February 18, 2016

Apa Salahnya?

Apa salahnya memilih tetap sendiri? Apa salahnya susah move on? Apa salahnya tak bisa berpaling ke lain hati?

Ketika kamu menyayangi seseorang, ada separuh ruang hati dan memorimu yang terbagi untuknya. Itu sebabnya, mengapa saat semua kebahagiaan dan hubungan itu berakhir, memori yang terekam saat kamu bersamanya tak akan hilang begitu saja, seiring hubungan yang sudah diakhiri tersebut.

Ketika kamu mencoba menyamankan diri dengan kehadiran orang lain, namun hati tak pernah berhenti merindukannya. Ketika kamu mencoba membagi memorimu untuk seseorang yang kamu sebut sebagai penolongmu dari rasa sakit hati, namun hati masih diam-diam berbisik ingin semua kembali seperti dulu.

Berharap, semua bahagia itu kembali. Berharap, suatu saat dia menyadari penantian sabar menahunmu. Berharap, diantara kesibukannya setiap hari, dia masih menyisihkan satu menit dalam waktu panjangnya untuk merindukanmu. Berharap, Allah mendengar bait doa yang kamu ucap untuknya diantara Bismillah dan Aminmu.

Tak ada yang lebih menyiksa dibanding memiliki perasaan untuk seseorang yang sudah jauh melangkah, melesat cepat, dan berubah menjadi monster yang tak kamu kenal. Seseorang yang kamu percaya tak akan pernah menyakitimu bahkan hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seseorang yang kamu percaya dapat menjagamu dari kesedihan yang diciptakan dunia. Seseorang yang kamu percaya tak akan mengkhianati kepercayaanmu. Seseorang yang kamu percaya dapat menghargai perasaan yang sudah susah payah kamu ciptakan untuknya.

Ya. Rasanya kurang lebih seperti itu. Meski bertahun telah lewat, nyatanya aku masih jadi gadis yang cengeng. Tak kuasa menatap tempat-tempat yang mengingatkanku akan memori indah yang tak pernah bisa kuhapus.

Di samping jembatan penyebrangan, di belakang lampu merah Jalan Iskandarsyah II, tempatmu biasa menjemputku sepulang bekerja, melewati menit-menit yang membosankan dengan menatap lalu-lalang kendaraan atau bermain sudoku di handphonemu untuk menungguku. Di depan proyek hotel yang dulu hanya puing, namun kini telah rampung dan jadi hotel berbintang yang megah dan elegan, tempat kita berteduh sementara dari hujan yang turun di malam hari ulang tahunku. Di depan teras rumahku, saat kamu mencoba menggendongku yang tak seberat sekarang. Di depan gerbang saat aku hendak melepasmu pulang, mengelus pundakmu seraya berucap "hati-hati, ya."

Salahkah merindukan semua hal sepele itu meski kamu tak merindukannya sebanyak aku mengingat setiap detilnya? Salahkah mengingat hal yang pernah membuatku bahagia meski mungkin tak sama halnya denganmu? Salahkah jadi gadis susah move on karena terjebak perasaan yang dicobanya susah payah, namun ketika berhasil, dengan mudah kamu membuangnya?

Aku tak bisa berkata cukup pada hati yang lukanya masih basah. Aku mungkin bisa bicara pada nalarku dengan mudah, tapi, kamu tahu bahwa hati tak pernah sejalan dengan nalar, kan? Jika inginmu adalah menghukumku atas apa yang pernah kamu rasakan dulu, kamu berhasil.

Aku tahu, segala yang telah berubah tak dapat diubah seperti dulu lagi. Perasaanmu, sikapmu, kesederhanaanmu yang membuatku belajar cara menyayangimu sedapat mungkin, kebaikan hatimu yang bahkan tak pernah terlintas untuk berpikir ingin menyakitiku. Bertahun tak dapat berpaling dariku. Bertahun memenuhi post di social mediamu dengan ungkapan siratan rindu yang tak berani kau sampaikan. Bertahun membohongi perasaanmu sendiri.

Aku tak akan pernah melupakan, dan tak akan bisa menjelaskan mengapa  hal itu terus saja kulakukan, meski ribuan kali kamu selalu menanyakan alasannya.

Monday, February 15, 2016

Nostalgia

Hari itu, kita berbincang hingga malam. Membicarakan keresahanku perihal persahabatan yang tengah diuji. Kamu menyimaknya dengan seksama, meski hanya lewat pantulan barisan huruf yang membentuk kalimat sedih di layar PC-mu.

