Thursday, September 25, 2014

Chapter 2

"Woy! Lo kenapa sih, Al. Melamun terus, mikirin Dito kalih? Hahaha." Celetuk Erik.

Erik adalah sahabat dekat Almira sejak duduk di bangku SMP, lebih tepatnya, Erik adalah tetangga yang dikenalnya pertama kali dan dekat hingga sekarang.

"Hahaha, apaan sih lo, Rik. Dasar gorilla sok tahu! Nggak kok, gue emang lagi nggak enak badan aja. Makanya bawaannya lesu." Jawab Almira.

Almira yang sedang ingin menyendiri di taman kompleks dekat rumahnya itu sebenarnya merasa agak terganggu dengan kehadiran sahabatnya yang super menyebalkan ini. Erik memang tipikal sahabat yang menyebalkan, bahkan menjengkelkan. Tapi di satu waktu, dia dapat berubah menjadi Erik yang super serius dan dewasa di saat-saat seperti ini. Di saat Almira membutuhkan sandaran dan tempat berbagi.

"Al, Al. Lo pikir gue baru kenal lo kemaren kali?" Kata Erik seraya mengacak-acak rambut Almira yang sudah tersisir rapi

"Ih, apaan sih lo, Rik. Gue tuh paling nggak suka diacak-acak rambutnya. Apalagi sama elo! Dasar nyebelin." Sahut Almira jutek.

Erik memandang Almira dengan perasaan yang sama sakitnya. Hatinya sakit melihat orang yang amat disayanginya terluka.

"Udahlah, Al. Nggak usah pake bohong-bohong segala sama gue. Mata lo tuh ngga bisa bohong. Dua minggu ini gue liat lo bengong terus. Kata nyokap lo, lo juga jarang makan. Ga inget 3 hari yang lalu lo nelpon gue malem-malem terus dateng ke kostan gue dengan kondisi muka kucel, mata sembab, rambut acak-acakan, berantakan! Gue nggak suka lihat sahabat gue nggak karuan kayak gini! Mana Almira yang gue kenal? Masa cuma gara-gara diputusin sama cowok cemen macem Dito aja lo rapuh sih. Dasar cengeng!"

Almira masih terus saja melamun sambil mengayun-ayunkan dirinya diatas ayunan tua yang ada di taman tersebut. Sedangkan Erik duduk di ayunan sebelahnya dan masih terus saja mengoceh.

"Mau sampe kapan sih lo kayak gini, Al? Semua udah terjadi. Dia udah pergi. Terus apalagi yang lo tunggu? Udah lah, Al, sadar. Bangun dari mimpi lo. Lo udah terlalu lama hidup dalam mimpi. Bahagia lo sama Dito selama ini cuma semu. Apa sih untungnya nyiksa diri lo kayak gini?"

"Al!! Lo daritadi dengerin gue ngomong nggak sih!" Suara Erik meninggi, agak emosi merasa diabaikan Almira.

"Hah? Iya, Rik? Apa? Lo ngomong apa tadi? Maaf gue nggak konsen."

"Nah, liat sendiri kan? Orang yang gantengnya setara Thomas Brodie Sangster gini aja lo cuekin. Helow, jatoh deh ini mah harga diri gue." Cerocos Erik tak henti

"Haha. Apaan sih, Rik. Nggak aus apa lo daritadi nyerocoooooooos terus. Gue cuma pengen sendiri, Rik. Gue nggak pengen ngapa-ngapain. Lo ngerti nggak sih? Gue cuma butuh waktu buat sendiri. Gue butuh ketenangan. Lo nggak ngerti rasanya, nggak sayang sama seseorang terus seiring berjalannya waktu semua berubah hanya karena lo pengen bikin dia bahagia. Lo pengen kasih dia apa yang dulu nggak pernah lo kasih. Sayang, perhatian, ketulusan. Semua yang nggak pernah gue kasih ke dia dulu, Rik. Gue hanya mencoba jadi Almira yang lebih baik buat dia. Tapi kenapa kayak gini akhirnya? Terus buat apa dia balik lagi ke kehidupan gue kalo cuma buat ngancurin gue aja? Sakit, Rik. Sakit." Air mata Almira menetes.

Erik beranjak dari posisi duduknya dari ayunan sebelah Almira. Berjongok di depan Almira dan menggenggam tangannya.

