Thursday, October 9, 2014

Chapter 6

Alih-alih penat selepas UAS, Almira merengek meminta Erik menemaninya ke taman kompleks malam itu. Dan seperti biasa, Almira duduk di ayunan dengan posisi menghadap ke kedai serabi sedangkan Erik di ayunan sebelahnya.

"Rik, menurut lo, apa cinta pertama itu bisa jadi cinta terakhir kita?" Almira menunduk menatap kepala sepatunya sambil mengayunkan ayunannya.

"Gue baru sadar kalo ternyata Dito itu cinta pertama gue, Rik. Inget nggak, waktu gue ceritain cinta monyet gue waktu SMP dulu, si Diaz, yang gue pernah bilang ke elo kalo itu cinta pertama gue? Ternyata bukan dia, Rik. Dia bukan cinta pertama gue."

"Yang bisa kita bilang cinta itu, saat kita menerima dia apa adanya; fisik, materi, sifat, apapun yang ngebuat orang lain ilfeel sama dia sedangkan kita enggak. Karena kita lihat dia dari sisi yang nggak orang lain lihat. Ngerasain lagi manis-manisnya, berantem hebat, baikan lagi, berantem lagi. Bukan cuma sekedar ditinggalin jadi bahan taruhan kan, Rik? Hahaha. Ya namanya juga anak SMP, ngeliat sesuatu masih dari sebatas mata aja, belum mentingin isi hati." Tatap Almira sendu pada lampu taman yang tak jemu berkelap-kelip.

"Gue nggak tahu, Al. Karena gue belom nemuin cinta pertama gue. Gue sayang sama seseorang, tapi dia nggak pernah tahu kalo gue punya perasaan yang besar buat dia. Yang gue tahu, yang gue pengen, ya cuma nemenin dia, jagain dia, ngelindungin dia dari apapun, termasuk sakit hati. Walaupun gue harus ngerasain sakit yang lebih. Tapi gue cuma pengen lihat dia bahagia. Munafik sih emang, kalo gue bilang gue pengen lihat dia bahagia, tapi bahagianya bukan sama gue. Tapi, cinta itu bukan keterpaksaan kan, Al?"

"Ya ampun, Rik. Beruntungnya cewek itu. Kenapa nggak lo ungkapin aja sih, Rik? Jangan jadi laki-laki pengecut deh. Kalaupun dia menolak, seenggaknya lo udah utarain dan lo nggak ngebuang waktu lo dengan nunggu dan bertanya-tanya. Kalo lo nggak coba, lo nggak akan tahu kan kalo dia punya perasaan yang sama atau enggak sama lo?"

"Tapi... semua nggak sesimpel yang lo bayangin, Al. Karena...."

"Karena apa?"

"Eh, Al, ngomong-ngomong lo mau cerita apa sih sampe ngerengek minta gue temenin kesini?" Kilah Erik cepat upaya mengalihkan perhatian Almira dari topik pembicaraan sebelumnya.

"Oh, itu. Iya. Gue mau tanya. Menurut lo gimana kalo misalnya gue balikin ke Dito semua barang-barang yang dia kasih?"

"Loh, kenapa harus lo balikin sih, Al? Bukannya lo suka banget, apalagi sama tempat pensil gold yang sering lo bawa kemana-mana itu kan?" Erik menerka. Benar.

"Nggak penting gue suka atau enggak sama semua barang-barang itu. Gue cuma nggak mau nyimpen barang-barang yang dikasih dengan terpaksa, Rik."

"Tapi dari mana lo tahu, kalo Dito ngasih semua itu dengan terpaksa, Al. Lo bisa aja balikin semua barang-barang itu ke dia. Tapi, apa semua kenangan yang lo punya juga bisa lo balikin? Enggak kan?"