Lucu, ya. Saat menyadari, kita pernah saling jatuh cinta lewat berbagi curahan hati. Saat menyadari, bahagia kita saat itu cukup dengan melihat kehadiran masing-masing di tempat duduknya. Saat menyadari, ruang hati kita pernah berbunga-bunga ketika melihat notifikasi pesan baru di kotak masuk akun Facebook masing-masing.

Bisakah kamu hitung berapa banyak waktu yang telah berlalu sejak momen itu terjadi? Tiga, empat, atau bahkan mungkin, lima tahun?

Aku masih ingat, sekembalinya kita dari tiga bulan masa prakerin ke sekolah, kamu memintaku menemuimu di depan kelas, setelah malam sebelumnya mengirimkan pesan singkat berisi, "Aku punya sesuatu buat kamu. Besok dateng agak pagian, ya."

Kamu tahu? Hadiah itu, meski mungkin menurutmu tak mahal dan tak pernah kuanggap berharga, bagiku, itu adalah hadiah terbaik sepanjang hidupku.

Boneka beruang warna putih susu yang memeluk bantal hati warna merah bertuliskan "I Love You", yang kamu berikan dengan gaya polos khas anak SMA yang baru saja jatuh cinta, sambil berucap, "Semoga suka, ya."

Boneka beruang yang kamu beli dengan sisihan gaji pertamamu untuk gadis yang begitu kamu sayangi saat itu. Boneka menggemaskan yang kuberi nama Bonnist, namun kini lebih sering kusebut Bo karena kamu telah menghilang, bersamaan dengan bantal hati yang digenggamnya.

Boneka yang menggantikan nyaman bahumu yang kini tak dapat lagi kupeluk. Boneka yang masih setia jadi penghiburku saat aku merasa sedih dan ingin menumpahkan air mata. Boneka yang tak pernah kucoba singkirkan bersama dengan kenangan tentang kita yang muncul saat gerimis mulai turun, semenjak kamu pergi.

"Lucu banget bonekanya. Makasih, ya. Eh, tapi kan, hari ini bukan tanggal jadian kita. Aku juga nggak lagi ulang tahun."

"Nggak apa-apa. Aku pengin kasih kamu sesuatu aja. Daripada uangnya habis buat main warnet."

Sungguh, saat itu pertama kalinya aku merasa begitu dicintai.

Oh, ya. Aku juga masih ingat, bahwa kita sering menghabiskan malam minggu kita untuk janjian 'online bersama'. Kamu merelakan berjam-jam billing warnetmu hanya untuk berbalas chat Facebook denganku, yang biasanya, dua atau tiga jam sepenuhnya kau habiskan untuk melanjutkan war game onlinemu.

Pantas saja, waktu itu kamu marah karena menganggapku tak menghargai usahamu yang sudah rela menyisihkan uang jajan dan menunda war-mu untuk memenuhi janji 'online bersama' kita. Saat aku tak segera membalas rentetan chatmu yang begitu antusias karena sedang sibuk mendownload puluhan lagu Justin Bieber yang sedang hits waktu itu.

Hei, aku juga masih ingat. Saat kita hendak ke Monas sebagai destinasi kencan berikutnya, bentuk usahamu agar aku tak merasa jenuh akan hubungan kita. Tapi, belum juga menjejakkan kaki di sana, Pak Polisi Gendut menyetop motormu dan memberikan surat tilang karena kamu berada di jalur yang salah. Iya, di Bundaran Senayan. Tempat yang kini jadi semakin sempit karena proyek pembangunan jalan layang, pernah jadi memori yang selalu kukenang tentang kita.

Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya aku terbang ke sana. Menemuimu dengan sosok yang masih sederhana. Yang rela duduk berjam-jam di depan PC, dan menjadikan game online sebagai sahabatnya, bukan sebungkus rokok yang asapnya tak pernah kusuka. Menemuimu dengan sosok yang tulus mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Memahami Cancerian keras kepala sepertiku dengan sabar. Mengesampingkan egonya untuk memintaku kembali, meski yang kutahu, Aquarian adalah makhluk paling gengsi sedunia. Bahkan, aku ingin menemuimu di masa lalu hanya untuk mencontek buku PR-mu yang tulisannya tampak tak keruan, dan... berdebat mengenai hal kecil, seperti piket misalnya.

Meski kamu tak merindukannya, percaya atau tidak, nyatanya semua hal itu pernah menarik garis senyumku dan jadi nostalgia indah yang tak pernah bosan kuputar ulang di kepala.

Thursday, February 11, 2016

Abaikan Saja

Entah, aku tak tahu harus memulainya darimana. Bicara perasaan, harusnya kamu tahu, takkan pernah ada alasan mengapa kamu tetap mencintai seseorang.

