Sunday, January 19, 2014

Maaf, Aku Jenuh (Ending)

Tak terasa sebulan dilalui Almira tanpa kabar dari Dito. Almira mulai merasakan gusar, tiap malam yang ada di pikirannya hanya Dito, Dito, dan  Dito. Almira mulai berpikir untuk mengalah dan menghubungi Dito lebih dulu.

"Telpon, enggak, telpon, enggak, telpon, ah telpon aja deh, gue gak mungkin digantungin gini terus. Pahit ya pahit sekalian, Bismillah". Terdengar ucapan Almira yang masih ragu sebelum menekan tombol call di handphonenya

*tuuuuut..... tuuuuut..... tuuuuut*

Terdengar nada sambung yang begitu lama, menandakan bahwa sang empunya nomor yang dituju tak mengangkat adanya telpon masuk.

Almira mulai kebingungan dan tambah gusar, hingga tak terasa meneteskan air matanya (lagi). Akhirnya Almira memilih untuk mengirimkan pesan Whatsapp saja, setidaknya Dito pasti akan membacanya walaupun mungkin tak mau membalasnya.

Almira:
"Dito, maaf sebelumnya. Aku cuma mau tanya kejelasan kamu, kejelasan hubungan kita. Aku nggak bisa terus-terusan kamu gantungin gini terus, aku manusia, aku punya perasaan, bukan robot!".

Almira menunggu dan terus menunggu, Almira mencoba stalking akun-akun social media milik Dito, namun masih tak ada titik terang. Hingga kira-kira 2 jam lamanya, barulah ada balasan dari Dito.

*1 message received*

Dito:
"Al, maaf. Aku baru bisa whatsapp kamu, dan kayaknya lebih baik kita sendiri-sendiri aja. Maaf, tapi mungkin ini yang terbaik, aku bingung harus gimana. Salah aku yang nggak pernah bisa bikin kamu seneng, bikin kamu ngerasa kayak temen-temen kamu yang lain, dan aku juga lagi ada masalah yang nggak bisa aku ceritain sama kamu, yang ngebuat waktu aku makin kesita, yang pastinya makin nggak punya waktu buat kamu, dan ngebuat aku nggak fokus juga sama diri aku. Daripada kamu tambah jenuh, tambah bosen, lebih baik kita sendiri-sendiri dulu aja, Al. Mudah-mudahan kamu nggak bosen liat aku minta maaf. Maaf, sekali lagi maaf, Al.

Almira:
"Oh, gitu? Jadi segini aja? Oke, fine" Balas Almira singkat karena saking sesaknya ia melihat jawaban yang begitu ia tak inginkan keluar dari kata-kata Dito.

Almira:
"Aku pikir dengan aku ngalah, coba hubungin kamu duluan, bisa perbaikin semuanya yang udah kacau, tapi apa yang aku dapet? Seolah aku kaya sampah. Sia-sia. Nyesel aku ngehubungin kamu duluan kalo tau endingnya bakal kayak gini. Apa? Dimana yang kamu bilang perjuangan? Yang kamu bilang bertahan? Cuma segini aja? Bertahun-tahun kamu bikin aku seolah kayak orang bodoh. Buat apa kamu dateng lagi kalo akhirnya pergi lagi, hah, kamu punya idaman lain? jawab!" Emosi Almira meledak ke puncaknya hingga tak terasa bulir-bulir air matanya berjatuhan

Dito:
"Nggak kok, aku punya alasan yang nggak mungkin aku kasih tau sama kamu, Al. Rumit"

Seketika Almira merasakan pisau menancap di jantungnya, tak menyangka Dito akan begitu mudahnya mengakhiri ini semua.

Almira:
"Gila, gila, gila!!!! Hebat banget lo, Dit! Standing applause buat lo! Dateng, pergi, terus dateng, terus pergi, terus dateng, terus pergi lagi. Lo kira gue halte yang bisa lo datengin kapan aja lo mau? Duh, bodoh banget ya gue, selalu terjebak lagi dan lagi sama permainan lo. Haha stupid"

Dito:
"Aku ngga pernah punya niat, Al, buat mainin kamu, berpikir untuk punya niat pun enggak. Nggak taulah, Al. Aku cuma bingung harus gimana".

Almira:
"Hebat, Dit. Hebat banget lo. Disaat gue dari awal mencoba sayang, mulai nyaman, sampe akhirnya gue bener-bener sayang. Dan saat itu juga lo tinggalin gue, makasih, makasih banget".

Dito:
"Al, udah ya, Al, udah"

Almira:
"Lo lupa, ya, alasan lo balik lagi, lo bilang coba buat memperbaiki, dan "katanya" sih mau bertahan, jadi cuma segini aja? Cuma disini aja?"

Dito:
"Al, udah kek, Al udaaaaah, stop".

Almira:
"Oke, semoga lo bahagia dengan pilihan lo, dan semoga dapet pengganti yang gak egois, yang bisa selalu support lo apapun keadaan lo".

