Tuesday, October 21, 2014

Chapter 7

Erik memikirkan banyak hal tentang perasaannya malam ini. Perasaan yang dipendamnya pada Almira lebih tepatnya. Erik rebah di kasurnya dan merasakan hatinya makin tak karuan.

Erik memeluk gitar kesayangannya, kemudian memetik asal senarnya. Kesal. "Ya ampun gue kenapa sih! Jadi nggak fokus gini. Jangan dengerin perasaan, Rik. Atau persahabatan lo sama Almira bakal hancur." Erik merenung. Diam. Membiarkan kata hati memberikan hak suaranya.

"Gue nggak bisa kayak gini terus nih. Bisa gila kalo gue pendam terus-terusan kayak gini. Gue harus ngomong sama Almira. Harus. Seenggaknya gue bisa jujur sama perasaan gue sendiri. Urusan respon dia itu belakangan deh."

Erik menyumbat telinganya dengan headset superbassnya. Hanyut dalam alunan lagu-lagu yang membuatnya makin mengingat Almira. Erik mencoba memejamkan matanya. Mencoba menenangkan perasaannya yang tak terkendali malam itu.

*3 hari kemudian*

"Hey, Al. Lo mau kemana? Rapi bener. Mau ngedate ya sama Dito?" Ledek Erik cengar-cengir.

"Erik, jangan mulai deh. Gue lagi nggak mau ngomel sama lo hari ini. Lo nggak lihat nih, apa yang gue bawa?" Almira menunduk menatap benda-benda bawaannya. Lemas.

"Yah, lo seriusan mau balikin itu semua, Al, ternyata. Gue kira lo becanda doang. Mau gue anter nggak? Si macho abis gue cuci kok, gue jamin lo nggak akan ceramah pas lihat dia. Hehe."

"Nggak deh, Rik, makasih. Gue bisa sendiri kok. Kalo gue butuh lo nanti gue telfon lo deh ya. Lo doain gue aja supaya gue kuat dan nggak nangis pas ketemu Dito nanti. Nanti malem gue ke kostan lo deh. Udah ya gue buru-buru nih, dah Erik!" Almira melambaikan tangannya dan berlalu.

"Al, Al. Gue tahu lo mau balikin itu semua cuma alesan aja kan karena lo masih pengen lihat Dito. Lo nggak bisa bohongin gue, Al. Kenapa sih lo nggak sadar-sadar. Kapan lo mau berhenti nyiksa diri lo sendiri?" Keluh Erik berdebat dengan pikirannya sendiri.

Erik menstater kemudian melajukan motor menuju kampusnya. Sebetulnya dia sedang tak ingin kemana-mana di hari libur kerjanya hari ini. "Tapi, namanya juga usaha jadi lebih baik". Batin Erik selalu berkata begitu.

Almira sampai di kedai serabi dekat taman sedikit terlambat. Dito sudah sampai di sana lebih dulu. Seperti biasa, Dito mengambil spot di pojok sebelah kanan dekat jendela yang mengarah ke ayunan yang biasa jadi tempat Almira berkeluh-kesah. Kedai tak begitu ramai sore itu.

"Hey, Dit, udah lama? Maaf ya nunggu. Tadi gue ada urusan." Ucap Almira berbasa-basi.

"Eh, enggak kok, Al. Belum lama, aku juga baru sampe. Aku...." Dito terbata-bata melanjutkan kalimatnya.

Belum selesai Dito berucap, Almira memberikan semua yang dia bawa pada Dito. "Nih, Dit, makasih ya udah nyempetin waktu buat kesini." Almira menyerahkan semua pemberian Dito yang sudah ia kemas dalam satu paperbag besar dengan gugup. "Sekali lagi makasih ya, Dit." Ucap Almira dengan suara bergetar.

