Friday, March 11, 2016

Penantian

Almira kembali ke rooftop setelah mengantar Erik yang hendak undur diri untuk pulang hingga daun pintu rumahnya, menikmati malam yang tinggal beberapa jam lagi tersisa.

Ada gemuruh di hatinya, semacam rasa takut, bersalah, dan sedih yang bertabrakan dan melebur jadi satu. Memporak-porandakan pikiran hingga membuat matanya masih setia terjaga selarut ini. Apa mungkin Erik tahu bahwa akhir-akhir ini ia sangat merindukan Dito?

Almira mengambil potongan kue yang lempengan-lempengan coklatnya sudah tampak meleleh, yang tadi ia berikan untuk Erik namun tak disentuhnya, pun hanya untuk mencicip secolek saja, kemudian menyuap satu sendok penuh coklat leleh itu ke dalam mulutnya.

Aku sayang kamu, Al. Aku cuma pengin lihat kamu bahagia.

Kalimat yang setengah jam lalu diucapkan Erik itu terus terngiang di kepalanya. Lagi, dan lagi.

Ya, Tuhan, harusnya aku tahu, memaksakan hal yang tak pernah kucintai sebelumnya pasti nggak akan mudah. Termasuk melumat satu sendok penuh lelehan cokelat ini, batinnya.

Almira menutup wajahnya yang lelah dengan kedua telapak tangan sambil memaksa kerongkongannya untuk tetap menelan, karena ia tak suka rasa terlalu manis yang dihasilkan dari coklat yang kini tengah dilumatnya. Bulir kecil dari ujung kedua matanya menetes, mengingat ketulusan Erik yang masih saja tak dapat dibalasnya dengan ketulusan yang sama.

Almira tahu, merindukan seseorang di masa lalu saat ia sudah memiliki seseorang yang bisa lebih baik menjaganya bukanlah hal yang patut untuk terus-menerus dilakukan. Namun, ini hati, bukan ponsel berbasis robot pintar yang bisa ia atur dan menjalankan semua fungsi sesuai dengan keinginannya.

Permukaan meja kayu yang mulai basah dengan rintik-rintik gerimis yang baru saja turun membuat gadis pemilik senyum termanis di mata Erik itu bergegas, memindahkan benda-benda kejutan yang dibawa Erik untuknya tadi ke meja yang ada di teras rooftop.

Meski rintik hujan berangsur deras, Almira belum ingin pergi tidur. Ia masih ingin singgah, duduk di atas sofa yang bernaung di bawah kanopi besar itu. Kini, ruang di otak kanan dan kirinya, terbagi sama rata untuk Dito dan Erik.

Drrt... Drrt...

Refrain lagu Minority menggema dari ponsel Almira, bersamaan dengan getar tak sabaran dari dalam saku celana pendeknya. Almira menyeka sisa air yang membasahi pipinya, lalu mengernyitkan dahi saat melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya selarut ini.

Dibiarkannya ponsel itu meraung-raung, enggan menjawab.

----------------------------------------

Jam tangan Firas kini menunjukkan pukul 1 malam. Ia duduk, lalu berdiri, lalu duduk, lalu berdiri sambil sesekali melirik ke ruang rawat sahabatnya, Dito.

Bunyi bip berulang-ulang dari bedside monitor di ruang ICU berbunyi seiring detak jantung Dito yang melemah. Sudah satu minggu, Dito terbaring tak berdaya dalam ruangan yang berbau kimia menyengat itu. Hanya dadanya yang bergerak naik turun, yang menandakan ia masih dapat bernafas.

Firas bangkit dari duduknya, memangkas jarak diantara ia dan kedua orang tua Dito yang masih setia memantau keadaan putranya dari celah kaca yang tak tertutup tirai.

"Om, tante, ini udah larut malam. Om sama tante lebih baik pulang, biar Firas yang jaga Dito di sini. Om sama tante kan, udah berhari-hari nunggu kabar yang nggak kunjung dapat kejelasan. Mendingan om sama tante istirahat dulu. Kalo ada apa-apa pasti langsung Firas kabarin."

Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu mencengkeram erat lengan suaminya. Pipinya yang basah karena sisa-sisa air mata tampak berkilau terpantul cahaya lampu koridor rumah sakit.

"Iya, ma. Lebih baik kita pulang dulu, besok pagi kita ke sini lagi."

Tangan Ayah Dito mengusap lembut lengan istrinya. Berusaha menenangkan wanita berjilbab lebar warna salem itu, yang kemudian hanya dijawab dengan anggukan kepala.

"Beneran, Ras, kamu nggak apa-apa kalo jagain Dito semalaman di sini?" Lanjutnya.

"Iya, om. Lagian, Firas kan biasa begadang kalo ngerjain tugas kuliah. Om sama tante nggak usah khawatir." Ucap Firas diakhiri sunggingan senyum tulus.

Wanita yang biasa disapa Tante Ami itu akhirnya bersuara setelah berjam-jam menangisi nasib putranya yang masih tak sadarkan diri. Yang tak kunjung membuka mata dan memanggil namanya sejak kecelakaan beruntun dalam perjalanannya dari Bandung kembali menuju Jakarta, tepat satu minggu yang lalu.

"Tolong jagain anak tante, ya, Firas. Bantu doakan, supaya nggak terjadi hal buruk sama Dito."

Tante Ami melepas cengkeramannya dari lengan suaminya, lalu menyeka air matanya yang kembali jatuh dengan tisu.

"Tante juga minta tolong untuk hubungi Almira kalau kamu punya kontaknya. Tante ngerasa, beberapa bulan terakhir, Dito kelihatan sedih terus. Sesekali tante pernah lihat dia buka-buka album foto lamanya bareng Almira. Mungkin kalau kamu bisa datengin Almira ke sini, itu akan membantu kesembuhan Dito."

"I... iya, tan. Nanti coba Firas hubungin. Kayaknya Firas masih simpen nomornya. Tapi, tan... itu..." Lidah Firas kesulitan menyusun kata untuk memberikan penjelasan. "Eng... dulu, Dito pernah bilang, kalau Dito nggak mau ganggu Almira lagi. Dia pernah bilang sama saya, kalau suatu hari terjadi sesuatu, dia nggak pengin kasih tahu Almira, karena katanya... karena katanya, Dito nggak mau lihat Almira nangis lagi."

"Sudah, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Mungkin ini sudah jalan Allah untuk mempertemukan mereka kembali, meskipun harus dengan keadaan seperti ini." Tangan wanita itu mengepal kaku, kemudian meremas-remas jarinya sebagai upaya menahan tangis. "Tante mohon, ya, Firas. Bantu Dito untuk dapatkan kekuatannya agar dia bisa sadar kembali."

Tangan Tante Ami beralih mengguncang bahu Firas, menatapnya penuh harap.

No comments:

Post a Comment