Monday, March 28, 2016

Hanya Butuh Waktu

Diperlakukan seperti itu olehmu, rasanya lebih sakit daripada disanding hanya untuk memenangkan sebuah pertaruhan, lebih perih daripada ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya, bahkan lebih sesak daripada mengetahui hubungan yang sudah begitu lama terjalin, akhirnya hancur.

Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya bisa menahan sesakku agar tak berubah tangis. Sedapat mungkin menundukkan kepalaku agar si abang tukang ojek tak dapat melihat mataku yang berubah mendung. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya menatap nanar langit yang tiba-tiba terasa sama sekali yang tak menarik dipandang, juga menekuri lampu-lampu kendaraan yang membuat jalan tampak penuh sesak, hingga yang bisa kulakukan hanyalah mengelus dada sambil menarik napasku yang berubah berat.

Mungkin, menyakitiku sudah jadi hobi baru atau aktivitas favoritmu, yang mungkin, dapat memberikan kepuasan tersendiri saat kamu melakukannya, entah sengaja atau tidak. Mungkin, mempermainkanku dengan pertanyaan yang tak pernah bisa kutemukan jawabannya adalah hal yang menarik buatmu, yang sering orang-orang sebut "tega".

Harusnya perlakuanmu itu dapat membuatku membencimu, seharusnya, ya, seharusnya. Tapi aku tahu, aku tak boleh memilihnya karena ada sekat tipis yang membatasi pilihan itu dengan cinta. Dan aku, nggak ingin membuat diriku lebih dalam lagi merasakan hal itu, karena semakin aku merasakannya, aku tahu, tak akan pernah ada harganya rasa itu buatmu.

Ternyata, nasihat sahabatku ada benarnya. Bahwa pilihanku untuk menunjukkan perasaan yang menurutmu tak pernah ada nilainya, adalah salah besar.

Entahlah. Mungkin, aku hanya perlu mematikan saraf-saraf yang selalu membuat hatiku berubah sesak tiap mengingat atau melihatmu. Mungkin, aku hanya perlu membuka diri untuk seseorang yang bisa menghargai kesabaran. Mungkin, aku hanya perlu lebih kuat dan mengeraskan hati, agar kamu tak akan bisa menyakitinya lagi.

Tenang saja, aku tak apa. Aku, hanya butuh waktu yang lebih lama.

No comments:

Post a Comment