"Iya, Al, sama-sama. Nih, makasih juga ya." Dito menyerahkan paperbag hijau yang berisi poloshirt hitam dan jaket yang Almira pinjamkan karena Dito basah kuyup kehujanan saat pertemuan terakhir mereka. "Sweater hoodie merah yang dari kamu, aku simpen, ya. Nggak apa-apa kan?"

"Iya nggak apa-apa kok, Dit. Simpen aja. Yaudah gue pulang dulu ya."

"Kamu pulang sama siapa? Aku anter ya."

"Gue pulang sendiri. Nggak usah. Gue bisa sendiri kok." Almira tersenyum pahit dan segera berlalu, takut Dito melihat air matanya yang hampir jatuh.

Dito hanya dapat melihat punggung Almira yang semakin menjauh. Dito menyesap hot cappucino nya hingga habis kemudian meletakkan beberapa lembar puluhan ribu di meja dan meninggalkan kedai dengan sedih.

Sementara itu...

Almira sedikit berlari untuk segera menjauhi kedai serabi itu. Almira tak mungkin duduk di ayunan saat ini karena Dito pasti akan dapat melihatnya. Akhirnya Almira memutuskan untuk menelepon Erik untuk menjemputnya. Almira berusaha mengendalikan nada suaranya agar Erik tak menceramahinya saat mendengar suaranya di telpon.

"Halo, Rik? Rik, jemput gua ya, please. Gua ada di dekat kedai serabi yang depan ayunan nih. Tapi gue di utara ya. Gue di bangku taman deket tukang harum manis. Cepet ya, Rik. Abangnya udah nagih nih. Gue minta 3 bungkus soalnya. Bye!" Almira tertawa saat memutus sambungan teleponnya.

"Eh, Al, Al.... Yeee, dasar anak kurang ajar. Nggak sopan, belom juga gue ngomong udah maen matiin aja telponnya. Kalo gue nggak sayang udah gue apain kali lo." Erik menggerutu memaki layar handphonenya.

Erik menyalakan motornya dan bergegas menjemput Almira. Tak sampai 10 menit Erik telah sampai di sana.

"Stop. Bayar dulu sama abangnya, Rik. Dia mau pulang tuh, gue nggak bawa uang, hehe." Almira cengar-cengir membuat Erik tak fokus.

Erik memberikan selembar dua puluh ribuan dan penjual harum manis itu pun berlalu.

"Al, Al. Lo itu gila apa gimana sih. Beli harum manis sampe 3 bungkus gitu, siapa yang mau makan?" Erik memasang raut wajah datarnya. "Al, lo habis nangis ya, mata lo kok merah?"

"Eh, enggak kok. Tadi gue kelilipan. Itu tuh tadi bocah-bocah pada main pasir." Almira berbohong.

"Al, kenapa sih nggak ada capeknya bohong sama gue. Kita sahabatan udah lama, nggak usah lo pake bohong segala."

"Rik, sekali aja. Pura-pura percaya, ya." Almira tersenyum simpul.

"Yaudah, ayuk pulang atau lo mau gue temenin kemana?"

"Duduk di ayunan sebentar ya, Rik. Kita abisin semua gulali ini abis itu kita ke kostan lo."

"Yaudah, iya."

Almira berjalan lebih dulu mendahului Erik. Duduk, memandang kedai serabi di depannya dengan sedih, dan melamun seperti biasanya. Dan Erik pun sama, hanya dapat memaki dalam hati seperti biasanya.

"Al, pulang yuk, udah sore."

"Bentar, ya, Rik. Bentar lagi, please..."

"Al, udah kek. Lo mau sampai kapan sih kayak gini?"

"Nggak tau, Rik. Mungkin sampai air mata gue habis." Almira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis untuk mengeluarkan beban di hatinya. "Biarin gue kayak gini dulu ya, Rik. Nanti kalo gue capek juga gue berhenti sendiri, kok. Biarin gue begini sampai gue capek dan air mata gue habis."

Erik hanya bisa diam, menatap dan menemani Almira sore itu.

No comments:

Post a Comment