Thursday, January 9, 2020

Selamat Tinggal, 9 Tahun.


Dulu, nggak pernah terpikir bisa sanggup merelakan hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, walau kadang beberapa kali terlintas bahwa yang dijalani sepertinya toxic relationship. Dulu, nggak pernah terpikir bahwa hubungan antara dua orang yang menjadikan pasangannya sebagai tujuan hidup harusnya ada timbal-balik, serta usaha yang tidak berat sebelah. Dulu, nggak pernah terpikir bahwa harusnya aku lebih mengutamakan logika, daripada cinta.

Mungkin, aku hanya satu dari sekian banyak yang pernah berada dalam long-term relationship yang tidak sehat, memilih untuk selalu bertahan karena berpikir bahwa sepertinya dia adalah orang yang tepat, yang mungkin, akan jadi yang terakhir hanya karena aku sudah mencintainya dalam kurun waktu yang lama, padahal tidak. Seringkali aku lupa, saat mencintai seseorang, kemakluman dan maaf yang aku berikan melampaui batas. Memaklumi dan memaafkan pasangan yang menyesal hanya untuk mengulangi kesalahan yang sama.

Nggak pernah terpikir akan butuh 9 tahun untuk akhirnya memilih berhenti. Berhenti jadi orang yang mudah dibodohi dengan kata-kata manis, berhenti jadi orang yang selalu berjuang sendirian, berhenti jadi orang yang berharap dicintai sama besarnya aku mencintai, dan berhenti jadi orang yang selalu memaklumi keegoisan pasanganku. Nggak pernah terpikir akan butuh 9 tahun hingga akhirnya aku sadar, bahwa aku layak menerima perlakuan yang lebih baik, dicintai dengan lebih baik, diperjuangkan dengan lebih baik, bahkan dijaga perasaannya dengan lebih baik.

9 tahun memang bukan waktu yang sebentar. Entah aku menyesalinya atau tidak, aku yakin semua sudah jadi rencana Tuhan. Aku hanya berharap, aku tidak berakhir membenci dia yang selama ini hanya bermain-main. Semoga, aku bisa menahan diri dari mengucap sumpah serapah atas kata-katanya yang menyakitkan, yang takkan pernah kulupa, seumur hidup.

Selamat tinggal, kenangan. Sedikit demi sedikit, kucoba untuk berdamai dengan diriku sendiri. Menerima dengan lapang dada keputusan Tuhan, sembari meyakini bahwa ini yang terbaik. Kuiringi ikhlasku yang masih setipis kabut dengan doa, semoga kamu serta keluarga dan hidupmu diberkahi, bahagia dengan pilihan, serta pasanganmu kelak. Amin...

Tuesday, October 29, 2019

Facing My Quarter Life Crisis

Kalau ngerasa sedih, mau nangis ya nangis aja. Sampai kamu ngerasa nggak bisa nangis lagi saking seringnya dikecewakan, mati rasa. Hal itu manusiawi, kok. Termasuk mengeluh, bahkan lelah atas hal-hal yang kamu rasa sudah melampaui batas. Lelah mendengar ungkapan-ungkapan repetitif tanpa makna sebagai suatu kemakluman.

Nggak salah kalau kamu pernah berpikir, buat apa berjuang kalo rasanya berat sebelah? Buat apa berjuang kalo pasanganmu aja nggak meng-appreciate effortmu untuk improve hubungan kalian jadi lebih baik? Hey, please remember that putting yourself first is not selfish. Love yourself first, love otherselves then. Nggak ada salahnya melindungi diri kamu dari hal-hal yang nyakitin, termasuk perilaku pasangan. Gimanapun caranya, kamu punya hak penuh buat reduce hal-hal yang jadi sumber rasa sedihmu saat mulai memasuki quarter life crisis. Karena kalau bukan kamu yang mensupport dirimu sendiri, lantas siapa lagi?

Tujuanku buat tulisan ini, aku cuma pengin ngingetin diriku kalo aku berhak dicintai, sama besarnya dengan upayaku mencintai. Aku berhak diperjuangkan, sama besarnya dengan upayaku memperjuangkan. Aku mau ngingetin diriku kalo keinginanku untuk dapat feedback yang sama dari orang lain itu bukan hal yang salah. Poin terakhir, tentunya aku juga mau ngingetin diriku bahwa orang lain punya hak yang sama untuk tidak memberi "feedback" seperti yang aku inginkan, termasuk pasanganku.

Wednesday, March 20, 2019

Segitu Susahnya Bilang Capek?