Mungkin kamu lupa, dulu kamu pernah berada di posisi yang sama sepertiku. Membodohi diri sendiri dengan ekspektasi yang indah akan ujung perjalanan cintamu. Memenuhi ruang hati dengan kenangan yang mungkin kini sudah jauh kamu lupakan. Memenuhi pikiran dengan canda jayus pengantar tidur yang sering kamu ucapkan. Memenuhi dasar lubuk hati dengan harapan bahwa suatu saat nanti pintu hatimu akan terbuka.

Seperti berlari di roda hamster, kamu pasti tahu aku lelah. Entah hanya perasaanku saja yang merasa masih ada yang kamu sembunyikan, karena sengaja menutupi sesuatu hal.

Entah karena memang sudah tak menyayangiku, atau tak ingin menyayangiku, atau hanya karena tak ingin menyakitiku lagi, atau karena kamu benci melihatku menitikan air mata karena menangisi pria brengsek sepertimu.

Apakah ada perasaan puas saat kamu tahu masih ada perasaan itu, yang dengan sulit kuutarakan, yang dengan sulit kamu pahami, yang dengan sulit tersirat walau kamu tahu mengumpulkan keberanian untuk menyampaikannya itu bukanlah hal yang mudah.

Selalu ada bimbang saat aku hendak mengutarakan perasaanku. Karena responmu seolah selalu ingin tahu, tapi rasanya seperti tak peduli. Kamu tahu rasanya diabaikan? Ya, kira-kira sama seperti itu. Saat kamu dengan mudah menanyakan keberadaan sebuah buku tanpa menanyakan kabarku lebih dulu, saat dengan cerianya kamu menanyakan kabar teman sekelas kita yang juga sahabat dekatmu dalam grup percakapan kelas, tapi tak pernah sekalipun menyinggung soal kabarku yang justru seolah kamu hindari, saat dengan bahagianya kamu memasang foto profil bersama seorang gadis yang mungkin saat ini sudah jadi pacarmu, kemudian mem-post tweet bahwa hal itu kebahagiaan besar buatmu.

Aku tak tahu, yang kamu rasakan itu adalah kebenaran, atau gengsi, tak ingin mengakui, menghindar, menolak, mengabaikan, atau berbohong terhadap perasaanmu sendiri. Memaksamu jujur adalah hal yang sulit jika kamu tak merasakan hal yang sama denganku, dengan kata lain, mungkin yang kamu katakan memang benar. Perihal kamu tak pernah merindukanku meski semua post dan tweetmu kadang menyentilku, atau hanya aku yang terlalu sensitif? Padahal, bisa saja semua itu kamu tujukan untuk orang lain, kan?

Ah, iya. Aku lupa bahwa cancerians terlalu perasa. Aku lupa bahwa cancerians takkan melupakan meski hanya secuil memori indah yang pernah terjadi dalam hidupnya. Aku lupa bahwa cancerians dan aquarians sama-sama gengsian. Aku lupa bahwa cancerians susah move on.

Jujur, ingin kusampaikan semua hal yang kupendam setahun lamanya untukmu. Yang kamu tanya, "bagaimana bisa?" atau "kenapa harus kangen sama aku?" atau "kamu masih sayang sama aku?"

Semua akan dapat dengan mudah kujawab jika kamu nggak mengetahuinya, mungkin. Nggak gampang buat seorang cancerians mengaku kalah. Tapi, aku memang sudah kalah, kan? Sudah kalahpun aku tak pernah kamu rindukan, bagaimana jika tidak?

Kadang aku menyesal, menuruti kebodohanku untuk menyampaikan gundukan rindu yang membuncah tak tertahan. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar walau hanya kamu balas dengan respon statis. Tanda tanya. Menggantung seperti kisah Rangga dan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar dengan emot peluk dalam pesanmu yang sudah setahun lebih menghilang dari thread Blackberry Messengerku. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar karena canda jayusmu masih bisa membuatku menyunggingkan senyum, meski tak semanis milik pacarmu. Tapi tak apa, setidaknya kerinduanku sedikit terbayar meski masih ada yang mengganjal, setidaknya, beban hatiku sedikit menguap berkatmu malam ini.

Dan... satu lagi, harusnya kamu tahu, saat seseorang mengesampingkan egonya untuk mengalah padamu, kamu sangat berarti baginya.

Selamat malam, Juliet Echo November November India Sierra.

Semoga mimpi indah menghampirimu malam ini dan malam-malam bahagia dalam hidupmu berikutnya, dan semoga kamu selalu dalam lindunganNya di manapun kamu berada.

Amin.

Saturday, January 23, 2016

Mungkinkah Ini Rindu?