"Al. Lo tahu? Mungkin Tuhan nggak kasih apa yang kita pengen, tapi Tuhan selalu ngasih yang kita butuh kan? Coba lah lo ambil positifnya dari semua kejadian ini. Jangan melulu ngeluh sama Tuhan. Saat lo dikasih bahagia, pernah nggak lo inget buat sujud sama Dia dan ucap syukur? Pernah lo berterimakasih sama Dia lo dikasih kebahagiaan yang begitu besar walau hanya sekedar dipeluk Dito? Lo lupa, Al. Lo udah lupa terlalu jauh kalo ada Tuhan yang harusnya lo kasih cinta lo yang terlalu besar itu. Bukan Dito. Pernah lo mikir kayak gitu?" Ceramah Erik panjang lebar.

"Masya Allah, Rik. Iya. Lo bener. Kenapa gue nggak pernah berpikir kayak gitu ya. Ya Allah, nggak ada manusia yang lebih hina daripada gue saat ini, Rik. Gue malu. Kenapa gue bisa begini ya, Rik? Gue juga nggak ngerti. Eh, tapi tumben, Rik. Kok otak sama omongan lo bener. Bisa sinkron gitu. Biasanya kan...... Hahaha." Mendadak tangis Almira terhenti dan tawanya meledak saat meledek Erik.

"Biasanya apa! Dasar lo anak kurang ajar. Udah diingetin, bukannya makasih malah nyela gue lagi lo. Tapi nggak apa-apa lah, itung-itung banyakin pahala karena ngehibur sahabat gue yang mukanya kaya pantat panci ini. Hahaha." Kata Erik bersemangat sambil menjewer kuping Almira.

"Denger ya, Al. Tuhan itu bukan kayak kita. Yang nyimpen dendam kalo kita lupa sama Dia. Dia bakal selalu ada buat lo disaat lo butuh. Pun seandainya lo kebalikannya. Meskipun disaat lo bahagia lo nggak pernah inget dia. Dia nggak pernah marah kan? Anggap ini semua ujian buat lo. Akankah lo sadar setelah kehilangan satu-satunya yang lo anggap paling berharga buat lo. Minta maaf sama Dia, Al. Lo udah terlalu jauh ngelupain Dia. Dan anggep aja ini karma lo karena lo pernah bikin Dito kecewa kan dulu? Ya walaupun gue tau nggak sesakit yang Dito kasih ke elo. Tapi, Tuhan selalu punya cara untuk menuntun hamba-Nya kembali kok. Kembali untuk dekat sama Dia."

"Iya, Rik. Makasih ya. Iya gue sadar banget gue udah terlalu jauh lupa sama Dia. Yaa Allah, kenapa gue bisa kayak gini sih? Buta banget sama cinta. Dan lo tahu, Rik? Gue sempet pengen ngerusak diri gue sendiri karena gue ngerasa gue nggak bisa tanpa dia. Dan belakangan ini gue sering kesini dan ngelamun itu, ya karena gue ngehindarin hal-hal buruk yang mungkin gue lakuin. Tapi gue bersyukur gue bisa nahan ide-ide bodoh itu buat nggak gue lakuin."

"Tapi, Rik. Apa mungkin kalo Dito suatu saat bakal kembali lagi sama gue? Apa dia bakal minta maaf dan mohon-mohon sama gue untuk kembali sama dia dan ngelupain semua ini? Apa itu mungkin, Rik? Apa itu mungkin setelah dia bilang kalo "Disini udah nggak ada apa-apa, Al." Apa itu mungkin, Rik?" Kata Almira lirih, setengah berharap.

"Lo juga. Kenapa sih lo selalu marahin gue kalo gue gak bisa move on, lebih tepatnya nggak mau move on. Lo nggak ngerti, Rik. Lo nggak tahu rasanya." Tatap Almira sedih pada kedai serabi depan taman itu yang dulu sering dia kunjungi bersama Dito.

Erik menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Dalam hati ia berteriak: "Al, Al. Lo yang nggak ngerti! Lo yang nggak tahu rasanya! Segitu cintanya kah lo sama Dito sampai lo nggak liat kalo disini selalu ada gue yang nemenin lo, yang jadi bahu lo saat lo sedih, yang selalu berusaha bikin lo ketawa tanpa lo tahu perasaan gue sama lo masih ada sampe sekarang. Apa nggak ada kesempatan buat gue sedikit aja masuk ke sela-sela hati lo dan memperlakukan lo lebih baik dari Dito? Nggak ada, Al?"

