Tuesday, September 17, 2013

Aku Tak Pernah Membencimu. Aku Hanya Mencoba Bersahabat Dengan Luka

Masih ingatkah kamu saat itu? Ya, tak terasa hampir setahun yang lalu. Kala itu tepatnya pertengahan bulan November. Namun aku tak begitu ingat ketika aku akhirnya bisa mengenalmu. Yang kuingat, selalu ada rasa sebal saat melihat wajahmu dulu. Tapi mungkin kamu terlalu sulit untuk peka. Peka untuk dapat membaca arti dari mimik wajahku saat melihat tingkahmu.

Sebal. Ya, berawal dari perasaan itu yang akhirnya entah kapan berubah jadi suka, kemudian sayang. Berawal saat kamu meminta nomor ponselku dan mencoba mendekatiku dengan obrolan-obrolan (sok) akrabmu. Mencoba memberiku segudang perhatian dan menawarkan tumpangan saat hendak berangkat dan pulang ke tempat tujuanku.

Aku tak tahu kapan tepatnya perasaan ini hadir. Perasaan nyaman yang membuat kita makin dekat. Rasanya, semua terjadi begitu cepat hingga akhirnya tiba-tiba kamu datang kerumah dan memintaku jadi pacarmu. Kaget bercampur bahagia mewarnai perasaanku saat itu. Kaget karena aku sadar awalnya aku membencimu, namun sekarang kebalikannya. Dan bahagia karena ternyata kamu punya perasaan yang sama.

Hari silih berganti, dan minggu berganti bulan. Aku masih merasa baik-baik saja dan bahagia denganmu. Aku tak ingat pasti apa permasalahan yang dulu memicu pertengkaran itu hingga akhirnya kita berpisah. Yang kuingat hanya setumpuk keegoisanku saat memaksamu untuk selalu mengerti aku. Sifatku yang menurutmu kekanakan. Yang selalu ingin dimengerti, namun tak pernah mencoba mengerti saat kamu berada di posisi yang sulit dan serba salah. Aku tak ingat apakah aku sedang PMS atau tidak, tapi entah kenapa aku marah sekali padamu. Mungkin rasa lelah menyulut emosi kita untuk berada dipuncaknya saat itu. Dan kamu bilang, kamu lelah kalau harus selalu mengalah.

Nyatanya memang benar bahwa penyesalan selalu datang belakangan. Setelah kamu menginginkan kita untuk berpisah, aku selalu berpikir untuk dapat memperbaiki semuanya. Kucoba untuk mengirim permohonan maafku padamu lewat pesan singkat. Mencoba menarik kembali kata-kataku yang membuatmu berhenti. Tapi semua sudah terlambat. Menangis sehari semalam pun takkan berguna untuk menarik kata-kata itu kembali. Tak pernah ada bosannya aku memohon maaf padamu setiap hari. Namun nihil, jangankan memaafkanku, membalas pesan singkatku pun kamu enggan. Sakit rasanya, saat  diabaikan oleh orang yang kita sayangi.

Seiring waktu berlalu, aku mencoba terbiasa tanpamu. Sangat sulit rasanya, sampai aku tak bisa berhenti menangis setiap malam. Cengeng memang, tapi aku tak pernah peduli. Aku selalu berdo'a pada Tuhan agar Ia memberiku kesempatan kedua, setidaknya untuk memohon maaf langsung padamu.

Tiba saatnya hingga aku merasa lelah. Lelah karena permohonan maafku tak pernah benar-benar kamu jawab. Lelah karena rinduku tak pernah kamu balas. Lelah karena selalu mendramatisasi efek dari perpisahan kita. Kadang aku berpikir, mungkin ini adalah caramu untuk membunuh perasaanku yang kamu tahu sudah tertanam begitu dalam.

Tak berhenti sampai disitu rasa sakit ini. Apalagi ketika kudengar kamu telah dekat dengan yang lain dan mengakuinya lewat percakapan kita beberapa waktu yang lalu. Sakit, amat sakit. Rasanya jantung ini berhenti berdetak beberapa detik. Dan hanya air mata yang mewakili bibir untuk mengungkapkannya, terlebih saat aku tahu bahwa dia yang merebut hatimu. Dia yang menawarkan dirinya sebagai mediator kita untuk kembali. Menjanjikan aku dan kamu pasti kembali. Ternyata, dia tak sepolos kelihatannya.

Setiap hari aku mencoba berpura-pura tegar. Mencoba dekat dengan yang lain, tapi nyatanya hatiku tak bisa. Perasaan ini tak bisa bohong jikalau celah-celah didalamnya selalu untuk kamu. Aku selalu mencoba untuk berpura-pura tak peduli, terlebih saat teman-temanku heboh mengadu padaku ketika mereka melihatmu menggandengnya. Memboncengnya dengan sepeda motormu yang kuingat dulu selalu aku yang berada diatasnya, dibelakangmu dan memelukmu dengan mesra sama persis seperti yang dia lakukan. Aku iri padanya, walau aku membencinya.

Jujur, aku tak pernah membencimu. Aku hanya mencoba bersahabat dengan luka. Berpura-pura bahagia walau nyatanya berduka. Berpura-pura benci walau nyatanya cinta. Berpura-pura tersenyum walau hatiku pedih melihat kenyataannya. Semua kepura-puraan ini hanya untuk menutupi luka di hatiku semata, yang kutahu takkan pernah hilang, walau selalu kucoba untuk mengobatinya.

Sudahlah, takkan ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Sudah saatnya untuk aku melangkah melanjutkan hidupku. Mewarnai hari-hariku meski tanpa kamu dan mencoba mencari pengganti yang kuharap bisa lebih baik darimu. Diantara banyak kesakitan ini aku bersyukur, tandanya Tuhan sayang padaku. Memisahkanku darimu mungkin salah satu Rencana-Nya agar aku dapat bertemu orang yang benar-benar tulus dan layak kujadikan sandaran. Setidaknya pengalaman ini memberikanku pelajaran untuk menghargai hal-hal kecil yang kupunya. Menjadikanku Hamba yang senantiasa bersyukur atas segala Karunia-Nya. Termasuk kamu, dulu :)

Requested by: Rofiana

No comments:

Post a Comment