Wednesday, February 22, 2017

Hei, Cinta Pertamaku!

Hei, cinta pertamaku. Senang melihatmu baik-baik saja setelah bertahun-tahun tak bertemu. Senang melihat tubuhmu yang tadinya kurus ringkih berubah tambun. Senang melihat senyum konyol dan selera humormu tak berubah. Dan juga, aku senang melihatmu menjelma jadi pria dewasa yang teguh memegang prinsip.

Saat kamu berkata ada banyak gadis yang dekat denganmu dan menyatakan cintanya padamu secara terang-terangan, jujur aku tak cemburu. Ini pertama kalinya dalam hidupku merasa setenang ini tentang kamu. Percaya atau tidak, bahkan aku tersenyum saat kamu bilang hanya ingin bebas sendiri saja tanpa punya hubungan spesial dengan siapapun. Meski tak bersama denganmu karena kau bilang kita tak bisa seperti dulu lagi, aku percaya kamu masih menyimpan perasaan untukku walau hanya sedikit. Bukan rasa percaya diri yang bilang begitu, tapi naluriku.


Meski kamu enggan mengakuinya, aku tahu kamu masih melakukan beberapa aktivitas yang membuat isi kepalamu penuh dengan aku. Entah stalking blog pribadiku, akun-akun media sosialku, hingga mendengarkan beberapa lagu yang membawamu terbang bersamaku ke masa lalu. Aku mengerti kenapa kamu menekan perasaanmu, menyangkal dan berkelit, tetap tak ingin jujur. Bahkan berusaha terlihat jahat dengan caption-caption yang kau unggah dalam foto liburanmu di Instagram. Hatiku sesak, tapi sesaat kemudian aku tersenyum, menyadari bahwa itu adalah cara yang biasa kau lakukan agar aku cepat membencimu.


Jujur, aku tak pernah punya rencana menyayangimu dalam waktu selama ini. Semua mengalir begitu saja. Ada masa di mana aku sama sekali tak memikirkanmu, entah itu karena sibuk menyukai orang lain dengan mencari tahu banyak hal tentangnya, atau menonton beberapa episode drama Korea yang menumpuk dalam folder Kdrama di flashdisk-ku sekaligus. Ada pula masa di mana perasaan itu melekat, seolah tak mau hilang seperti hari pertama aku menyukaimu. Sekali lagi kukatakan, semua berjalan begitu saja. Sungguh. Tanpa kurencanakan.


Tanpa kau bicara, aku tahu bahwa kau hanya ingin fokus menuju pencapaian terbaik dalam hidupmu tanpa memikirkan hal lain di luar itu termasuk cinta. Dan aku, menghargainya. Aku yakin, dalam hatimu kau masih percaya konsep takdir, begitu pula denganku. Jika pada akhirnya kamu tak kembali, it's nothing to lose, karena aku sudah menyerahkan semuanya pada Allah atas apa yang Ia kehendaki. Aku percaya, hal terbaik sudah Allah rencanakan untuk kita. Mungkin saja, kebersamaan kita bukanlah hal yang baik bagi satu sama lain menurut-Nya. Tapi, jika suatu saat kita ditakdirkan bertemu kembali karena rasa yang masih kita simpan rapat-rapat dalam doa, itu artinya, penantian dan waktu yang kita lalui secara terpisah adalah jalan menuju kebersamaan yang mungkin akan lebih kita hargai nantinya.


Jadi saat ini, membantumu fokus meraih impianmu secara diam-diam mungkin adalah yang terbaik. Karena bagiku, menyayangimu masih bisa kuteruskan dengan doa agar kau meraih segala yang kau impikan dalam hidupmu. Dan juga, dengan meneruskan hidupku dengan baik, tanpa banyak berekspektasi bagaimana hubungan kita di masa depan.

Saturday, February 11, 2017

Cerita Malam Berhujan

Hei.... Um, bulan? Bintang? Malam ini mendung, jadi kusapa angin saja, ya? Kusapa kalian lain kali. Hei, angin. Sebenarnya bukan kamu yang ingin kusapa. Tapi, berhubung bulan dan bintang tertutup awan serta hujan, jadi kusapa kamu saja, ya. He. He. He.

Hei, angin. Malam ini terasa sendu kelabu buatku. Pekat, buram, dan setidak-karuan perasaanku. Aku ingin menangis, tapi urung karena Bapak dan Mama masih terjaga. Sibuk sendiri-sendiri. Bapak dengan tontonan D'Academy show-nya dan Mama dengan ponselnya.