"Gue cuma mikir, udah cukup gue membodohi dan mengasihani diri gue sendiri kayak apa yang orang-orang bilang, Rik. Gue emang kalo lagi sedih ga akan peduli apapun omongan orang. Tapi kita nggak mungkin hidup dalam kesedihan terus-menerus kan? Ada saatnya kita mengikhlaskan apa yang ditakdirkan nggak menjadi milik kita. Dari situlah kita belajar bangkit dan merelakan. Selebihnya semua terserah Tuhan."

"Aha! That's absolutely right, Al. Ga sia-sia selama ini gue training lo buat bangkit dari patah hati." Seru Erik sambil bertepuk tangan, senang melihat Almira perlahan-lahan dapat menerima kenyataan. "Itu hak lo kalo lo mau balikin semua itu ke Dito, gue sebagai sahabat lo, cuma bisa ngasih saran. Selebihnya lo yang tentuin. Tapi kalo emang lo kekeuh mau balikin, sisain seenggaknya satu barang yang paling berharga menurut lo, yang lo inget dia bener-bener tulus ngasihnya."

"Hm, iya sih, Rik. Gue juga mikir sama kayak elo. Gue mau tetep simpen si Bo. Teddy bear yang dia kasih waktu SMA dulu. Yang dekilnya sama kayak lo itu loh, hahaha."

"Iya, gue tahu kok, Rik. Tuhan itu adil. Lo tahu banget kan gimana jahatnya gue sama Dito dulu. Dan sekarang? Dia ninggalin gue segitu gampangnya dengan alasan udah ngga ada perasaan apa-apa lagi di hatinya buat gue. Dulu... itu yang gue rasain ke dia, Rik, persis. Itu sebabnya kenapa gue bisa sejahat itu. Karena gue pikir gue nggak mau pura-pura. Nggak mau bohongin orang sebaik dia. Dia terlalu baik buat gue, itu yang ada di benak gue dulu. Cuma... penyampaian gue ga se-frontal dia aja, dan akhirnya, emang bener kalo Tuhan itu Maha pembolak-balik perasaan. Akhirnya gue sendiri yang kangen sama dia dan sadar bahwa gue butuh dia. Gue sadar kalo dulu gue cuma jenuh aja dan  terlalu cepat narik kesimpulan. Sampe akhirnya kita bisa balik lagi. Ya walaupun bukan gue yang minta, tetep aja sih kalo gue nggak hubungin dia duluan, kita nggak akan mungkin balikan lagi."

"Waktu itu gue ngerasanya masih "butuh" dia, Rik. Belum bisa ngerasain sayang kayak apa yang gue rasain ke dia sekarang. Tapi ternyata, setelah gue berubah jadi lebih baik buat bahagiain dia, lo liat apa yang terjadi kan? Sakit itu pasti. Tapi, walaupun gue sakit, hancur, rapuh, at least sekarang gue udah bisa ambil positifnya. Ambil pelajaran dari ini semua. Akhirnya gue tahu gimana rasanya jadi dia dulu. Di sia-siain waktu lagi sayang-sayangnya, tetep peduli sama dia walau dia udah ngerasa muak sama kehadiran gue, masih dan akan tetep sayang sama dia sampe Hello Kitty dilamar Doraemon. Rasanya, kayak ditampar, Rik. Dan itu nyata banget. Tapi gue seneng karena semua itu bikin gue sadar dan pasti bakal bikin gue jadi lebih baik. Karena gue udah tahu gimana sakitnya. Dan satu lagi, Rik. Gue lega. Legaaaaa banget. Karena akhirnya hutang gue sama dia udah lunas. Gue udah ngga ngerasa beban lagi karena rasa bersalah gue udah diganti sama kesakitan yang dia kasih. Akhirnya kita impas, Rik. Hahaha." Bulir air mata Almira jatuh di sela tawanya.

"Udah ya, Al. Please banget. Gue paling nggak bisa lihat lo nangis." Erik tersenyum seraya menghapus air mata Almira dengan ibu jarinya.