Hari ini, hari ke dua puluh tiga di bulan Januari. Hujan kerap turun meski intensitasnya tak setinggi bulan November. Tapi Almira beruntung, sebab seharian langit tak sedikitpun terlihat berduka. Gumpalan awan seputih kapas terlihat beraneka-rupa, membuat Almira dengan bebas menebak macam-macam bentuk yang ditampilkannya.

Semenjak musim penghujan datang, Almira jarang menghabiskan waktu luang sorenya untuk menunggu senja di rooftop rumah. Memotret keindahan sederhana yang tak pernah membuatnya berhenti mengucap syukur, atau sekedar duduk di sofa yang terlindung di bawah kanopi besar warna hijau toska sambil menyesap teh hijau hangat.

Semburat magis terlukis indah seluas mata memandang, bukti bahwa salah satu karya sederhana Tuhan dapat membuat kita menatap takjub. Matahari seolah bergerak lambat, meminta Almira menatapnya dengan seksama hingga hilang di ufuk barat. Almira menggenggam kamera mungilnya, membidik keindahan objek yang membuatnya begitu terpesona.

Klik.

Tak berapa lama kemudian, hasil foto Almira keluar dari kamera polaroid–pemberian ayahnya sebagai kado ulang tahun yang ke dua puluh satu–miliknya. Warna jingga kemerahan mendominasi foto itu, tetap terlihat cantik meski dengan pencahayaan minim dari lampu kilat kameranya. Almira tersenyum, seperti menemukan kembali sepotong kebahagiaan yang setahun lalu dibawa pergi oleh satu nama yang pernah begitu berarti baginya.

Fidito Rama Kavindra.

"Menurut aku, hasil foto yang bagus itu bukan semata-mata hanya karena dia berbakat atau seorang profesional, tapi karena dia merasa punya keterikatan dengan alam. Mungkin, itu sebabnya kenapa hasil foto kamu selalu terlihat mengagumkan. Eh, aku bener nggak, sih?"

Lagu Pierce yang dibawakan band asal Jepang, ONE OK ROCK, melantun merdu lewat suara Morita Takahiro, mengalir lembut dari earbud yang mengganjal telinga mungil Almira.

~~ I shouldn’t be in your heart...
Either the time we have spent...
And I want you to know what the truth is,
But sometimes it makes me feel so sick, oh no...
I just can’t say to you,
No, I won’t...

"Mungkinkah ini rindu?" Batin Almira.

Ding... ding... ding...

Dering panggilan video call dari Erik membuyarkan lamunannya. Almira mem-pause dendang lagu yang berputar dalam mode on repeat di iPodnya itu, lalu beralih menslide tombol hijau di ponselnya agar Erik dapat menikmati keindahan senja bersamanya.

"Hei, Putri Manja. Lagi apa?" Sapa Erik diujung sana tak lupa dengan senyum penuh percaya diri yang menampilkan deretan gigi indahnya.

"Lagi duduk-duduk di rooftop, nih. Lihat deh, langitnya. Bagus, ya." Almira membalik sisi kamera depan ponselnya menghadap sang langit yang kini berubah jingga.

"Lagi kangen seseorang, ya?"

Almira diam. Sedetik kemudian mengalihkan pikirannya dari siluet masa lalu yang entah mengapa tiba-tiba hadir.

"Ih, ya enggak, lah. Geer deh, kamu. Huu."

Hubungan Erik dan Almira kini sudah berjalan hampir setahun. Namun, Almira tak merasa kadar rasa yang dimilikinya pada Erik berubah seiring waktu berjalan. Almira tak menyatakan bahwa dirinya tak bahagia, dan sepanjang mereka bersama pun, semua tampak berjalan baik-baik saja tanpa pertengkaran yang berarti. Bukan, bukan karena Erik pria yang tak baik. Justru sebaliknya, Erik memperlakukan Almira layaknya seorang putri. Erik selalu tahu bagaimana cara membahagiakan pasangannya. Berbagai kejutan manis yang berakhir kecupan diujung kepala, tak jarang membuat Almira menyunggingkan senyum termanisnya. Tapi...

"Ah, masa?"

Erik menunjukkan mimik wajah yang tak dapat Almira artikan. Tanpa Almira bicara, sebenarnya Erik selalu dapat menebak apa yang tengah Almira pikirkan. Toh, bukan satu dua hari dirinya mengenal Almira, dan Almirapun memang tak pandai berbohong padanya. Sungguh, Erik tahu selama ini Almira belum dapat merelakan sisa masa lalunya itu pergi, tapi ia hanya ingin selalu ada di sisi Almira sebagai tameng dari apapun yang mungkin dapat melukai hatinya. Tulus, tanpa meminta Almira balik mencintainya.