Erik memang pernah memiliki perasaan yang lebih pada Almira. Perasaan lebih dari sekedar sahabat. Erik tak mengerti itu perasaan apa. Mungkin sayang, atau cinta? Entah apalah itu. Yang Erik tahu dia hanya ingin selalu ada untuk Almira. Menjadi pelipur laranya, menjadi orang yang bisa Almira andalkan di segala situasi. Dulu, Erik pernah menyatakan perasaannya dan Almira malah menganggap semua hanya leluconnya saja. Kata Almira, dia dan Almira bahkan sudah seperti adik dan kakak, jadi bagaimana mungkin Erik bisa memiliki perasaan semacam itu padanya? Dan sejak saat itu, Erik memilih untuk tetap memendam perasaannya. Yang hingga saat ini, tak pernah berkurang, bahkan semakin hari kian bertambah. Erik mencoba menyayangi Almira dalam diam.

"Woy!! Kok jadi elo yang bengong sih, Rik. Ntar ayamnya Pakde Kumis mati aja! Hahaha. Mikirin apaan sih lo? Mikirin cewek yaa? Ciyeeee.... anak semester berapa? Cerita dong sama gue!" Kata Almira cengengesan lalu meninju bahu Erik.

Erik mendudukkan dirinya di tumpukan batu bata yang ada di depan ayunan Almira. "Apaan sih lo, Al. Cara lo ngalihin pembicaraan nggak lucu. Apa yang gue pikirin itu nggak penting. Yang penting sekarang gimana caranya lo nggak berantakan kaya gini lagi. Ilfeel gue liat muka lo dekil kaya gitu, mandi orang mah. Galau sih boleh aja tapi ya nggak sampe dua minggu nggak mandi juga kali, Al!"

"Astaga, Erik. Jahat banget mulut lo. Enak aja! Lo nggak liat gue udah kayak bidadari gini. Abis luluran nih gue tadi!"

"Yaelah, Al. Buat apa juga lo segala luluran sampe ngerasa lo setara bidadari gitu kalo tujuannya cuma nyepi di taman kompleks, duduk sambil ngelamun di ayunan, dan berkaca-kaca natap kedai serabi itu?"

Almira diam saja. Almira benar-benar kaget bahwa sahabatnya yang satu ini benar-benar memahami dirinya. Dalam hati dia berharap "Andai Dito kayak lo, Rik."

"Haha. Apaan sih lo? Kebiasaan buruk lo tuh. SOK TAHU." Kata Almira lantang mempertegas kalimat terakhirnya.

"Haha. Sumpah ya, Al. Gue suka pengen ngakak kalo lo berusaha bohongin perasaan lo depan gue. Lo itu sahabat gue dari SMP, gimana bisa sih gue nggak tahu gerak-gerik lo kalo lagi galau? Kalo lagi desperated kaya orang di pending gaji 3 bulan?"

"Anjrit. Emang gue se-ngenes itu apa, Rik? Hadeeeeeh, gue lagi sedih, bukannya dihibur malah dicela-cela mulu?" Jawab Almira dengan raut muka datarnya

"Haha. Terserah lo, lah. Gue laper nih, cepetan traktir gue bakso Mas Man. Lo kan udah gue kasih pencerahan sore ini. Masa lo nggak ada balas budinya sih sama gue?"

"Hih, dasar. Sahabat macam apa lo. Mana ada begitu ceritanya. Dimana-mana orang mah ada sahabatnya lagi sedih ya ngehibur sukarela lah, lagi juga harusnya elo yang traktir gue. Kan gue yang lagi sedih hari ini. Huuu!"

"Yaudah, oke oke. Lo beruntung, Al, hari ini. Berhubung hari ini gue udah kelar UAS dan kebetulan dapet bonus karena achieve target, boleh lah traktir sahabat gue yang oon ini kalo cuma bakso mah. Yaudah ayo bangun, mau sampe kapan lo duduk di ayunan reyot itu? Sampe ambruk? Hahaha." Erik berdiri dari duduknya seraya meraih tangan Almira untuk mengajaknya ke kedai bakso Mas Man di ujung kompleks.

Erik menggandeng Almira dan sesekali mengacak-acak rambutnya gemas. Walaupun Almira selalu menunjukkan mimik wajahnya yang dia pikir dapat membuat Erik takut. Sepanjang jalan, Erik terus menghiburnya dengan candaan-candaan khasnya yang konyol dan garing. Hingga tanpa sadar Almira lupa, bahwa ia sedang galau saat itu.

-bersambung.

No comments:

Post a Comment