"Gue nggak nangis, Rik. Gue bahagia, akhirnya setelah bertahun-tahun beban ini terangkat juga. Dari dulu, meskipun gue sama dia balikan lagi, putus lagi, balikan lagi, rasa bersalah itu nggak pernah bisa hilang, Rik. Karena dia dulu nggak pernah berubah, selalu jadi Dito yang nice, yang sabar, yang nggak pernah capek perhatiin gue, yang selalu berharap bisa gue perlakuin dengan manis, dan gue banggain di depan banyak orang. Dan setelah gue bisa berubah, malah jadi beneran sayang banget sama dia, di saat itu karma dateng. Yang dia rasain sama persis, Rik. Sama persis kayak apa yang gue rasain dulu. Di mulut gue bilang "aku sayang kamu", sedangkan saat itu hati gue rasanya jenuh, tawar, hampa. Sampe akhirnya gue muak buat bohong terus, dan akhirnya gue pikir lebih baik gue pergi, karena gue ngerasa gue akan makin jahat kalo terus-terusan ngasih dia harapan-harapan kosong. Persis banget, Rik. Persis banget." Almira sesegukan. Erik memeluk Almira untuk meredakan tangisnya. "Gue kangen banget, Rik, dipeluk sama dia kayak gini. Kangen banget." Lanjut Almira dengan suaranya yang makin sengau.

Erik membelai rambut Almira yang aroma shampo citrus-nya sangat Erik suka, mencoba menenangkan Almira saat itu.

"Al, denger gue ya. Mungkin bahu gue nggak senyaman yang Dito punya dan pelukan gue nggak sehangat yang Dito kasih, tapi gue akan selalu ada buat lo, Al. Anytime. Lo mau nangis, marah, kecewa. Luapin aja. Gue ada di sini nemenin lo. Dan akan selalu jadi sandaran lo." Erik berpikir sejenak kemudian melepas pelukannya. "sebentar ya, Al. Tunggu di sini aja jangan kemana-mana".

Erik setengah berlari menjauhi taman kompleks, sengaja tak memberi tahu Almira kemana tujuannya. Ditinggalkannya Almira sendirian di sana.

"Ah, dasar gorilla dekil! Nggak gentle banget sih! Gue lagi kayak gini ditinggalin nggak jelas mau kemana. Mana disuruh nungguin pula!" Cerocos Almira ketus.

-15 menit kemudian-

Almira melamun menatap kepala sepatunya lagi, kemudian menyandarkan kepalanya di kepalan tangannya yang menggenggam rantai ayunan, menatap kosong pada kedai serabi di depannya. Erik mengendap-endap dan mengagetkan Almira dari sisi belakang.

"Dorr!!! Ngapain hayo bengong-bengong! Hahaha." Tawa Erik tak henti karena merasa berhasil membuat jantung Almira copot.

"Erikkkkk! Sialan lo ya! Nggak lucu!" Almira bangkit dari duduknya untuk menjitak kepala Erik. Kena.

"Aduh, Al. Lo kenapa sih galak banget sama gue. Sekali-kali kek gue lo belai-belai sayang. Hahaha. Nih buat lo biar lo nggak sedih lagi." Erik tersenyum seraya memberikan sebungkus harum manis untuk Almira.

"Ah, Erik... Makasih, makasih banyak..." Almira kembali meneteskan bulir air matanya, tersenyum haru mengingat begitu banyak hal-hal manis yang sahabatnya berikan untuk menghapus setiap kesedihannya.

Erik tersenyum menatap Almira yang bahagia saat menerima harum manis pemberiannya. Almira tersenyum menatap lampu taman yang masih tak hentinya berkelap-kelip sambil mengayunkan ayunannya dan menikmati harum manis miliknya. Almira tak sadar bahwa Erik sedang menatapnya, begitu bahagia melihat senyumannya.

"Gue sayang lo, Al. Dari dulu dan nggak akan pernah berubah." Bisik Erik dalam hatinya, kemudian tersenyum kembali.

Almira tak pernah sadar bahwa ada pria yang telah lama mencintainya dalam diam.

-Bersambung.

No comments:

Post a Comment