Satu jam, 2 jam, hingga 3 jam Almira menunggu, namun nihil, tak ada balasan apapun dari Dito. Jam sudah menunjukkan pukul 03.45. Almira saat ini masih terjaga dan mata nya kini sembab karena menangis tersedu sedan. Padahal esoknya, ia harus kembali menjalankan rutinitasnya, harus tetap kuliah seperti biasanya. Tapi rasanya Almira ingin bolos saja. Karena Almira tak pernah merasa sekacau ini sebelumnya..

Almira memutar lagu-lagu di handphonenya, lagu yang selalu mengingatkan nya pada Dito : David Cook - Always Be My Baby dan Yovie and The Nuno - Sempat Memiliki. Tak bosan ia selalu me-repeat 2 lagu itu sampai telinganya merasa lelah. Almira tak bisa berhenti menangis. Hingga kini tak terasa bantalnya telah basah oleh bulir-bulir air matanya. Lembar tissue bertebaran dimana-mana, kamar Almira terlihat sangat kacau, sekacau pikiran dan perasaannya saat itu.

"Ya ampun, Dit. Apa lo tau disini gue nangisin elo. Apa lo tau sakit yang gue rasain kaya apa, jelasin, Dit, sama gue lo kenapa. Kenapa, Dit!!" Seru Almira saat bercermin melihat dirinya yang saat ini sangat berantakan.

Jam menunjukkan pukul 04:45. Almira sadar ia harus tetap tidur walau hanya 2-3 jam. Almira mulai merasakan pusing hebat di kepalanya. Hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah. Dengan segera ia mengambil selembar tissue dan mengelap sisa sisa darah yang keluar dari hidungnya. Sebelum tidur, ia mencari buku diary usangnya yang ia ingat masih bisa dijadikkannya tempat untuk mencurahkan isi hati. Almira sesegukan membuka lembar kosong di dalamnya, seraya menggoreskan pena dan memulai cerita dukanya.

Sabtu, 18 Januari 2014

"Selamat tinggal, Dit. Selamat menjalani hari-hari lo yang indah tanpa gue. Selamat berbahagia dengan wanita lo yang lain, yang bisa nerima apapun keadaan lo dan nggak pernah ngeluh jenuh sama semua perhatian lo yang tulus. Maaf, dari awal emang gue terlalu bodoh untuk sadar, kalo gue nggak pernah pantes buat lo. You're too good to be mine, Dit. Terima kasih jagoanku, udah ngajarin aku rasanya menyayangi dan disayangi. Terima kasih sudah mau menghabiskan sebagian waktu dari hidupmu untuk wanita nggak penting macem aku. Terima kasih udah sudi nyediain bahu buat tempat aku bersandar, menangis, sampai nyembuhin sakit, hehe. Nggak tau kamu masih ingat atau enggak kalau aku sakit pasti pengennya nyender sama kamu. Tapi sekarang, kalo aku sakit nyendernya sama siapa dong? Aku nggak punya bahu lagi buat disenderin, nggak punya lengan lagi buat dipeluk, nggak punya seseorang lagi yang dijadiin teman berbagi. Mungkin ini hukuman buat aku. Aku tau betapapun aku menunjukkan kalo aku nggak pengen kehilangan kamu, kamu nggak akan peduli karena kamu nggak ngerasain luka yang sama. Mungkin kalo aku mati nanti, kamu baru sudi datengin aku kan, Dit. Baru sudi liat aku yang udah jadi gundukan tanah disaat aku nggak bisa lihat kamu lagi. Aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa hidup. Padahal aku cuma pengen habisin sisa hidup aku buat ketawa-tawa bareng kamu. Tapi yaudah, yang udah ya udah, aku sadar waktu nggak bisa balik lagi. Dan sekarang yang harus aku lakuin adalah move on! Yay! Semangat, Almira Shafila!".

Wajah Almira tampak semakin pucat, tapi ia tak ingin memberitahu Dito bahwa ia merasakan sakit luar biasa. Pikirnya, ia tak mau membebani Dito karena Almira tau masalah Dito sudah begitu banyak. Almira tak ingin dikasihani. Tak ingin orang yang disayanginya, menyayangi Almira karena kasihan.

"Lagipula Dito juga udah nggak peduli lagi sama gue, bales whatsapp gue yang udah kayak orang desperated gini aja dia cuma bales seperlunya". Batin Almira

Malam semakin larut, dan tak terasa hampir pagi.

4 lembar sudah diary usang Almira telah penuh dengan cerita dukanya. Saat ini Almira sudah sedikit lebih tenang, walaupun ia masih tetap tak percaya semua ini terjadi padanya. Dihati kecilnya, ia masih berharap semua ini hanya mimpi buruk yang keesokan harinya akan kembali normal. Masih ada sapaan hangat selamat pagi dari Dito, pertanyaan-pertanyaan Dito yang membosankan, dan lelucon-lelucon Dito yang sebenarnya tak pernah lucu.

"Aku kangen kamu, Dit. Aku pengen nyender dibahu kamu sekarang".

Almira menarik selimutnya, mencoba memejamkan mata dan meneteskan air matanya yang terakhir.

TAMAT

No comments:

Post a Comment