Hei, angin. Malam ini hatiku sesak. Tapi tetap tak hilang sesak itu meski aku sudah mencoba jujur. Jujur akan perasaan yang tak pernah bisa kuhapus. Berusaha agar tidak mengklaim diri sendiri sebagai pengecut karena tak mau sedikit berusaha meraih kembali bahagianya. Berusaha jujur, setidaknya pada diri sendiri. Meski aku sudah tahu jawaban yang kuterima akan tetap sama menyesakkannya.

Alih-alih mengeluarkan semua isi hati, perasaanku justru makin dipenuhi tanda tanya karena sulit menebak isi hati pria sepertinya. Aku tak tahu, apa ini hanya perasaanku saja atau petunjuk dari Tuhan agar aku bersabar, sedikit lagi. Aku hanya bingung, kenapa kata "aku kangen kamu juga." harus berbelit menjadi tumpukan kalimat lain yang tak bisa kumengerti. Kenapa kata "udahlah, kita nggak bisa kayak dulu lagi." tak punya alasan. Kenapa kata "kenapa" yang kutanyakan padanya tak bisa ia kembalikan dengan jawaban yang bisa nalarku terima. Maksudku, tak ada jawaban yang melegakan meskipun itu pahit.

Typing....

Hanya itu yang tertera di bawah namanya, berselang lama, seperti memikirkan jawaban yang tepat selang lima hingga tujuh menit (sepertinya, karena kurasa terlalu lama melihat balasannya yang hampir tak bisa disebut satu kalimat), tapi yang kuterima hanya dua baris pesan yang tak melegakan. Siklus last seen at, online, last seen at, lalu online kembali tanpa membalas pesanku terkesan seperti, ia tak ingin terkesan menunggu-nunggu kalimat apa yang selanjutnya kukirimkan, olehku.

Mungkin, kemarin dulu ia kelepasan karena tak dapat menahan antusiasnya saat berbalas pesan denganku. Yang tanpa sadar membuat wujud dirinya yang sebenarnya terlihat, yang tanpa sadar menguap, mengikis es rindu di hatinya. Dan ketika ia menyadarinya, seketika itu pula ia menjauhiku. Seolah perasaan itu salah. Seolah, rindunya padaku salah. Seolah, rindu dan bahagia yang tertahan diujung lidah tak perlu disampaikan hanya karena egonya yang tak ingin kembali.

"Jodoh nggak lari ke mana, ri." begitu sahabatku berujar saat sesi curhat malam ini penuh dengan cerita tentang si pria tadi. Aku tahu hal itu, bahkan selalu kucamkan dalam pikiranku hingga hari itu datang. Kulakukan tanpa mengganggunya sama sekali. Hanya ucapan ulang tahun dengan gambar yang kubuat sendiri setiap tahunnya. Tanpa berpikir akan direspon dengan baik olehnya. Tanpa berpikir karyaku yang kuukir berulang kali hingga jemariku keram akan diakuinya. Tak satupun berubah dariku. Tapi tahun ini ia menyambutnya dengan baik. Dan apakah itu jadi kesalahanku karena menganggap itu sebagai kesempatan yang Tuhan beri? Yang Tuhan beri, ya. Bukan yang ia beri. Karena aku menganggap hati pria itu tergerak karena-Nya. Kuasa-Nya.

Dan, kebiasaannya adalah membuatku berhenti dengan kata-katanya yang sedikit menyakitkan, setidaknya menurutku.

Meski ia berkata genggam tangannya saat kami bertemu hanya untuk membuatku senang, dan membuat kami setidaknya tak berakhir menjadi dua orang asing. Padahal ada banyak hal yang bisa ia lakukan untuk membuatku senang hari itu, bertukar jokes receh seperti biasanya, misalnya. Meski satu waktu kala musik mengalun di earphone-nya muncul sekelebat bayangku di benaknya selalu ia artikan dengan "biasa aja". Meski entah ada angin apa tiba-tiba ada voice call masuk darinya. Meski entah untuk apa semua pemberianku dan benda-benda yang kutinggalkan masih disimpannya di satu kotak dengan rapi bak cerita di novel-novel. Meski setiap aktivitas stalking-nya bahkan hingga postingku bertahun-tahun sebelumnya ia anggap bukan rindu. Padahal, meskipun ia jujur tapi tetap butuh ruang sendiri untuk dirinya, aku tak akan memaksa. Karena yang ingin kutahu hanya perasaannya, bukan  mematenkan status dan mengikatnya dengan hubungan seperti yang ia katakan.