"Duh, mentang-mentang seminggu ini hujan terus, kangen senjanya ngelebihin kangen kamu ke aku, nih?" Canda Erik, yang direspon Almira hanya dengan lengkungan di sudut bibirnya. "Ya udah, aku mau lanjut ngerjain tugas, ya. Jangan telat makan, awas aja kalau pas aku pulang kamu sakit! Love you."

Senja dan hujan, adalah dua hal yang takkan pernah bisa dipisahkan dari Almira. Erik mengerti, Almira sedang menikmati dunianya sendiri saat ini. Setelah bertanya sederet pertanyaan penuh perhatian seperti biasanya, Erik lekas mengakhiri sambungan video callnya.

Sesaat kemudian, Almira bangkit dari duduknya lalu menepi ke sudut rooftop, menumpukan tangannya yang jenjang pada tembok pembatas yang tak lebih tinggi dari pinggangnya. Ia termenung, menatap nanar kelap-kelip lampu yang menghiasi taman di tengah kompleks rumahnya dari kejauhan. Dalam hening ia teringat akan ucapan Mama saat dirinya merengek setahun lalu. Menangis tersedu-sedan karena pria yang dicintainya memilih pergi. Menangis dipelukan sang mama tanpa bicara sepatah katapun hingga pundak beliau basah, dan balas memeluk Almira seeratnya sebagai tanda peduli dan mengertinya.

"Kita nggak bisa memaksa sesuatu untuk berjalan sesuai dengan ingin kita, Al. Termasuk perasaan."

Dan, ya. Mama benar. Perasaan adalah hal yang takkan pernah bisa dipaksa. Meski sungguh prianya kini terasa begitu sempurna melengkapi, Almira masih merasa kosong. Hatinya memang diisi cerita-cerita manis bersama Erik, tapi entah, seperti ada sesak di dadanya saat ia tak dapat membalas besaran rasa yang sama pada Erik. Meski Almira ingin perasaannya jatuh pada pria sebaik Erik, Almira tak dapat berbohong, bahwa perasaan itu tak pernah bisa naik level untuk lebih dari sekedar sahabat.

Tak pernah ada debar jantung yang berkejaran saat Erik berada di sisinya. Tak ada rindu yang meledak-ledak saat Erik hadir kembali dari absen menemuinya beberapa hari. Tak ada rasa tak ingin melepaskan kala tangan Erik bertautan dengan miliknya. Tak ada yang berubah. Meski setahun telah berjalan dan Almira tak hentinya mencoba membuka hati, yang Almira rasakan hanya sayang sebatas sahabat. Dan, rasanya itu lebih tepat disebut nyaman ketimbang cinta.

Kata orang, cinta sejati selalu punya cara untuk kembali. Tapi mungkinkah? Setelah kehidupan Almira dan Dito sudah menjauh dari garis ketika mereka menjejakkan kaki bersama di tempat yang sama. Saat keduanya tak pernah bertukar sapa walau hanya dengan ucapan 'Hai, apa kabar?' lewat pesan singkat. Saat keduanya seolah tak peduli satu sama lain. Saat perasaan keduanya seolah sudah benar-benar berubah. Dan, saat Almira telah menemukan penjaga hatinya yang tak mungkin ia tinggalkan. Mungkinkah itu terjadi?

"Aku kangen makan es krim vanilla bareng kamu, Dit." Ucap Almira lirih.

Matahari akhirnya sempurna tenggelam. Langit yang sempat begitu cantik dengan warna jingga kemerahannya berubah keabuan, lalu gelap. Almira masih betah berada di rooftop rumahnya, enggan meninggalkan nostalgia indah yang kini mengisi benaknya.

Tuesday, January 19, 2016

Cerita Tentang Hujan

Hujan selalu membawa perasaan damai bagi mereka yang menikmatinya, bagi mereka yang percaya selalu ada keajaiban di tiap tetesnya yang jatuh, salah satunya aku.

Bagiku, suara deras hujan yang turun membentur tanah adalah melodi terbaik dan paling indah yang pernah Tuhan ciptakan. Selalu terdengar syahdu di telingaku yang terlalu sering mendengar suara klakson berbagai kendaraan dalam hiruk-pikuk kemacetan kota.

Saat rintik hujan menyentuh wajahku, aku seolah lupa bahwa aku sedang dalam suasana hati yang tak baik, bahkan hancur. Putus cinta, patah hati, dikecewakan, semua hal buruk yang mungkin membuatmu kehilangan selera makan dalam waktu yang lama, yang membuatmu terlihat menyedihkan.