Pernah nggak sih lo ngerasa capek, capek banget sama hidup lo, sama orang-orang yang ada di sekeliling lo, sampai-sampai lo muak. Dan saking muaknya lo cuma pengin diem aja karena ngerasa, "Ah, apaan sih, gini doang aja ngerasa kecil hati. Cemen."

Padahal sih, dalam hati kecil, berharap banget ada orang yang sekiranya ngurangin sesak di dada. Nggak perlu tahu problem hidup lo, deh. Dia ada, ngehibur dan bikin lo senyum dengan caranya dia sendiri, pasti lo juga udah seneng, kan?

Pada dasarnya, I'm not kind of curhat-whore person. Paling nggak bisa, sumpah banget, nggak bisa ngeluarin apa yang jadi unek-unek di hati dan otak gue. Hobi gue ya mendem, mendem, mendem, gitu aja terus tanpa tahu kapan meledaknya. Sampai kadang gue mikir, gue tuh manusia bukan, sih? Kenapa sih selalu sok kuat nyimpen semuanya sendiri? Emang apa salahnya sih, berbagi sebagian beban sama temen deket, atau pacar, atau orang tua, atau siapapun yang bisa gue kasih rasa percaya?

Nggak salah, memang. Tapi selalu ada ketidak-nyamanan tiap akan memulai pembicaraan semacam itu. Rasanya tuh, lidah gue kayak kelu. Dalam hati selalu ngebatin, "Ih apasih, kayak alay banget perkara komunikasi buruk sama pacar aja diceritain." atau, "Ih apaan deh, rih, malu-maluin aja cerita soal kehidupan pribadi."

Dan pada akhirnya, tahu pilihan terbaik yang gue ambil dari semua yang ada? Nangis. Iya, cuma nangis. Orang bilang, muka gue judes, ngomongnya kadang sarkas, galak, tapi hatinya lembut karena sering nangis. Liat adegan drakor touchy dikit, nangis. Liat postingan touchy dikit di Twitter atau Instagram, nangis. Tapi percaya, deh. Kalo udah nangis rasa hati jadi kayak legaaaaaaaaaaaaaa banget. Apalagi nangis setelah sholat, duh, itu jauh lebih lega lagi sodara-sodara.

Ada sih satu waktu, gue kadang pengin bilang, kalo gue nggak suka diginiin, nggak suka digituin, nggak suka lo ngomong gini, nggak suka lo ngomong gitu, capek pretend to be okay padahal I'm not. Tapi tiap gue mau ngomong, ada aja yang bikin gue males dan akhirnya gue pendem lagi, lalu satu waktu disaat gue rasa semuanya udah terlalu banyak gue pendam dan ngerasa kalo gue udah muak, bukannya gue luapin, bukannya gue omongin, gue malah nangis. Dan itu yang bikin gue benci sama diri gue sendiri.

Gue cuma mengutuk diri di depan cermin dengan bilang, "Ah, apesi caper lu tai. Lu kan tau, ada atau nggak ada elu mah kehidupan mereka bakal terasa sama aja. Emang lu pikir, lu cantik? Lu famous? Lu istimewa? Gada yang peduli sama lu, nyet. Jangan kata orang lain, pacar aja yang udah bareng bertahun-tahun ga peduli, gblk. Itu juga namanya doang bareng, auk maknanya bareng-bareng itu apa. Udah, deh. Jangan manja!"

Selalu begitu, gue sibuk pikirin kenapa hidup gue nggak istimewa, kenapa orang lain gampang banget bahagia dengan kehadiran orang-orang di sekitarnya, kenapa kehidupan mereka dari materi sampe percintaan looks (almost) perfect, sampai-sampai gue lupa kalo mencintai diri sendiri juga perlu, bahkan itu yang terpenting. Gue lupa, meski orang-orang nggak bisa mencintai gue sekalipun itu termasuk pasangan, setidaknya gue harus mencintai diri gue sendiri supaya gue bisa bertahan. Dan apalah seorang Riana Ayodya yang pandai memotivasi orang tapi nihil dalam memotivasi diri sendiri, karena buktinya, sampai hari ini, sampai postingan ini dibuat, gue masih aja enggan untuk mencintai diri gue sendiri.

Wednesday, October 31, 2018

Terima Kasih

Ada beberapa perasaan cemas di antara hari-hari yang telah kulalui denganmu. Cemas, bahkan takut. Menghantuiku tiap kali kita berjauhan, bahkan makin besar saat kita bertemu dan melepas rindu yang tertimbun selama berminggu-minggu dengan saling berpelukan. Hingga akhirnya setetes bening jatuh dengan mudahnya ketika kata 'andai' dan 'bagaimana kalau nanti' berlarian dalam sel-sel otak. Sepintas memikirkan sendiri bagaimana hubungan kita nantinya di masa depan.