Aku sudah dewasa. Maka harusnya hatiku bisa lebih lapang daripada tahun-tahun sebelumnya saat menerima atau mendengar sesuatu yang tidak membuatku bahagia. Aku sudah dewasa. Maka aku harusnya bisa menghargai orang lain atas apa yang ia pilih. Setidaknya, aku tak diam saja menanti takdirku ditentukan. Meski beberapa hal yang kita perjuangkan tak melulu hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, satu usaha akan menentukan tingkat kesungguhan kita.

Aku mengerti, ia hanya tak ingin mengacaukan rencana hidupnya yang sudah ia susun dengan rapi. Itu bukan pujian, tapi sungguh alasannya untuk tetap sendiri dapat kuterima dan kuhargai. Meski aku masih percaya bahwa perasaannya masih ada untukku walaupun sedikit, aku memilih mempercayainya. Aku memilih percaya "biasa aja." yang selalu ia ucapkan. Aku memilih percaya kata tidak yang selalu jadi perisainya dari rindu yang ditumpuknya setiap hari.

Aku memilih memercayainya karena aku tahu ia adalah pria yang baik. Dia berkata bahwa aku berhak untuk bertemu yang lebih baik darinya. Jauh lebih baik darinya. Mungkin ia hanya tak tahu, bahwa aku bahkan tak pernah punya rencana untuk tetap menyayanginya hingga selama ini. Dan mungkin ia lupa, bahwa Tuhan lebih punya kuasa atas hatinya, begitu juga atas hatiku.

"Bagaimana bisa kita tahu bahwa seseorang adalah orag yang baik atau tidak kalau bukan dengan memercayainya?"

-Surga Yang Tak Dirindukan

Tuesday, February 7, 2017

Undescribeable Feelings

Hei, kamu. Iya, kamu. Tak terasa, ya, hampir dua setengah tahun lamanya kamu menghilang dari hari-hariku yang kadang terasa berat dan notification bar ponselku. Kebersamaan kita yang biasanya jadi mood booster saat suasana hatiku sedang tidak begitu baik, tak pernah ada gantinya. Bahkan di sela tawaku dan teman-teman saat kami membahas jokes receh yang kami lihat di Instagram, saat mataku pejam bersamaan dengan tawa kami yang menggema, kau selalu hadir meski hanya sekelebat di benakku.

Jika bisa, ingin rasanya aku menghindar dari semua ingatan itu. Ingatan yang selalu membuatku memeluk boneka beruangku erat-erat. Ingatan yang selalu membuatku ingin mengulanginya kembali bersamamu. Ingatan yang selalu membuatku merindukanmu sendirian. Ingatan yang selalu membuat hatiku nyeri karena tahu kamu telah melupakannya.

Andai merindukanmu semudah dulu, mungkin hari ini kita sedang berbincang hangat mengenai apa saja yang kita alami hari ini, diselingi dengan berbalas cubit di hidung atau pipi dan usapan lembut di kepala. Andai merindukanmu semudah dulu, mungkin hari ini kita sedang berencana mencocokkan jadwal satu sama lain agar bisa pergi jalan-jalan bersama seharian.

Benar katamu. Percuma, memang. Tak ada gunanya aku menyesal dan berharap semua kenangan itu beserta kamu kembali. Mungkin aku sudah terlambat, atau bahkan, malah tak punya kesempatan sama sekali? Entahlah. Intinya, aku tahu bahwa aku takkan bisa merebut perhatianmu darinya.

Setiap malam, aku hanya bisa bertanya-tanya dengan siapa kau berbalas chat mesra. Topik apa saja yang kalian bahas, apa saja yang kalian tertawakan, hingga ada atau tidaknya ucapan "Selamat malam, selamat tidur..." darimu, lengkap dengan nama lengkap si dia di akhir sesi berbalas pesan kalian.

Aku sedih. Aku kecewa. Aku cemburu. Aku iri dengan si dia yang dapat melihat tawamu sebanyak apapun yang ia mau, atau bahkan, merasakan genggam tanganmu yang hangat di setiap momen yang mendukung. Aku ingin menjadi si dia yang punya banyak kesempatan menghabiskan waktu bersamamu. Menemanimu selama satu hari penuh ke tempat-tempat indah yang dulu belum sempat kita kunjungi bersama.

Memang, seharusnya aku tahu diri karena kau tak pernah terlihat antusias saat aku mencoba berbasa-basi menyapamu. Tapi apa daya? Si bodoh ini nyatanya tak sanggup menimbun rindu sendirian terlalu banyak seperti yang sudah-sudah, hingga pasti kau akan berkata seperti ini dalam hati : "Siapa suruh, udah dua setengah tahun masih belum move on juga! Itu sih, derita lo. Bye." diiringi seringai setelahnya.