Berada di bawah rintik hujan adalah momen terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Karena saat basah kuyup, aku selalu teringat akan banyak kenangan indah yang berlalu begitu saja. Mengingat betapa bahagianya masa kecil saat aku dan teman-teman menerobos hujan sepulang sekolah karena tak sabar menunggunya reda, naik motor bersama ayah dengan sangat pelan sambil memegang payung lipat karena tak punya jas hujan, atau momen-momen indah yang lain saat aku beranjak dewasa, seperti berhujan-hujanan di malam sebelum hari ulang tahunku tiba bersama cinta pertamaku, yang justru jadi kado paling manis yang pernah kudapat selama dua puluh dua tahun aku bernafas, saat-saat terbaik yang takkan pernah terlupakan sepanjang hidup.

Saat hujan, semua memori indah yang bernostalgia di pikiranku seolah terjadi kembali. Seolah waktu berhenti dan dengan senang hati membiarkanku bahagia bersama kenangan indah yang pernah kupunya.

Lantas, kenapa harus berteduh jika berhujan-hujanan itu menyenangkan?

Saturday, January 16, 2016

Tentang Rindu (2)

Malam tampak sepi kala tak dihiasi kerlip bintang. Meski saat itu bulan bersinar terang, rasanya langit hanya sekedar lukisan abstrak yang didominasi warna hitam pekat. Membuatmu mengurungkan niat untuk mulai bercerita, karena terbiasa melihatnya berjejer harmonis dengan ratusan bintang.

Sama halnya dengan rindu. Rindu adalah hal paling menyenangkan, jika seseorang yang kau rindukan merasakan besaran rindu yang sama denganmu. Menanti tiap detik yang berlalu dengan penuh harap, ingin lekas-lekas bertemu dengannya. Meski saat bertemu dengannya tiba, waktu berputar dua, bahkan tiga kali lebih cepat, rasanya kau tak peduli asal satu peluk yang menenangkan darinya tetap bisa kau dapat.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang telah kehilangan? Apa rindu tetap jadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan?

Cinta pertama.
Rindu ini tentang cinta pertama.

Layaknya potongan puzzle terakhir yang (pernah) membuat hatimu terasa lengkap, hari-hari bersamanya terasa seperti dongeng. Kau ketik sedikit demi sedikit, hingga merangkai cerita indah ratusan halaman bak novel-novel dari sang pengarang favorit yang alur ceritanya senantiasa membuatmu tersenyum di tiap halaman. Ekspektasi akan akhir yang indah dan penantian yang terjawab, bersahutan mendoktrin pikiran hingga kau memercayainya.

Sadarkah kamu? Ada korelasi antara hening malam dan kenangan, bertautan membentuk imajinasi, membawamu kembali pada cerita yang sempat membuatmu bahagia di waktu yang lama telah berlalu. Meski rindu yang tertimbun setiap harinya kian membuncah, bergejolak, meronta memintamu mengungkapkannya, kau sadar bahwa tak ada pilihan selain memendam bagi sebagian kamu yang telah kehilangan.

Sesak menyeruak di dasar hati ketika kau tahu perasaan rindumu tak terbalas. Sia-sia. Lantas apa yang salah? Kau sungguh tahu bahwa segala yang berubah takkan pernah kembali. Tapi mengapa terus berharap ada satu waktu dalam hidupnya yang dia habiskan untuk merindukanmu? Meski hanya sekali, dalam rangkaian ceritanya yang tampak normal-normal saja.

Kau tahu dia telah jatuh cinta lagi, bahkan berkali-kali setelah dalam waktu yang lama melewatkan harinya untuk mencintaimu, dan kaupun telah merasakan jatuh cinta yang lain, meski tak sebanyak dia. Lalu, mengapa selalu percaya ada ruang kecil di hatinya yang masih untukmu? Mengapa selalu percaya ada rindu darinya yang tersimpan rapat untukmu?

Pada akhirnya, kau hanya bisa berharap malam-malam yang pernah kau lalui dengan perasaan tak nyaman, sempat Tuhan jadikan rangkaian mimpi indah di lelap tidurnya. Walau rindumu tak terutarakan dengan kata, semoga kehadiranmu di mimpinya dapat membuatnya merasakan sedikit getar rindu yang tersirat. Bahwa pada malam-malam saat dia memimpikanmu, kau sempat memikirkannya sebelum tidur. Pesan tersirat, bahwa rindumu tak pernah berani kau ungkapkan.