Aku, selalu mempersiapkan diri untuk tiap-tiap selamat tinggal yang akan kudengar. Karena aku tahu, tak pernah ada temu yang abadi. Aku, hanya ingin bilang: dengan atau tanpamu kuhabiskan sisa hidupku kelak, aku bersyukur atas kehadiranmu dan aku bahagia dipertemukan Tuhan dengan kamu meski kita tidak selalu baik-baik saja.

Terima kasih karena sudah hadir di hidupku meski aku tak pandai mengingat setiap kenang sebaik kamu. Terima kasih untuk tiap hal sederhana yang sudah kamu lakukan untuk membuatku bahagia. Terima kasih sudah bersedia jadi bagian hidupku selama delapan tahun terakhir, hingga hari ini.

Friday, July 7, 2017

Kangen Apa?

Aku kangen. Tapi nggak tahu hal apa yang sekarang lagi aku kangenin dari kamu. Kita udah bareng-bareng lagi, tapi aku nggak ngerti apa yang berubah dari kita dan ngebuat perasaan aku—atau mungkin kamu juga—jadi beda. Mungkin karena kita udah terlalu lama terpisah. Mungkin karena kita udah terlalu lama hidup sendiri-sendiri. Mungkin karena kita udah dewasa. Mungkin karena aku udah jarang denger "Aku sayang kamu." dari kamu. Atau mungkin, karena aku udah capek pacaran dan pengin cepet dihalalin karena udah bosen diucapin selamat pagi cuma lewat chat WhatsApp.

Nggak tahu kenapa, tiba-tiba, aku kangen semua hal sepele yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Sepotong kecil kenangan yang memenuhi lebih dari separuh kapasitas memori otakku. Nyontek buku PR atau jawaban essai kamu, ngeliat kamu keringetan setelah jam pelajaran olahraga berakhir, merhatiin kamu dari jauh waktu kamu melototin monitor di lab. komputer, ngeledek kamu dengan julukan autis, online berjam-jam cuma buat chat di Facebook sama kamu, dipuji kamu karena dapet juara kelas, bahkan sampai kangen kamu yang belum kenal rokok sama sekali.

Aku yang berubah, atau kamu? Aku nggak tahu. Mungkin aja, kita berdua sama-sama berubah tapi nggak menyadarinya. Yang pasti, aku mencoba menjalani waktu yang kupunya bareng kamu sebaik mungkin. Walaupun aku cuma punya sehari atau dua hari dalam sebulan untuk sekedar ketemu dan cerita banyak hal sama kamu secara langsung. Walaupun kadang aku nggak bisa mengontrol emosiku karena hal sepele yang seharusnya nggak aku ributin ke kamu. Walaupun kamu sering nggak peka kenapa kamu nyebelin dan bikin aku jengkel. Walaupun kamu garing, gendut, dan sok ganteng. Hehe.

Tuesday, May 2, 2017

Selamat Datang Kembali

Hei. Selamat datang kembali, Mentariku. Hal yang lebih indah dari senja yang selalu kutunggu tiap sore, yang menarik garis senyumku lebih dalam dari langit cantik yang berwarna merah jambu. Pria yang mampu membuatku tabah dan sabar menunggu meski kau tahu bahwa Cancerian adalah makhluk paling tidak sabaran se-dunia. Pria yang enggan pergi dari pikiranku meski raganya tak pernah ada di sisiku dalam kurun waktu yang sangat lama. Pria yang meski kata-katanya pernah begitu menyakitkan, tapi aku tetap percaya bahwa tak semudah itu seseorang berubah.

Hei, Mentariku. Senang rasanya bisa bersandar di bahumu sambil meraih ujung-ujung rambutmu lagi. Senang rasanya bisa mengulang kembali momen menyenangkan saat kita menertawakan tweet atau meme menjengkelkan di Twitter seperti dulu—Ps: dulu Instagram belum jadi trending seperti sekarang. Senang bisa kembali menghabiskan waktuku bersamamu walaupun ada harga yang harus kubayar untuk itu. Bertahun-tahun merindu sendirian, menangisi kenangan yang tak pernah kau ingat, bahkan cemburu padamu yang sudah bukan milikku, saat itu.

