Friday, March 11, 2016

Penantian (3)

Di Kafe Dekofi, jam 1 siang.

Almira mengedar pandangan ke sekeliling ruang kafe, mencari sosok yang samar-samar masih dapat diingatnya.

"Al!"

Seorang pria jangkung berkumis tipis dan belesung pipit lebih dalam dari miliknya itu melambaikan tangan ke arahnya. Dengan helaan nafas dan langkah yang terasa makin berat, Almira berjalan menuju meja nomor 10 dimana pria itu duduk.

"Hei, apa kabar?" Sapanya ramah, kemudian menjabat tangan mungil Almira.

"Baik, lo sendiri?

"Alhamdulillah, baik. Mau pesen apa?"

"Ice cappucino aja, Ras."

Firas melambaikan tangannya untuk memanggil waitress yang sedang berdiri sambil memeluk tray hitamnya di depan kasir, lalu menyebutkan menu yang hendak dipesan ketika gadis berambut sebahu yang tampaknya baru lulus SMA itu sampai di depan meja mereka dengan buku catatan kecil dan bolpoinnya.

"Ice cappucino-nya, dua ya, mba."

Firas menarik kursinya lebih dekat dengan Almira setelah waitress itu selesai mencatat pesanan dan berlalu.

"Eng, gini..." Firas bingung memulai pembicaraan mengenai maksud dan tujuannya menemui Almira. "Gue... nemuin elo atas permintaan Tante Ami karena udah seminggu Dito koma, Al..."

"A-apa, Ras? Lo pasti bercanda, kan? Tenggorokan Almira tercekat. Matanya tampak membendung bulir air yang sedetik kemudian pasti tumpah.

"Seminggu yang lalu, Dito kecelakaan."

Penjelasan Firas tertunda karena waitress tadi telah kembali dengan dua gelas ice cappucino di atas traynya. Setelah mengucapkan 'selamat menikmati' dengan seulas senyum ramah, waitress itu melenggang pergi untuk melanjutkan tugasnya.

"Seminggu yang lalu, Dito kecelakaan, Al." Ulangnya. "Kata dokter, di kepalanya ada luka serius karena benturan benda tumpul. Dokter juga nggak bisa mastiin kapan Dito bisa siuman."

"Masya Allah..." Almira membekap mulut dengan kedua tangannya, menahan tangisnya agar tak pecah.

"Maka dari itu, Tante Ami minta gue nemuin elo. Tante Ami berharap, kehadiran elo bisa ngebantu Dito cepet sadar."

Almira menghembuskan nafas berat dari dadanya yang kini terasa sesak, lalu menyeka air mata yang akhirnya tumpah.

"Antar gue ke sana sekarang, Ras."

----------------------------------------------

Debar jantung Almira berkejaran seiring langkah yang sengaja ia percepat saat menyusuri koridor rumah sakit bersama Firas disebelahnya, membuat Firas ragu untuk mengajaknya bicara karena peluh cemas tampak mengalir dari dahinya.

Dari kejauhan, tampak seorang wanita beranjak dari duduknya lalu melambaikan tangan, seperti tak sabaran menyambut gadis itu ke pelukannya.

"Tante..." Almira memeluk Tante Ami dengan nafas yang masih terengah-engah, juga mata mendung yang sebentar lagi menghujan.

"Maaf, kalau kita harus bertemu dalam situasi seperti ini, ya, sayang..." Ucap Tante Ami lirih sambil mengusap lembut kepala Almira.

Tante Ami mengendurkan peluknya. Ia menggenggam erat tangan Almira, lalu menyeka air matanya. "Dito baik-baik aja kan, Tante?"

Firas yang tadi ada beberapa langkah di belakang Almira memilih diam saja. Hatinya terenyuh melihat tetes-tetes bening yang jatuh dari ujung mata gadis itu karena rasa cemas dan takutnya. Saat menatap matanya, Firas tahu, gadis itu masih mencintai sahabatnya meski hari telah berganti tahun.

"Kamu jenguk Dito sekarang, ya, sayang. Tolong temani dia. Tante harap, kehadiran kamu bisa membantu."

Ayah Dito bangun dari duduknya, lalu tersenyum. "Kamu nggak keberatan kan, Al?"

"Iya, Om Damar, Tante Ami. Almira masuk dulu, ya." Ucap Almira setelah menarik nafasnya dalam-dalam.

Air mata Almira kembali mengalir saat melangkahkan kakinya menuju kamar rawat Dito. Setelah mencuci tangan dan memakai baju pelapis khusus, ia melangkah dengan gemetar yang menjalari kedua kakinya, mendekati Dito yang terbujur lemah diatas tempat tidur berseprai putih yang tampak tak nyaman itu.

"Hai, Dit."

Almira menyapa mantan kekasihnya itu dengan seulas senyum yang menyimpan kesakitan. Bukan sakit karena pernah ditinggalkan, tapi sakit karena melihat pria yang dicintainya kini tak berdaya, yang bahkan untuk membalas sapanya saja tak mampu.

Gadis itu duduk di atas kursi yang ada di sebelah tempat tidur Dito, menatap wajah Dito yang memucat dan menyadari bahwa tubuh Dito kini jauh lebih kurus dari saat terakhir kali mereka bertemu.

Almira mengusap pelan punggung tangan kiri Dito yang tertusuk jarum infus, dan hujan itu turun lagi dari matanya. "Hei... apa kabar?"

Hening. Hanya bunyi bip berulang-ulang dari bedside monitor yang ada di sebelah tempat tidur Dito yang menjawab pertanyaannya. Tapi Almira percaya, Dito pasti bisa mendengarnya di manapun ia berada.

"Nggak kerasa, ya, Dit. Udah satu tahun kita pisah. Kebayang nggak, kayak gimana perasaan aku saat harus ketemu kamu lagi dengan kondisi kayak gini?"

"Kamu tahu, sayang? Meskipun kamu udah jauh melangkah meninggalkan aku di belakang kamu, meskipun aku sekarang udah sama Erik, meskipun mungkin, udah ada seseorang lain yang menggantikan aku di hati kamu, aku nggak bisa bohong, Dit. Aku nggak bisa bohong kalau aku masih sayang sama kamu."

Almira meraih punggung tangan kanan Dito, lalu mengusap dan menggenggamnya erat.

"Kamu tahu? Di hari ulang tahunku kemarin, aku berharap banget bisa ketemu kamu, Dit. Aku berharap, waktu yang kita lewatin sendiri-sendiri semenjak kita pisah, bisa aku tarik lagi buat aku habisin bareng kamu. Aku kangen kamu, sayang... Ayo, bangun..."

Almira mencium kening Dito, lama sekali, hingga air matanya yang enggan berhenti kini jatuh membasahi mata mantan kekasihnya itu.

Tanpa sadar, di celah jendela yang tak tertutup tirai hijau, wanita paruh baya yang biasa Dito panggil Bunda mengintip dari sana. Mengusap air matanya yang jatuh dengan jilbab lebar biru muda yang kini dipakainya.

"Bangun, sayang... aku di sini buat kamu..."

Almira mengusap air mata yang sesaat lalu jatuh membasahi wajah Dito. Ia menatap lekat-lekat wajah pucat itu, lalu menggenggam pipi tirus Dito dengan kedua tangan mungilnya sambil mengucap sebait doa dalam hati.

No comments:

Post a Comment