Dan, ya. Kau benar. Mungkin rindu yang seperti ini adalah salah satu bentuk ironi. Ironi yang kau buat sendiri. Yang menjebakmu dalam kepayahan, hanya karena dulu rindumu pernah diabaikan.

Friday, January 15, 2016

Tentang Rindu

"Sesak adalah salah satu cara kenangan menegurmu untuk tidak coba-coba menimbun rindu." - Ikram Wahyudi

Merindukan seseorang kerap kali menyenangkan selama ia masih jadi bagian penting dari hidupmu. Dan, semua terasa cukup walau hanya dengan sebuah peluk, genggam tangan, atau kecupan di ujung kepala saat melepasnya.

Tapi, masihkah itu terasa menyenangkan saat kau hanya serpihan masa lalu tak bermakna yang lenyap dengan satu tiupan kecil? Saat tujuan hidupnya tak lagi padamu. Saat debar jantungnya bukan lagi untukmu. Saat matamu bukan lagi tempat berteduhnya. Saat genggam tanganmu tak lagi dirindunya. Saat posisimu di hatinya tergantikan orang lain. Saat langkah kakinya sudah melesat jauh, tanpa sudi ia menoleh hanya untuk melihatmu yang tengah berjalan tertatih-tatih.

Rindu seringkali membuatmu bertanya-tanya, haruskah semua yang kau pendam itu kau sampaikan? Selalu ada bimbang antara ya dan tidak. Hatimu bilang ingin, tapi otakmu tak pernah setuju dengannya karena dulu hari merasa pernah menyampaikannya, namun tak diindahkan.

Begitu saja, sampai rindu-rindu yang terabaikan tertimbun di bawah egomu, sementara rindumu yang kau timbun tadi kian hari kian membukit. Begitu saja, hingga kau bisa mencium siku tanganmu. Begitu saja, hingga pelangi muncul diantara bulan dan bintang. Begitu saja, hingga ilalang yang kau tanam bertumbuh jadi padi.

Rasa rindumu tak salah. Hanya saja, masih sanggupkah kau menimbun sesak karena tak mendapat rasa rindu yang sama?

Dan... sesepele itukah rindumu baginya?

"Kau tahu aku merelakanmu. Aku cuma rindu, aku cuma rindu. Takkan mencoba tuk merebutmu. Aku cuma rindu, itu saja." - The Rain, Gagal Bersembunyi

Friday, January 1, 2016

Pentingnya Sebuah Perjalanan

Hei, silent reader. Di suasana malam sehabis hujan begini, daripada ngangenin orang yang udah terlanjur pergi dari hidup kita, mending ngebahas tentang pentingnya perjalanan hidup. Kalian pasti tahu kalau hidup nggak melulu bahagia, apalagi makhluk kayak kita-kita yang disebut manusia ini, yang notabene sering ngeluh.

Nggak ada orang yang nggak pernah ngeluh, yang membedakan, hanya cara dia mengutarakannya. Entah dia marah-marah, curhat ke teman dekatnya, atau malah di keep sendiri. Dan, ya... gue adalah salah satu dari sekian banyak orang yang suka mengeluh. Nggak munafik kok. Gue orang yang sering bilang capek dalam banyak hal, pekerjaan, keadaan ekonomi, bahkan... cinta. Gue kadang bingung aja, kenapa gue harus putus asa, harus ngerasain berkali-kali patah hati padahal gue udah sering ngalaminnya? Gue bingung aja, kenapa gue nggak bisa menanggapi semua dengan perasaan nggak khawatir. Gue terlalu khawatir, kalau gue nggak bisa bahagia.

Mungkin karena gue orangnya nggak sabaran kali ya, makanya, mungkin Allah kesel sama gue (hikz), jadi tiap orang yang dekat sama gue dijauhkan hingga akhirnya... menghilang.

Gue tipe orang yang susah banget jatuh cinta. Suka, mungkin. Tapi untuk sayang, gue harus mengenal dan dekat dengan dia dalam waktu yang lama. Kenapa? Ya mana gue tahu, pake nanya?! Hehe, becanda.

Satu hal yang membuat gue MUNGKIN sulit banget buat jatuh cinta adalah, rasa tidak percaya gue bahwa akan ada yang lebih baik nantinya, karena gue selalu percaya akhir cerita gue akan selalu sama, meski peran si pangeran dalam dongeng hidup gue tergantikan. Pria yang lebih baik, kisah cinta yang lebih baik, hingga akhir untuk awal yang lebih baik. Capek nggak sih, ngerasain sesak buat hal yang sama berkali-kali?