Hei, Mentariku. Dulu, hari demi hari pernah kulalui dengan payah. Berlagak seolah lukaku telah sembuh dengan sendirinya seiring waktu berjalan. Sesekali waktu, saat sepasang earphone-ku mengalunkan lagu Heartache dari ONE OK ROCK atau Still Remembering dari As It Is, di saat itu pula kenangan akanmu mengudara di langit-langit kamar. Satu menit pertama membuatku tersenyum, lalu di menit berikutnya mengundang mendung di pelupuk mata. Kegiatan itu memang agak menyakitkan, sih. Terlebih, saat aku ingat bahwa beberapa waktu lalu kau sedang menyukai seseorang dan memujinya dalam tiap kalimat yang kau post di Twitter-mu. Ya, namanya juga wanita. Ia tahu bahwa mencari tahu yang tidak perlu akan mempersempit rongga dadanya nanti karena sesak, tapi tetap saja melakukannya. Bahkan bisa jadi dua kali lebih sering saat dia merindukannmu.

Hei, Mentariku. Jika kembali bersamamu saat ini sudah bukan lagi menjadi salah satu pintaku dalam doa, akankah tahun-tahun penuh kekosongan yang kulalui tanpamu terbayar dengan kelak selamanya bersamamu? Akankah kau tak pernah lagi mengucapkan hal-hal menyakitkan yang menyayat hatiku saat aku mendengarnya? Akankah kita tak meninggalkan ataupun ditinggalkan lagi?

-Dariku, yang selalu merindukanmu tiap senja dan hujan datang. Cinta pertamamu, yang akhirnya kau sebut sebagai rumah keduamu. Tempatmu merebahkan kepalamu saat lelah. Tempatmu kembali.

Monday, May 1, 2017

Bagaimana?

God knows they worth it.
Mungkin itu yang orang-orang pikir saat kita sepakat untuk kembali memulainya dari awal. Meski memakan waktu yang begitu lama sebelum kamu memutuskan untuk kembali, bahkan hingga sebagian orang mungkin sudah lupa bahwa kamu pernah pergi begitu saja, dengan cara yang menyakitkan.

Aku tidak tahu harus menyebutnya dengan apa. Ragu? Takut? Khawatir? Atau istilah lain semacamnya. Aku hanya... merasa tidak nyaman. Tiap kali kita duduk berhadapan dan tatapanmu bersirobok denganku, lalu matamu seolah bertanya "kamu masih ragu?", aku hanya bisa mengalihkan pandangan agar tidak memikirkannya di saat yang sama. Berusaha tidak merusak suasana.

Hangat genggam tanganmu masih sama. Belaian tanganmu di ujung kepalaku juga masih terasa sama. Bedanya, aku hanya tak bisa memastikan semua itu tulus atau tidak. Aku hanya belum bisa terbiasa lagi dengan hal-hal semacam itu darimu. Tatapanmu yang tak berkedip, kata "aku sayang kamu" atau "tungguin aku, ya.", juga kata-kata lain yang biasa kamu ucapkan dulu. Mungkin, karena hampir 3 tahun ini aku menikmati kesendirianku dan terbiasa karenanya, saat semua itu terjadi kembali, bagiku rasanya sedikit aneh.

Saat kamu akhirnya kembali, aku yakin bahwa kita memang ditakdirkan bersama. Tapi esoknya, keyakinan itu jadi berubah-ubah. Ada hal-hal dari masa lalu kita yang hingga saat ini aku takutkan akan terulang lagi. Kamu yang tiba-tiba berubah jadi monster, kamu yang begitu mengerikan dengan kata-kata yang... entahlah, karena sulit bagiku mendeskripsikan level kekejaman kata-katamu saat memilih meninggalkanku dulu.

Selalu ada tanya yang mengelilingi kepalaku selepas kamu pulang, seperti, "Keputusan gue bener nggak, sih?" atau, "Gue cuma dijadiin bahan taruhan aja kali, ya?" atau, "Udah, tungguin aja. Paling, nggak sampai sebulan dia bakal ninggalin lo lagi." atau, "Kenapa gue segampang itu nerima dia balik, sih? Belum juga berjuang apa-apa dia buat dapetin hati lo lagi." atau, "Ya Allah, bisa nggak skip ke 3 tahun kemudian aja, biar aku bisa tahu, dia bener jodoh aku atau bukan?" atau, "Dia kok gampang banget sih bilang 'aku sayang kamu' kayak gitu? Padahal hampir 3 tahun ninggalin lo dan baru kemarin balik sama lo." atau, "Dia masih suka nyimpen foto-foto cewek kayak dulu nggak, ya?" atau, "Lo bakal sakit hati nggak kira-kira kalo suatu saat nemuin sesuatu di hapenya nanti?" atau bahkan segudang pertanyaan random lainnya yang mungkin menurutmu tak penting dipikirkan.

Jadi... apa yang seharusnya kulakukan sekarang?