Gue pernah sayaaaaaaang banget sama seorang cowok, and, that's my very first time to being in love. Maksutnya bukan pertama kali jatuh cinta sih, lebih tepatnya, dia itu cinta pertama gue. Dulu gue pernah berpikir, kalau cinta pertama itu pacar pertama kita. Tapi ternyata gue salah. Cinta pertama itu, orang yang mempertemukan lo dengan perasaan yang nggak pernah lo temuin sebelumnya. Satu-satunya orang yang bisa bikin lo mengalah sama ego lo sendiri. Satu-satunya orang yang... pertama kalinya bikin hidup lo terasa meaningful.

Gue kadang lupa, kalo bahagia sama duka itu sepaket. Saat gue terlalu bahagia, gue lupa, bahwa bisa aja besok tiba-tiba gue bakal sedih.

"Menyakitkan ketika kamu akhirnya menemukan seseorang yang begitu berarti dalam hidupmu hanya untuk belajar bagaimana cara melepaskannya."

Ya. Kira-kira kayak gitu. Di sebelah dia itu kayak... saat kutu buku baca buku favoritnya sendirian di sofa yang ada di balcony, yang menghadap langsung ke taman penuh bunga waktu pagi hari. Nyaman, bikin gue ngerasa, waktu berputar 2 bahkan 3 kali lebih cepat. Ketawa, sharing cerita jayus, garing, sampe becanda hal yang sama sekali nggak lucu, yang anehnya, justru gue selalu rindu momen-momen itu tiap kali nggak bisa ketemu dia. Emang aneh sih, tapi mungkin itu yang bisa dibilang magic hour.

Dan pada akhirnya, semua momen itu meluluhkan hati gue hingga bisa ngerasain perasaan itu. Sayang. Yang bahkan pacaran dari SMA, bertahun-tahun, putus-nyambung sama dia, baru bisa ngerasain bener-bener sayang disaat ngadepin banyak masalah dan proses sama dia. Panjaaaaaang ceritanya sampai akhirnya kami (lebih tepatnya dia) dipertemukan dengan orang ketiga. Yaudah deh, the end. Nggak lucu ya endingnya? Emang. Wkwk.

Dan memang, saat gue masih pacaran sama dia, gue lagi dekat sama seseorang. Awalnya cuma kagum sih, tapi cowok ini adalah salah satu orang yang berperan dalam mengobati luka hati gue. Satu tahun, waktu yang gue butuhkan untuk benar-benar bisa berdamai dengan kebodohan gue sendiri. Ditemani dia yang... selalu bersedia dengerin cerita gue yang galaunya itu-itu aja. Dan nggak tahu, sejak kapan kadar rasa gue ke dia... berubah.

Gue kadang nggak ngerti. Apa gue dekat dengan orang yang salah atau mungkin cuma keadaannya yang salah, intinya, disaat gue menemukan kenyamanan yang bisa bikin gue ngelupain luka karena galau menahun, pasti ujungnya gue tahu bahwa dia udah jadi milik orang lain. Pahit ya? Iya, banget.

Dan lagi, gue harus kembali kehilangan orang itu. Yang awalnya cuma berusaha merelakan yang udah terjadi dengan berusaha menjauh karena nggak mau merusak hubungan orang lain, akhirnya malah sakit sendiri. Gue tahu, gue harus menjauh karena gue nggak mau jadi benalu di hubungan orang lain. Karena gue tahu, tahu banget rasanya saat hubungan gue dirusak, tahu banget rasanya ditinggalkan saat gue lagi sayang-sayangnya. Daripada gue menyakiti hati orang yang nggak seharusnya disakitin, lebih baik gue menjauh walau akhirnya gue tahu bahwa gue sudah terlalu dalam terjebak kenyamanan itu. Jadi, gue harus bisa memosisikan diri gue sebagai "cewek" kan?

Dan sekarang, saatnya gue kembali jadi Riana Ayodya yang galau. Yang nge-listen to lagu-lagu galau di path. Yang pasang display picture sedih terus, yang cuma bisa ngutarain kangen dengan ngomong sama teddy bear gue, si Bo. Dan ya, mungkin emang harus selalu kayak gini kali ya, endingnya. Harusnya gue tahu, nggak seharusnya gue jatuh cinta. Disaat gue berani menyimpulkan kalau gue jatuh cinta, gue juga harus siap dengan resiko satu paketnya, yap, patah hati.

Tapi, semua itu adalah bagian dari pentingnya sebuah perjalanan. Bagaimana cara lo menjalani proses, dan fase di mana lo terpuruk, nggak tahu bahu mana lagi yang bisa lo sandarin. Tapi lo nggak perlu takut, selama lo punya sahabat yang bisa lo percaya, yang selalu ada buat lo dan selalu ada untuk berbagi tawa bersama. :)